Seseorang bisa sangat dikuasai orang lain karena sebuah kesan. Hal ini bisa mendatangkan rasa tidak nyaman, yang kemudian disebut disonansi kognitif. Bagaimana melalui disonansi kognitif, kita bisa menguasai emosi orang lain?
Pernah mendengar cerita sehari-hari tentang anak yang lebih dekat dengan ibunya dan lebih patuh (atau takut) kepada ayahnya? Cerita yang sama juga mungkin terjadi antara bawahan dan atasan. Seorang bawahan mungkin saja begitu mengagumi atasannya, hingga apapun ide dan perintah atasan dianggap baik. Sebaliknya, mungkin saja bawahan begitu takut kepada atasan, sehingga takut mengemukakan idenya. Pernah tahu kasus seperti ini? Atau Kamu mengalaminya sendiri?
Sebenarnya tulisan yang serupa ini pernah aku posting untuk membahas kekuatan pikiran yang dapat mempengaruhi prasangka orang kepada dirinya, sehingga akhirnya mengubahnya. Posting tersebut bisa dibaca di sini.
Ada dua cerita yang berhubungan dengan pengaruh secara emosinal seorang terhadap orang lain. Cerita pertama datang dari seorang teman fasilitator. Cerita yang kedua bersumber dari seorang mahasiswa yang begitu mengagumi dosennya.
Seorang teman lama menghubungi beberapa minggu yang lalu sebelum posting ini dibuat. Dia bilang, ada ide yang tak bisa ia tahan, ingin dibagi denganku. Nah, beberpa hari yang lalu kemudian, aku bertemu dengan temanku ini. Kebetulan ada teman lain yang datang dari luar kota yang juga akrab dengan temanku yang ngajak ketemu tersebut. Biar enak, sebut saja temanku yang satu ini dengan Mister.
Kami bertemu di sebuah mall. Pertemuan yang sudah ia tunggu-tunggu berminggu-minggu akhirnya datang juga. Ini saatnya ia menceritakan ide-idenya. Kali ini aku tidak akan membahas tentang isi idenya, karena yang sedang akan dibahas bukan soal itu. Yang kali ini menjadi fokus adalah alasan, kenapa ia memilihku sebagai orang yang dipilih untuk menyimak idenya.
Dia sebenarnya punya alternatif orang lain untuk mendengarkan idenya. Tapi sekarang ia sudah tidak ingin lagi cerita kepada orang tersebut. Padahal, sebelumnya, orang tersebut adalah teman berbagi ide yang bisa saling menginspirasi. Lho kenapa kok tidak cerita ke dia? Ternyata, Mas Mister ini menyimpan pengalaman yang bisa dibilang negatif dengan temannya tersebut. Negatif di sini bukan berarti pertikaian, perkelahian, pertempuran atau semacamnya. Si teman tersebut sudah sering menepis idenya, bahkan terlampau mengritisinya, sehingga dia merasa idenya tidak berharga. Karena selalu terjadi seperti ini, maka sekeren apapun idenya, ia selalu merasa idenya remeh di mata temannya tersebut. Padahal, ketika cerita sama aku, dia begitu menggebu-gebu menceritakan idenya dan punya harapan terhadap ide tersebut.
Sebelum kita bahas cerita tersebut, mari kita beralih ke cerita mahasiswa yang mengagumi dosennya. Mahasiswa ini telah mengambil mata kuliah skripsi dan punya seorang dosen pembimbing. Ia memilih dosen pembimbing tersebut, karena mengaguminya. Suatu ketika, ia menghadap untuk mendapatkan bimbingan dari dosen tersebut. Pertemuan pertama membuat ia merasa tidak salah mengagumi dosen, tetapi ia merasa salah memilihnya sebagai pembimbing. Lho kok bisa?
Si pembimbing yang dikagumi tersebut langsung memberikan pengarahan, mengritisi proposalnya dan mencecarnya dengan berbagia pertanyaan. Dia semakin kagum, sekaligus semakin tekut. Sejak saat itu, ia tak lagi berkunjung ke dosen pembimbingnya. Beberapa kali sudah di bibir pintu ruangan, mahasiswa tersebut mengurungkan niatnya. Dan pada akhirnya ia ingin ganti pembimbing, tanpa sedikitpun mengurangi rasa kagumnya.
Apa yang terjadi pada dua orang pada kedua cerita tersebut? Keduanya telah menanamkan kesan begitu dalam tentang seseorang dan itu seperti fleck dari asap rokok yang sulit sekali hilang, bagaikan noda di pakaian yang tak lekang meski dicuci berulang. Sepertinya mereka mengalami ketidaknyamanan yang disebut disonansi kognitif.
Disonansi kognitif adalah sebuah teori dalam Psikologi Sosial yang membahas ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran dan perilaku yang saling bertentangan dan mendorongnya untuk mengambil langkah untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam disonansi kognitif, titik tekannya pada perasaan tidak nyaman yang terbangun dalam diri dan upaya lepas dari ketidaknyamanan. Karena itu, peralihan teman berbagi ide dan pergantian dosen pembimbing adalah upaya yang dilakukan oleh kedua orang tersebut.
Namun lepas dari persoalan disonansi kognitif, perlakuan dari dosen atau teman Mas Mister memang tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Setiap orang punya karakteristik yang berbeda. Jika kita hanya berorientasi pada ego pribadi, maka dampak yang ditimbulkannya setara dengan pengalaman traumatik. Ketidaknyamanan emosionalnya akan terus terasa.
Aku sendiri sebenarnya sudah bertemu dengan dosen yang dikagumi mahasiswa tersebut. Dia malah tidak tahu menahu sebab anak bimbingnya enggan menemuinya. Mahasiswa tersebut malah cerita sama aku. Begitu pula dengan teman Mas Mister. Aku kenal dengan dia. Sekarang si teman tersebut sebenarnya tidak seperti yang diceritakan Mas Mister. Mas Mister pun juga paham ketika aku jelaskan. Tetapi kepahaman ini tidak mengubah sikapnya, dia tidak mau berbagi ide dengan si teman itu.
Dengan demikian, kita seharusnya lebih peka dan fleksibel dalam berpikir, bersikap dan memperlakukan orang lain, karena sekali perlakuan kita salah, maka selamanya dapat sulit diubah. Ini seperti rekaman emosi di benak anak-anak. Nah, untuk itu, yang akan datang akan aku posting tulisan yang sejenis ini, tetapi membahas tentang pemanfaatannya untuk parenting.
Pernah mengalami atau menemui hal seperti ini? Boleh di-share di sini.
3 responses to “Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif”
pas nih tema nya ,aku pernah ngalamin sebelumnya 🙂
Senang sekali bisa pas 🙂
Tul sekali this is so true ! Kadang tmn yg jauh menganggap diri nya jauh lebih dewasa merasa mampu mengontrol hidup orang lain padahal semua kita manusia sudah punya tujuan sejak Tuhan menciptakan kita,orang dewasa kadang cenderung memerintah bukan menasihati. Hidup yg tertekan adalah pilihan orang2 bodoh. Pilihlah orang tua yg benar2 sungguh mau memperhatikan bukan orang tua yg dominan memerintah dan yg hanya mau diikutin semua aturannya. Thank’s for Share God bless you!