Kedisiplinan bukan pembentukan atau perubahan perilaku yang dipaksakan. Jika hal itu diterapkan, maka yang terjadi hanya keptuhan buta yang hanya bersifat kambuhan. Karena itu, perlu ditumbuhkan disiplin positif pada diri anak. Berikut ini tiga pola strategi dalam mewujudkan disiplin positif pada anak.
Pernahkah Ayah, Bunda, Kakak, menyuruh anak untuk melakukan sesuatu atau melarang agar tidak melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki, tetapi hasilnya hanya bersifat sementara? Secara naluriah, anak berusaha memuaskan kesenangan dirinya. Hanya saja, di sisi lain dalam diri anak juga berkembang sistem kontrol alami yang datang kemudian dengan kekuatan yang kadang tak seimbang dengan dorongan untuk melakukan berbagai perilaku yang menyenangkan. Tidak jarang kesenangan itu bertentangan dengan harapan lingkungan.
Namun kenapa perilaku yang diperintahkan atau dilarang hanya dipatuhi sementara? Jawabannya karena terpaksa. Atau dengan kalimat yang lebih ilmiah, anak didorong oleh motivasi internal untuk melakukan kepatuhan, padahal dirinya sendiri tidak merasa nyaman melakukannya.
Dengan demikian, berbicara disiplin positif berarti berusaha membangun perilaku adaptif (sesuai harapan) pada diri anak yang dimulai dari kesadaran, anak senang melakukannya. Artinya, kita tidak dapat memisahkan dari membicarakan motivasi internal, dan bagaimana menghidupkannya.
Membangun motivasi internal untuk menjadi disiplin bukan sebuah tindakan instan dengan hasil yang spontan. Perlu kontinuitas, konsistensi dan ketelatenan untuk terus melakukannya. Jika disiplin positif sudah terbangun pada diri anak, selanjutnya akan menjadi lebih mudah bagi anak untuk bersikap dan melakukan tindakan yang adaptif.
Bagaimana pola pembentukan disiplin positif pada diri anak? Berikut ini ada tiga strategi yang masing-masing strategi memiliki pola atau varian penerapan.
Strategi 1: Pergeseran penggunaan penjelasan, deskripsi, hingga contoh
Perubahan atau pembentukan perilaku dengan bahasa penjelasan atau nasihat. Perubahan dengan menggunakan penjelasan atau nasihat memiliki keunggulan, yaitu kecepatan dalam mendatangkan perubahan, tetapi lemah dalam daya tahan. Artinya, penjelasan akan lebih mudah diterima oleh anak untuk kemudian dilaksanakan. Karena penjelasan lebih banyak menyentuh wilayah permukaan, maka perubahan perilaku dapat bersifat sementara. Selanjutnya, sangat mungkin anak kembali kepada perilaku semula. Bahasa penjelasan atau preskripsi memang lebih cepat bekerja. Ia menyentuh dua wilayah otak yang berkaitan dalam pemrosesan bahasa, yaitu area wernicke dan area broca. Kedua area tersebut bertanggungjawab untuk menyerap, mengartikan bahasa, serta menyusun ekspresi bahasa sebagai responnya. Begitu cara kerjanya, sehingga informasi mudah dipahami dan dilaksanakan, tetapi bukan diproyeksikan untuk membuat perubahan pada diri. Dengan demikian, bahasa penjelasan dapat diterapkan untuk kondisi yang menghendaki perubahan cepat, misalnya anak dihadapkan pada bahaya, seperti bermain pisau, korek api, dan semacamnya.
Contoh bahasa penjelasan atau preskripsi: “Adik, letakkan pisaunya. Bermain pisau itu berbahaya jika tidak didampingi orang dewasa. Tangannya bisa terluka, karena pisau itu tajam” dan seterusnya.
Pembentukan atau perubahan perilaku dengan bahasa deskripsi. Pembentukan atau perubahan perilaku dengan bahasa deskripsi berarti menggunakan cerita untuk membuat perubahan pada diri anak. Jika kita cermati kalimat sebelumnya, ada kata kunci ‘pada diri’. Artinya, perubahan tersebut lebih diupayakan dari dalam. Bahasa cerita memang tidak mendatangkan perubahan yang cepat seperti bahasa penejelasan atau preskripsi. Menggunakan bahasa cerita butuh waktu dan upaya yang berulang-ulang. Namun demikian, penggunaan bahasa deskripsi berdampak lebih panjang, bahkan bisa selamanya. Bedanya dengan bahasa preskripsi, bahasa deskripsi menghidupkan seluruh bagian otak, tidak hanya area pemrosesan bahasa (wernicke dan broca). Karena itu, anak dapat mengalami apa yang kita ceritakan.
Contoh bahasa deskripsi: “Pada waktu ayah kecil dulu, ayah juga pernah menggunakan pisau kakek. Pisau kakek sangat tajam, karena sering diasah dan digunakan untuk mencukur kumis (orang jaman dulu tidak pakai silet). Ayah sudah diperingatkan untuk tidak menggunakannya jika tidak dibantu orang yang lebih tua. Pada suatu saat ayah mencoba-coba untuk menggunakannya. Ternyata jari telunjuk ayah terkena pisaunya sampai dalam. Karna ayah takut dimarahi, ayah menyembunyikannya, tidak mengatakan pada siapapun. Ayah mencelupkan jari ayah ke bak cuci piring, sampai seluruh airnya memerah karena darah mengalir tidak berhenti. Ini coba lihat jari ayah (sambil menunjukkan jarinya, jika memang hal itu adalah fakta yang pernah terjadi).
Pembentukan atau perubahan perilaku dengan contoh. Cara yang ketiga ini adalah yang paling ideal, karena kita sudah lebih dulu melakukan sebagai contoh. Artinya, sebelum meminta anak untuk melakukan sesuatu, kita harus lebih dulu melakukannya, dan diketahui oleh anak.
Strategi 2: Top-Down Vs Bottom-Up
Pembentukan atau perubahan perilaku top-down berarti kita memberi tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Selanjutnya anak akan melakukannya. Cara ini perlu lebih banyak divariasikan dengan strategi yang kedua, yaitu bottom-up.
Pmebentukan atau perubahan perilaku bottom-up berarti kita mengajak anak untuk merefleksikan sebuah kejadian atau perilaku anak. Kita mengajak anak berdialog untuk menceritakan kembali apa yang telah terjadi. Anak diajak untuk mengeksplor tindakan dan dampaknya bagi diri atau orang lain. Setelah itu baru anak merumuskan apakah tindakan tersebut seharusnya dilakukan atau tidak.
Strategi 3: Pembentukan aturan denga pola pasitf-objek vs aktif-subjek
Pembentukan aturan sebagian mungkin dilakukan dengan cara pasif-objek, yaitu menempatkan anak yang menjalankan aturan sebagai objek pelaku saja. Anak tidak dilibatkan dan merasa punya kepentingan atas aturan tersebut. Penerapan model seperti ini akan membentuk kepatuhan dengan motivasi eksternal. Karena itu, cara ini dapat kita geser kepada model aktif-subjek.
Pembentukan aturan dengan aktif-subjek berarti menempatkan anak sebagai subjek aktif yang dapat dilibatkan dalam membentuk dan menyepakati aturan. Kepentingan anak harus diwadahi dalam aturan tersebut, sehingga ia merasa mendapatkan manfaat ketika menjalankannya.
Demikian pola strategi dalam membangun disiplin positif. Ketiga strategi tersebut merupakan pola yang begeser dari cara yang paling tidak disarankan karena memotivasi kepatuhan secara eksternal, hingga strategi yang paling ideal karena membangun perilaku berdasarkan kesadaran dari dalam. Kita dapat memilihnya, mana yang lebih efektif untuk mewujudkan disiplin positif pada diri anak.
Bagaimana cara Ayah, Bunda, Kakak, dalam mewujudkan disiplin pada diri anak? Apakah bersesuaian dengan cara yang saya uraikan di atas? Boleh dishare di kolom komentar di bawah tulisan ini ya Ayah, Bunda, Kakak semua.