Kadang orangtua enggan membangun atmosfir egaliter dalam keluarga. Ada anggapan yang salah tentang makna egaliter, terutama hubungannya dengan posisi, gengsi dan ego masing-masing anggota keluarga. Untuk itu, kita perlu meluruskan makna egaliter dalam keluarga.
Beberapa kali melayani konsultasi orangtua tentang anaknya, beberapa kali pula aku menyarankan adanya kesetaraan hubungan dalam keluarga alias membangun atmosfir egaliter di dalamnya. Tidak jarang orangtua menyangkal saran ini dengan anggapan bahwa budaya egaliter dalam keluarga akan membuat anak tidak sadar posisinya. Hal ini dapat mempengaruhi wibawa orangtua, membuat anak sulit menerima nasihat dan berani menghujat. Demikian rata-rata reaksi mereka atas saran yang aku berikan.
Karena itu, kadang aku tidak menggunakan kata ‘egaliter’ secara langsung. Kadang aku menggunakan istilah ‘kesetaraan’. Kadang juga langsung aku ceritakan apa yang harus mereka lakukan, tanpa menyinggung tentang egaliter ataupun kesetaraan. Misalnya saja aku menanyai orangtua, bagaimana cara mereka menemani belajar anaknya. Ada yang bilang, mereka mengecek apakah ada PR dan apakah sudah dikerjakan. Ada juga yang mengatakan, mereka menemani sambil mengawasi anak belajar. Ada pula yang mengajarinya dalam mengerjakan tugas.
Semua yang dilakukan oleh orangtua pada contoh di atas adalah baik. Namun seperti halnya tombol volume speaker yang bisa dibesarkan dan dikecilkan, atau pemutar tunning radio manual yang penunjuk frekuensinya bisa bergeser ke kiri dan ke kanan, porsi orangtua untuk melakukan itu semua (yang disebutkan di paragraf sebelumnya) dapat diatur. Kita tidak harus selalu mengajari, kita juga tidak mengecek dan menyuper-visi. Namun kita bisa mengatur tensinya, sehingga kita ikut belajar bersama anak, lebih mengajak daripada menyuruh, tidak malu bertanya ketika tidak mengerti dan semacamnya.
Contoh-contoh perlakuan di akhir paragraf di atas menunjukkan adanya atmosfir egaliter. Apakah yang dilakukan orangtua tersebut akan mengurangi wibawa mereka? Apakah dengan bertanya yang tidak kita mengerti akan menjatuhkan martabat kita di mata anak? Bukankah itu semua adalah hal yang manusiawi? Bukankah dengan bertanya kepada anak, mereka akan merasa berharga? Bukankah dengan bertanya kepada anak, akan membuat mereka melakukan hal yang sama ketika mereka tidak mengerti?
Jika semua pertanyaan paga paragraf di atas dijawab semua, maka dampak yang paling kentara dari atmosfir egaliter adalah membangun rasa percaya diri anak. Namun orangtua lebih banyak melihat egaliter dari sisi kekhawatirannya sebagai orang yang memiliki posisi lebih tinggi (boleh dibilang lebih tua) daripada anak. Apalagi jika mengedepankan ego pribadi dan melumuri diri dengan gengsi. Karena itu, kita perlu meluruskan makna egaliter dalam keluarga.
Paling tidak, beberapa komponen berikut dapat menjadi indikator yang dapat kita amati dalam keluarga kita, yang kemudian dapat dijadikan tolok ukur, apakah keluarga kita egaliter atau tidak.
1. Adanya kerendahan hati
Jika setiap anggota keluarga dapat rendah hati dengan tidak mengedepankan ego pribadi, maka dapat dikatakan sebuah keluarga memiliki atmosfir egaliter. Peran yang paling besar ada pada orangtua. Jika orangtua tidak merasa ‘tinggi’ sekaligus tidak merendahkan anak, maka anak akan merasa dihargai. Akibatnya, anak tidak akan enggan untuk menghormati.
2. Mendialogkan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi
Ketika anggota keluarga punya kepentingan pribadi, maka ia perlu mencari tahu, apakah kepentingannya tersebut berkaitan dengan kepentingan bersama. Jika berkaitan kepentingan bersama, dalam hal apa berkaitan, apakah saling mendukung atau bertentangan. Jika saling mendukung, maka perlu dikuatkan. Jika saling bertentangan, maka perlu dikomunikasikan. Jika hal ini terjadi dalam keluarga, maka bisa dikatakan ada atmosfir egaliter dalam keluarga tersebut. Namun yang perlu dicatat, karena tulisan ini berada pada frame pengasuhan, maka peran orangtua adalah yang utama untuk membentuk dan menjaga atmosfirnya. Jika orangtua terbiasa mendialogkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama, maka anak juga akan mencontohnya.
3. Kesepahaman dan kesepakatan
Anak tidak melulu harus patuh kepada figur orangtua, tetapi anak dapat patuh kepada kesepakatan bersama. Orangtua tidak harus selalu mengatur anak, tetapi mereka boleh membuat aturan bersama. Tentu saja aturan tersebut perlu dibuat dan dipahami bersama, barulah disepakati untuk ditaati. Pengalihan atau pengurangan porsi figur orangtua menuju kepada kesepahaman dan kesepakatan bersama, menunjukkan hidupnya atmosfir egaliter dalam keluarga.
4. Contoh yang konsekuen
Poin ini dapat kita sambungkan dengan poin 3. Ketika kesepahaman dan kesepakatan telah terjadi, maka selanjutnya melaksanakan tanggungjawab yang menjadi konsekuensi. Jika orangtua memberi contoh yang konsekuen, maka anak akan ikut melaksanakan. Jika kakak mendahului untuk konsekuen, maka adik juga akan melakukan hal yang sama.
5. Mendengarkan, bertanya, terlibat
Dalam fasilitasi proses belajar, baik dalam training ataupun workshop, kadang aku bertanya, mana yang paling sulit antara mendengar, bertanya, atau menjelaskan? Rata-rata menjawab, menjelaskanlah yang paling sulit. Padahal, yang paling sulit adalah mendengarkan. Kadang pikiran kita sibuk sendiri saat orang lain bercerita atau menjelaskan. Kadang kita terlampau berempati, sehingga bingung ketika ditanya saran, setelah seseorang menuntaskan curhatnya. Karena itulah mendengar menjadi bagian yang paling sulit dalam berkomunikasi. Kita perlu mejaga keseimbangan antara mendengar aktif dan mendengar empatik.
Lepas dari mendengar aktif dan mendengar empatik, yang menjadi fokus bagian ini adalah mau mendengarkan, bertanya dan terlibat. Jika orangtua mau mendengar, bertanya dan terlibat dalam aktivitas anak (begitu juga sebaliknya), maka dapat dikatakan keluarga tersebut berada dalam atmosfir egaliter. Orangtua menyediakan waktu dan bersabar mendengar anaknya, tidak malu bertanya kepada anak ketika tidak tahu, dan melibatkan diri dalam aktivitas anak ketika belajar atau bermain.
6. Peduli dan berbagi
Saling peduli dan berbagi antar anggota keluarga juga menunjukkan adanya atmosfir egaliter. Peduli bukan berarti kepo untuk selalu mencampuri. Jika ada waktu untuk saling berbagi cerita, maka saat itulah kita bisa menunjukkan aksi. Jika kita punya lebih, maka kita harus siap memberi. Jika kita ada kekurangan, maka kita juga tak malu menerima uluran tangan.
Itu tadi komponen yang bisa dijadikan indikator hidupnya atmosfir egaliter dalam keluarga. Jika ada lagi yang lainnya, silahkan dibagi di sini ya.. Indikator-indikator ini dapat digunakan untuk meluruskan makna egaliter dalam keluarga.
Jadi egaliter tidak harus setara dalam arti sama rata, sama rasa. Setiap orang tetap harus menyadari posisi, saling memahami, saling mengisi dan melengkapi. Jadi, apakah kita masih enggan untuk membangun atmosfir di rumah kita?