Cerita ringan di kala badan sedang tak memungkinkan berpikir atau bekerja yang berat hehe.
Pada Jumat-Minggu (28-30) yang lalu, kantor mengadakan perjalanan bersama untuk menghadiri undangan pernikahan salah seorang teman. Pestanya di Pematang Siantar. Tuh, jauh banget kan. Karena jauh itulah maka sekalian saja diagendakan untuk jalan-jalan.
Begitu melihat kenyataan di sana, memang benar bahwa acaranya adalah jalan-jalan. Artinya, kita menghabiskan 7×2 jam hidup kita di jalan. Jarak antara Polonia Medan ke Pematang Siantar ditempuh dalam waktu tersebut. Tentu saja ini menggunakan bus berkecepatan menengah.
Di awal perjalanan semua masih terasa biasa. Maksudnya, masih seger, belum terasa capeknya. Ya iya lah, pastinya..
Sepanjang jalan aku lihat rumah-rumah, hutan, perkebunan, tidak jauh berbeda dengan di Jawa. Mungkin karena mirip ini kali ya, sehingga perjalanan jadinya agak membosankan.
Di tengah kebosanan itu, seorang guide menjelaskan tentang agenda perjalanan. Salah satu agendanya, kita akan mampir di sebuah masjid untuk menjalankan sholat duhur. Aku membayangkan, kita akan mampir di sebuah masjid besar kebanggaan masyarakat Medan atau minimal sebuah masjid dengan halaman parkir yang luas dan nyaman. Paling tidak kita bisa melepas lelah sambil minum atau beli cecemilan di sekitar masjid.
Bus merapat di sebuah masjid, atau lebih cocok disebut mushola. Tidak ada halaman parkir yang luas atau deretan kuliner yang bisa mengobati cerewetnya perut kala itu. Iya, ini hanya sebuah mushola kecil pinggir jalan, milik warga setempat. Bahkan temanku mau pinjam sarung saja tidak ada.
Selesai sholat, mata masih meradar, barangkali saja ada penjual minuman di sekitar situ. Apalagi tenggorokan sudah kering kerontang.
Sebuah warung kecil pinggir jalan jadi sasaran. Dipanggil-panggil berulang-ulang, penjualnya tidak juga keluar. Lebih dari 15 menit berlalu, yang ada tetap… ‘krik’. Aku dan temanku mengurungkan untuk berburu minuman.
Satu-satunya sasaran tembak yang tiba-tiba muncul bertengger di samping bus adalah penjual es krim. Ini es krim bermerek seperti yang sering aku temui di Jawa. Duh, sebut saja Walls.
Karena kita tampak rombongan dari jauh kali ya, harga es krimnya jadi tidak normal, mahal banget. Masak kita mau nawar, ya dibayar aja.
Sesampai di atas bus, kita berusaha menghibur diri. Seorang teman bilang, “Ini es krim khas Medan”. Tidak mau kalah, aku tunjukkan es krimku, “Hem, jilatannya Medan banget”, sambil ku jilat es krimnya.