Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?
August 3, 2012 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Pernah dengar bahwa ada orang yang berpuasa hanya dapat lapar dan haus saja? Ini adalah level motif berpuasa kita. Bagaimana hierarchy of needs Abraham Maslow melihat motif puasa kita?
Bulan Ramadhan begini jadi ingat beberapa mata kuliah yang dulu pernah aku fasilitasi. Kalau tidak salah mata kuliah Psikologi Kepribadian. Salah satu materinya dalah tentang Psikologi Humanistik.
Lha kenapa kok inget Psikologi Humanistik pada waktu puasa begini? Ini semua gara-gara Maslow. Lho kesannya kok dia bersalah atas sebuah tuduhan ya..hehehe. Nah, Maslow kan terkenal dengan hierarchy of need. Ini para motivator atau para ekonom pasti tahu, lebih-lebih yang belajar psikologi, pasti sudah jadi santapan dasarnya.
Hierarchy of need atau hirarki kebutuhan Maslow adalah pelevelan kebutuhan manusia dengan isi dan cara pemenuhan yang berbeda-beda. Perbedaan ini ia levelkan seperti sebuah piramida. Ia juga menyebutnya sebagai piramida kebutuhan.
Tetap saja, yang jadi pertanyaan adalah apa hubungannya dengan puasa? Kok jadi ingat teori ini? Ini karena pertanyaan yang sering muncul ketika membahas hirarki kebutuhan ini adalah soal puasa sehubungan dengan kebutuhan dasar pada hirarki Maslow. Bahkan dosenku dulu juga sering menggunakan pertanyaan itu sebagai contoh dalam penjelasannya.
Pertanyaannya adalah, jika makan adalah kebutuhan dasar, bagaimana dengan orang puasa. Kenapa orang puasa yang lapar, kok punya orientasi memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, padahal makannya saja belum terpenuhi? Katanya orang puasa menjalankan ibadah yang sangat mungkin itu dilandasi oleh spiritualitas atau transendensi, tapi kok laparnya masuk kebutuhan dasar?
Biasanya penjelasan yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut langsung ditujukan pada lapar dan makannya, tanpa memahami terlebih dulu bagaimana sifat hierarchy of need Maslow tersebut. Karena itulah beberapa pengajar mengalami kebingungan dengan pertanyaan ini. Kesalahannya adalah pada pemahaman linear pada level kebutuhan tersebut.
Secara linear, sebuah kebutuhan lanjutan baru akan dipenuhi setelah kebutuhan dasar sudah dipuaskan. Misalnya saja kebutuhan makan dan minum. Kebutuhan ini mutlak harus dipenuhi lebih dulu sebelum melanjutkan kepada kebutuhan akan rasa aman, misalnya mempunyai tempat tinggal. Kalau perut sedang lapar atau tak bisa membeli makanan, boro-boro mau mikir kontrak atau beli rumah. Nah, ini yang dikatakan pemahaman linear dalam memenuhi kebutuhan.
Sebenarnya, Maslow membuat hirarki kebutuhannya tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan energi penggerak. Orang biasa menyebutnya motivasi. Kalau motivasi adalah sebuah keadaan, maka pendorong terjadinay keadaan tersebut adalah motif. Nah, tiap level kebutuhan tersebut berperan sebagai pendorong, meskipun kebutuhan yang dipenuhi sama. Bahkan mungkin dengan manifestasi perilaku yang sama pula.
Jika tiap level kebutuhan tersebut sebagai motif, maka orang yang makan atau minum bisa jadi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda. Bisa dibilang dilakukan dengan dasar motif yang berbeda.
Coba bedakan antara tiga pertanyaan berikut: 1) apa yang bisa kita makan hari ini? 2) hari ini kita makan apa? 3) kita makan dimana? Tiga pertanyaan ini sudah menunjukkan motif yang berbeda, meskipun ujung-ujungnya makan juga.
Pertanyaan pertama menunjukkan bahwa makan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ketersediaan makanan digunakan untuk menghilangkan rasa lapar. Dorongan ini bersifat instinktif dan bersifat sangat primitif.
Coba bedakan dengan pertanyaan kedua. Pada pertanyaan kedua, sudah ada kesan memilih. Artinya, ketika orang yang bertanya tersebut lapar, ia langsung tertuju pada pilihan-pilihan makanan. Bagian kedua ini sudah ada tarik ulur antara dunia dalam dan dunia luar diri. Mungkin saja ini didasarkan pada kebutuhan akan rasa aman. Misalnya saja orang memilih makanan mana yang bergizi, makanan mana yang sehat dan bebas bahan pengawet dan sebagainya.
Sekarang coba kita lihat pertanyaan yang terakhir. “Mau makan dimana” terlihat paling jelas jika orientasinya justru bukan pada makanannya, tetapi ditekankan pada tempat makannya. Jika yang pertama berorientasi ke dalam, pertanyaan kedua mulai ada dialog dunia luar dan dalam, pertanyaan terakhir ini lebih tertuju pada dunia luar diri. Mungkin saja pilihan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah makan di rumah, warteg, cafe, restoran dan sebagainya. Karena itulah, pertanyaan ini boleh jadi menunjukkan motif harga diri. Semakin bergengsi tempat makannya, orang merasa status sosialnya semakin keren.
Begitu juga dengan puasa. Orang puasa bukan berarti stag, tidak bisa memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi dari kebutuhan biologis. Bukan berarti urutannya makannya harus dipenuhi makan dulu baru rasa aman, mencintai dicintai dan seterusnya.
Artinya, puasa itu sendiri bisa saja bentuk dari aktualisasi diri atau wujud dari pengalaman puncak. Bisa jadi dalam puasanya, orang mengalami dirinya yang paling murni, diri yang utuh dan menyatu dengan konteks dimana ia berada. Ini kembali lagi pada niat dan kekhusyukan masing-masing yang menjalaninya.
Sebagai tambahan, kita pasti sudah pernah mendengar taujiah (nasehat) tentang puasa, terutama yang berhubungan tentang level puasa. Ada namanya puasanya orang awam (shoumul awwam), puasanya khusus (shoumul khowash) dan puasa istimewa (shoumul khowashul khowash). Nah itu juga didasarkan pada level motif mana kita berpuasa.
Begitu kira-kira penjelasan atas kebingungan status puasa dalam hierarchy of needs. Nah, puasamu sendiri didasari oleh level kebutuhan yang mana hayo?
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
- Work-Life Balance Apakah Sebuah Fatamorgana?
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- 8 Dampak Ketagihan Gadget pada Anak
- Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud
- Mengelola Dampak Adiksi Gadget pada Anak
- Penarikan Simpulan yang Sesat atas Diagnosis Psikologi
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Cara Mengatasi Godaan Ikhlas
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Pentingnya Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Sekilas Cerita tentang Oedipus Complex
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Optimalisasi Internet Mengubah Struktur Ruang dan Waktu
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Perkembangan Moral Kohlberg
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- Paradigma Berpikir Bisa Menjadi Candu
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Bagaimana Psikologi Menganalisa Mimpi?
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- Peran Imajinasi di Tiga Area Penciptaan
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- Teori Belajar Operant Conditioning Skinner
- Fixed Mindset dan Growth Mindset, yang Manakah Dirimu?
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- 5 Prinsip Pengelolaan Waktu Istirahat untuk Menghasilkan Tindakan Efektif
- Reaksi Spontan Atas Ketidaknyamanan Dapat Membentuk Pribadi Kita
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Bersujud adalah Obat Psikologis yang Ampuh
- Bagaimana Seseorang Dapat Larut dalam Pekerjaan?
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- 3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri
- Benarkah Televisi Menyebabkan Keterlambatan Berbicara?
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Kompleksitas Kehidupan Berawal dari Logika Geometri
- Pola Adaptasi dan Pembentukan Mental Kita
- Makna Resolusi Bersifat Tipikal bagi Setiap Orang
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Menjadi Orangtua Itu Sangat Intuitif. Percaya Sama Ahli Parenting?
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Cara Mengatasi Tekanan Fight Flight atau Flow Mana yang Efektif?
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- Paradoxical Intention, Terapi Diri dengan Menertawakan Rasa Sakit
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Riya' Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer
- Air Mata sebagai Emotional Release
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Kekuatan Pikiran Kita Dapat Membentuk Orang Lain
- 5 Jurus Lepas dari Stagnasi
- Need Sebagai Motif dalam Hierarkhi Kebutuhan Maslow
- Bagaimana Melakukan Eksekusi Ide yang Jumlahnya Banyak?
- Puasa Mengajari Kita Menunda Kenikmatan Sesaat
- Video Mesum BEREDAR Lagi, Inikah Sifat Alamiah RAHASIA?
- Pekerjaan atau Anak?