Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike


Banyak sekali teori tentang belajar, mulai dari yang partial behavioristik sampai yang holistik kognitif. Sepertinya bakalan pusing mempelajari semuanya. Sebenarnya tiap teori itu punya inti yang menjadi ruhnya. Begitu pula dengan Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike.

Edward Lee Thorndike (foto: en.wikipedia.org)

Kamis (21/3) beberapa hari yang lalu, aku memandu proses belajar mata kuliah Psikologi Belajar. Kali ini pokok bahasannya tentang Teori Belajar Thorndike. Model belajarnya dengan cara presentasi kelompok. Di tiap pertemuan akan ada kelompok yang presentasi.

Sebelum kuliah, ada 2 makalah mampir ke mejaku. Iya, tentu saja makalah tentang Teori Belajar Thorndike. Kelasnya memang ada 4 dengan 2 dosen. Jadi tiap dosen meng-handle 2 kelas. Karena itulah ada 2 makalah yang datang padaku. Aku baca-baca 2 makalah tersebut. Isinya sama saja dengan yang ada di buku. Ya pastinya lah, lha wong memang presentasinya tentang Teori Belajar Thorndike yang ada di buku Teori Belajar. Maksudnya lebih jauh dari itu. Ini berarti tidak ada penarikan sari pati dari teori belajar behavioristik Edward Lee Thorndike. Kalau ada, pasti kalimatnya tidak akan banyak copy-paste dari buku.

Hal ini bisa dimaklumi, karena memang teori belajar itu banyak sekali. Kalau lihat bukunya yang segepok, pasti langsung puyeng. Lebih pusing lagi kalau mempelajari itu semua untuk keperluan ujian. Pasti lebih berat jika awal berpikirnya untuk kepentingan ujian, karena energinya dikuras untuk mempelajari semua bagian, agar bisa menjawab semuanya dan nilainya bagus. Yang seperti ini sudah pasti rugi, karena lebih instant. Ujian berakhir maka yang dipelajari memudar. Beda jika orientasinya ditujukan untuk lebih memahami kehidupan atau untuk diaplikasikan dalam aktivitas sehari-hari. Pasti akan lebih mudah ingat dan lebih punya makna.

Untuk keperluan belajar hidup dan kehidupan tersebut, teori belajar yang seambreg itu sebenarnya bisa kita kenali intinya. Khusus untuk teori belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike, kita akan coba pahami apa intinya dan bagaimana benang merah dari inti-inti tersebut.

Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike dikenal dengan connectionism, dan yang paling familiar dengan telinga kita adalah belajar dengan cara trial and error. Masih ingat tidak? Thorndike identik dengan teori tersebut. Karena itu, pegang dulu apa yang sudah familiar dengan kita.

Pada saat memandu kuliah dengan pokok bahasa Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike kemarin, seorang mahasiswa membuat bagan yang berupa gambar-gambar. Bagan tersebut digunakan untuk menjelaskan pembentukan perilaku. Dalam bagan tersebut, disebutkan istilah ‘prestasi’ dan ‘perhatian orangtua’ sebagai faktor yang mempengaruhi.

Kesalahan Pemahaman Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike

Gambar yang dibuat mahasiswa ini dihubungkan dengan jurnal yang mereka kaitkan dengan Teori Belajar Thorndike.

Apa yang belum tepat dari gambar tersebut. Aku katakan kepada mereka, bahwa gambar mereka terlalu bagus. Thondike tidak mungkin bisa menggambar sebagus itu. Para mahasiswa langsung tertawa. Aku bilang, gambar tersebut nggak Thorndike banget. Kalau pun Thorndike memaksakan diri untuk menggambar, jadinya seperti ini,

Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike

Beda banget gambarnya bukan? Sudah pasti gambar mahasiswa lebih bagus daripada gambarnya Thorndike.

Dalam Teori Belajar Connectionism, Thorndike ‘tidak mengenal’ prestasi maupun parhatian orangtua. Kedua hal tersebut kesulitan jika dilibatkan dalam koneksi-koneksi, karena keduanya tidak bisa diubah menjadi impuls (semacam gerak rangsangan). Yang bisa diubah menjadi impuls, misalnya diberi uang, dibelai, dielus (jika mengacu pada perhatian orangtua) atau nilai ujian, dapat hadiah (jika mengacu pada prestasi). Yang bisa diubah menjadi impuls, berarti bisa dikoneksikan dari satu titik ke titik yang lain. Perhatikan gambar di atas. Stimulus O bisa dihantarkan ke A. Jika seorang anak mendapat hadiah karena nilai ujiannya bagus, maka mereka akan lebih rajin mebalajar. Jika yang membuat nilai ujiannya bagus adalah membaca catatan, maka dia akan memperkuat perilaku membaca catatan.

Kalau berbicara tentang perhatian orangtua atau prestas, seperti yang juga ada di gambarnya Thorndike, berarti cara belajar kita melampaui titik-titik pada gambar tersebut. Ini berarti terjadi lompatan menuju konsep besar. Lompatan ini hanya ada pada belajar secara insightful.

Thorndike ‘tidak mengenal’ insight dalam belajar. Teori belajar Thorndike secara incremental, yaitu koneksi antar titik-titik. Pada setiap titik adalah stimulus dan respons konkrit. Jika memberi permen membuat anak lebih rajin datang ke kelas, maka permen akan diberikan. Terjadi koneksi antara pemberian permen dengan datang ke kelas. Jika ternyata permen tidak manjur dan ternyata anak lebih rajin datang ketika diberi ciuman, maka berarti telah terjadi penguatan pada ciuman dan pelemahan pada pemberian permen. Proses coba dan ganti inilah yang disebut trial and error dalam teori belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike.

Namun demikian, reaksi terhadap sebuah stimulus bisa digantikan oleh reaksi yang bersesuaian atau berdekatan. Misalnya suatu saat terjadi ban bocor. Perilaku pertama yang diambil adalah dengan menuntun sepeda sampai ke tukang tambal ban. Suatu saat, yang punya sepeda mencoba menelpon sebuah bengkel, dan ternyata bengkel tersebut mau menjemput. Maka untuk selanjutnya, perilaku menuntun sepeda ke bengkel akan digantikan dengan perilaku menelpon bengkel. Jika perilaku menuntun sepeda ke bengkel adalah A dan perilaku menelpon bengkel adalah B, maka terjadi pergeseran dari A dan B. Pasangan O dan A jadi lemah, sedangkan pasangan O dengan B jadi kuat. Ini yang disebut pergeseran asosiatif di teori belajar Thorndike. Coba lihat gambar di atas.

Contoh dengan ilustrasi gambar yang telah dijelaskan di atas, sangat bersesuaian dengan hukum-hukum belajar Thorndike. Misalnya hukum primer yang terdiri dari law of readiness, law of excercise dan law effect. Bisa kan menjalaskan contoh (misalnya ban sepeda bocor) di atas dengan ketiga hukum tersebut? Biar lebih mudah ingat inti teorinya. Kata kunci dari law of readiness adalah kesiapan. Pengenalan terhadap stimulus yang dihubungkan terhadap respon tertentu membentuk kesiapan. Kata kunci dari exercise adalah latihan. Hubunganyang efektif antara stimulus dan respon berefek latihan. Karena itu hubungannya akan diperkuat. Kata kunci dari effect adalah dampak. Sebuah perilaku yang berdampak positif akan memperkuat pasangan stmulus dan respon.

Selain hukum primer, Thorndike juga mempunyai hukum sekunder, yang terdiri dari law of multiple respons, law of assimilation dan law of partial activity. Bagaimana penjelasan ketiganya jika dihubungkan dengan contoh di atas? Sebelumnya kit pahami dulu kata kuncinya.

Kata kunci dari multiple respons adalah kemungkinan respons atas sebuah stimulus. Artinya, respons bisa bermacam-macam atas stimulus tunggal. Karena bermacam-macam, maka bisa saling menggantikan. Coba perhatikan lagi penjelasan tentang pergeseran asosiatif. Kata kunci dari asimilasi adalah kesamaan sifat respons dan stimulus. Respons bisa saling menggantikan karena ada kesamaan sifat. Begitu juga dengan kesamaan stimulus. Sifat stimulus yang bersesuaian bisa saja direspons dengan respons yang sama. Kata kunci dari partial activity adalah memilih respons spesifik. Karena stimulus dan respons dalam belajar Thorndike adalah spesifik, maka seperti pada gambar di atas, hubungan keduanya bisa terjadi sangat spesifik. Pasangan stimulus dan respons ini pun bisa memilih dan beralih. Nah, sekarang coba jelaskan dengan menggunakan contoh di atas (misalnya ban sepeda bocor).

Demikian inti dari Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike. Apa yang Kamu telah pelajari dari penjelasan teori ini?


4 responses to “Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *