Internet Turut Membentuk Makna Axistensi di Tempat Kerja
Februari 5, 2012 . by rudicahyo . in Catatan Bebas . Comments off
Persoalan kehadiran pada jam kerja menjadi isyu yang menarik untuk diobrolan, sehubungan dengan keberadaan internet yang semakin menunjukkan kontribusinya dalam berbagai bidang. Persoalan jadi lebih kompleks jika kehadiran dikaitkan dengan pekerjaan seorang guru atau dosen dalam mengajar siswa atau mahasiswanya. Nah, internet membuat semuanya tetap eksis menjalankan perannya masing-masing.
Aku teringat obrolan dengan seorang mahasiswa. Sedang asik menyusun jadwal buat ujian lisan, datanglah Chika, mahasiswa yang aku maksud. Ia ngajak ngobrol soal tulisanku di blog yang berjudul Resolusi 2012: Biar Jauh, Kamu di Hatiku. Tulisan itu tentang resolusi tahun 2012, bekerja bisa dimanapun dan kapanpun. Artinya, di dalamnya juga berbicara tentang kehadiran di tempat kerja.
Ayah Chika tidak setuju dengan hal itu. Menurut ayah, dalam mengajar butuh bertemu langsung dengan mahasiswa. Pertemuan itu yang tak tergantikan. Chika bisa menjelaskan bahwa maksud dari tulisan itu bukan tentang hubungan dosen dan mahasiswa, tetapi tentang hubungan pekerja dan sistem kerjanya. Menurut ayah Chika, hal itulah yang membuat kehadiran tetap harus dilakukan. Lepas dari itu, persoalan yang perjumpaan dosen dan mahasiswa tetap menarik untuk ikutan dibahas.
Persoalan baru muncul dengan adanya trend bekerja dimanapun dan kapanpun. Semakin kita memiliki sebuah pekerjaan atau peran, maka seorang pekerja bisa melakukan tugas-tugasnya dimanapun dan kapanpun. Hal ini semakin ditunjang oleh fungsi internet yang semakin mampu menjalankan perannya sebagai sarana komunikasi yang menghemat waktu dan memendekkan jarak.
Persoalan Kehadiran yang Mengganggu Axistensi
Berdasarkan obrolan dengan Chika, beberapa persoalan yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kehadiran di tempat kerja pada waktu jam kerja dapat disarikan sebagai berikut,
1. Persoalan teknis
Berbicara tentang kehadiran di tempat kerja pada jam kerja, ada persoaan teknis yang menjadi bagian dari sistem aturan dalam bekerja, yaitu presensi. Kalau dulu, presensi ini dilakukan dengan memberikan tanda tangan. Sekarang sudah lebih maju secara teknologi, yaitu menggunakan check lock sidik jari. Dengan sistem sidik jari, presensi jelas tidak bisa diwakilkan.
Sistem presensi atau check lock dimanapun berada, masih belum diakomodasi. Akibatnya budaya kerja semacam itu masih belum mendapatkan dukungan dari. Nah, harapan kita dan sekaligus tantangan buat penyedia layanan internet untuk bisa meyiasatinya.
Apapun bentuknya, presensi hanya mengakomodir kehadiran pekerja, tapi belum tentu kinerjanya. Orang dinilai bekerja jika ia tampak di tempat kerja, padahal belum tentu ia melakukan pekerjaannya. Sebaliknya, orang yang tidak di tempat diklaim tidak bekerja.
Kenyataannya, sebagian pekerja ada yang membawa bertumpuk pekerjaan pribadi dari luar ke dalam. Tentu saja orang yang seperti ini dikatakan bekerja. Sedangkan pekerja yang membawa banyak pekerjaan utama untuk dilembur di rumah, tetap dikatakan tidak bekerja.
2. Tak hadir, maka tak makan
Sebuah kehadiran biasanya memiliki harga tertentu. Mungkin di beberapa tempat, kehadiran hanya berarti keharusan menjalankan kewajiban, tapi di sebagian tempat yang lain, kehadiran bisa berupa urang transport, uang makan, atau upah. Karena hal inilah, kalau ingin mendapatkan jatah itu semua, maka orang harus rela memenuhi kewajiban hadir dan menghabiskan jamnya di tempat kerja.
3. Mental kerja dengan kepala yang keras
Aku pernah bilang di twitter, bahwa bedanya punya prinsip dengan keras kepala itu tipis. Perbedaan gengerasi dengan perbedaan cara berpikir membuat persoalan kehadiran jadi menukik. Generasi pendahulu yang belum akrab dengan internet, bisa jadi satu kendala tersendiri. Buat mereka, bertemu muka adalah yang utama. Sementara itu, generasi yang lebih muda menginginkan bekerja yang lebih fleksibel, bisa dimanapun dan kapanpun.
Ada dua asumsi kemungkinan yang membuat dua generasi itu tidak bertemu. Dua asumsi ini bersumber pada posisi generasi pendahulu yang menurut mereka punya prinsip yang kuat. Asumsi pertama, mereka agak gagap dalam penggunaan internet, baik penggunaan yang standar maupun pengembangan penggunaan yang lebih kompleks. Asumsi berikkutnya, itu bentuk defens atas ketidakmengertian akan internt. Jadi generasi tersebut memvonis generasi yang lebih muda melanggar prinsip-prinsip yang selama ini mereka yakini.
Sekedar berbagi pengalaman, aku pernah dihubungi malam-malam agar datang esok harinya. Pagi buta aku meluncur ke tempat kerja hanya untuk membukakan file attachment di email yang sebelumnya aku kirimka. Luar biasa bukan?
4. Perubahan budaya yang alot
Internet telah mengambil bagian dari budaya. Begitu juga cara kerja yang sudah dimiliki dari sebuah institusi, juga merupakan budaya buat organisasi tersebut. Ada tradisi yang memang berusaha untuk diteruskan, yaitu tradisi bertemu dan berkumpul. Sebagai tradisi kekeluargaan, hal ini ok saja, tapi jika kemudian menjadi keharusan, maka kehadiran di tempat kerja mulai jadi persoalan.
Cara mengidentifikasi bahwa kehadiran adalah keharusan adalah tumbuh suburnya keyakinan bahwa yang selalu hadir sudah pasti bekerja, sementara yang tak menampakkan batang hidungnya adalah mereka yang nakal dan makan gaji buta. Bahkan ada tuduhan bahwa yang sering keluar itu banyak projek atau pekerjaan lain, serta menomorkesekiankan pekerjaan utama.
Kenyataanya, ada pekerja yang membawa banyak sekali pekerjaan pribadianya dari luar ke dalam. Yang seperti ini jelas dianggap bekerja. Sedangkan mereka yang banyak lembur di rumah untuk pekerjaan utama, dianggap beban kerjanya minimal.
Penampakan batang hidung ini kemudian jadi tidak esensial untuk pekerjaan. Kinerja tidak dipandang dari luaran, tapi dihitung dari banyaknya waktu yang dihabiskan di tempat kerja.
Internet punya tantangna untuk membuktikan dirinya mampu menjembatani yang bekerja di rumah, di jalan, atau di kantor. Semua posisi bisa eksis dengan perannya masing-masing.
Waktunya Internet Beraksi untuk Mengakomodir agar Semua Bisa Eksis
Dalam dunia kerja, kehadiran selalu dihubungkan dengan tiga hal. Secara teknis berhubungan dengan presensi, secara pragmatis berhubungan dengan uang transport, uang makan atau upah sejenisnya, dan secara sosial berhubungan dengan keterlibatan. Sebenarnya ada lagi hal lain, yaitu secara idealis. Ini terkait dengan kehadiran dosen/guru untuk bertemu dengan siswa/mahasiswanya dalam proses belajar.
Karena itulah, persoalan kehadiran tidak hanya diatasi secara teknis berkenaan dengan absen atau check lock, tapi lebih dari itu, juga berkenaan dengan perubahan budaya kerja.
1. Check lock plus
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa yang menjadi persoalan sehubungan dengan kehadiran di tempat kerja pada jam kerja adalah presensi. Presensi sebenarnya adalah pengganti kehadiran. Setelah seseorang melakkannya, kehadiran orang tersebut diakui dengan presensi tersebut.
Presensi biasanya dilakukan dengan membubuhkan tandatangan. Berarti tandan tangan tersebut telah menggantikan orangnya, menjadi bukti kehadirannya. Seiring perkembangan teknologi, presensi manual digantikan dengan check lock elektronik menggunakan sidik jari.
Dengan sidik jari, kehadiran sudah mulai tak tergantikan. Sidik jari menunjukkan bahwa diri orang yang bersangkutan tidak tergantikan oleh apapun atau siapapun. Namun demikian, sidik jari tetap hanya mampu menghadirkan pekerja, belum tentu menghadirkan kinerja.
Apa ukuran kinerja? Kinerja ya apa yang dilakukan oleh pekerja berdasarkan perannya. Hal ini pun sebenarnya belum nyata. Karena itulah diperlukan indkator nyata, yaitu luaran atau hasil kerja. Check lock plus dapat memfasilitasinya.
Apa itu check lock plus? Selain melakukan check lock jarak jauh, pekerja mengisi form online yang terdiri dari beberapa item, seperti: pekerjaan atau jenis pekerjaan, target capaian dan hasil pekerjaan. Untuk hasil bisa disertakan file attachment hasil kerjanya. Form ini dibuat oleh institusi atau organisasi yang bersangkutan dan bisa diakses via web-nya.
2. Internet membuat semua tetap makan
Dengan menggunakan data check lock plus, pekerja tetap berhak mendapatkan upah. Jika memang tidak harus semua, kehadiran via online boleh lah hanya mendapatkan uang makan, tetapi tidak dengan uang transport. Atau boleh juga tidak mendapatkan keduanya jika memang itu disepakati terlebih dahulu. Artinya data dari check lock plus bisa dimanfaatkan untuk ini.
3. Internet melunakkan kepala yang keras
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa persoalan kehadiran tidak bisa hanya ditangani secara teknis, misalnya dengan memanajemeni presensi. Perubahan budaya kerja juga harus diperhatikan.
Berkenaan dengan pemanfaatan internet, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama tentang fasilitas internet secara teknis, dan yang kedua tentang penggunaannya.
Fasilitas internet secara teknis berhubungan dengan pengenalan faslitas yang disediakan dan bisa dimanfaatkan untuk bekerja. Karena banyaknya fasilitas yang disediakan oleh internet, mungkin akan memusingkan kalau harus dipahami semua. Optimalkan saja fasilitas utama, misalnya email.
Jika organisasi atau institusi punya web yang menyediakan fasilitas email, maka fitur emailnya bisa diperkaya untuk memancing gairah dalam memanfaatkannya. Fitur yang tidak substansial tapi emosional bisa disertakan, misalnya penambahan foto di email account, penggunaan beraneka theme, fasilitas perubahan background, share podcast audio atau video dan sebagainya.
Kecintaan pada salah satu fasilias internet, diharapkan akan berkembang menjadi mencintai fasilitas-fasilitas yang lain.
4. Internet membangun budaya kerja baru
Berkaitan dengan pengenalan dan penggunaan fasilitas internet, pembentukan budaya mulai bisa diupayakan. Budaya diawali dengan perilaku yang dibiasakan. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa pemanfaatan salah satu fasilias internet diharapkan akan berkembang untuk memanfaatkan fasilitasi yang lain.
Membangun budaya berarti membangun kebiasaan. Membangun kebiasaan berarti bermain di wilayah proporsi pemanfaatan fasilitsa internet. Jika sebelumnya pekerjaan total dilakukan secara offline, maka porsi penggunaan jalur online terus ditambah. Minilah keduanya berimbang. Sehingga jika suatu saat nanti eranya sudah menghendaki pemanfaatan internet secara total, para pekerja dan organisasi secara keseluruhan sudah siap.
5. E-learning
Sebenarnya poin ini tidak termasuk dalam substansi pembicaraan. Namun karena sudah disebutkan dalam cerita tentang ayahnya Chika, maka persoalan kehadiran yang berkaitan dengan bertemunya guru/dosen dengan siswa/mahasiswa bisa difasilitasi dengan pembelajaran digital.
Perkembangan fasilitas layanan internet dewasa ini sangat mendukung adanya pembelajaran dengan e-learning. Fasilitas chatting, social media, uploading dan downloading, blogging dan sebagainya dapat diintegrasikan untuk mendukung proes e-learning.
Secara keseluruhan pembahasan tentang strategi pemanfaatan internet untuk persoalan kehadiran pekerja ini ditujukan untuk axistensi semua pihak, baik yang suka bekerja di kantor, di jalan atau di rumah. Trend kini dan depan, pekerjaan bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Kita bisa eksis dengan internet.
Yang perlu dicatat, ada yang jauh lebih penting daripada kehadiran pekerja, yaitu kehadiran kinerja. Bagaimana menurutmu?
Tag: axis, internet