Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Bagaimana Orangtua yang Bekerja Menjaga Perkembangan Emosi Anak Tetap Sehat?

September 11, 2012 . by . in Parenting . 5 Comments

Banyak orangtua lebih mempercayakan anaknya kepada oranglain karena mereka bekerja. Rahasia parenting akan mengupas bagaimana orangtua yang bekerja menjaga perkembangan emosi anak tetap sehat.

Rahasia Parenting: Mengelola Emosi Anak

Sebenarnya ingin posting tulisan ini semenjak seminggu yang lalu, ketika tepat tanggal 1 September, @bitangABC berpindah tangan dari pengasuh yang biasanya datang ke rumah, ke tempat pendidikan anak yang baru. Sebuah pengealaman emosional yang luar biasa, tidak hanya buat Bintang, tetapi juga buatku dan ibunya Bintang. Sebuah kontrak emosi yang berat.

Sudah sering aku membahas tentang usia rentan emosional pada anak. Usia yang dimaksud adalah kisaran 0-2 atau 3 tahun. Ini adalah usia peka dalam merekam pengalaman emosional. Karena itu, pada usia ini anak seharusnya mendapatkan pengalaman emosi yang positif, yang lebih menyenangkan.

Pengalaman emosi positif ini berguna untuk memberikan fondasi buat pengalaman lain yang dibangun di atasnya. Dengan emosi yang positif dan terbangun secara kokoh, anak akan lebih mudah menata perasaannya ketika mendapatkan pengalaman baru, baik yang menyenangkan atau yang membuat sedih sekalipun. Pengalaman positif yang terbangun di usia rekam emosional ini juga membuat anak lebih positif dalam menghadapi realita. Anak akan lebih mudah melihat sebuah pengalaman apapun dari sisi yang lebih menyenangkan. Karena itu, anak jadi tidak rentan stress.

Nah, ini yang terjadi pada Bintang. Sebuah pukulan berat ketika harus melepasnya di sebuah tempat pendidikan anak (orang biasanya sebut penitipan anak) di usia yang belum genap 2 tahun, masih kurang 3 bulan lagi. Lebih-lebih, kontrak terhadap jam kerja juga turut menyumbang kesulitan, karena bersaing denga kontrak emosi dengan anak. Artinya, pekerjaan yang memaksa aku dan ibunya untuk melepas Bintang di tempat pendidikan anak, karena mencari orang baru untuk mengasuh juga tidak gampang. Kalaupun dapat, sama saja Bintang harus menyesuaikan diri lagi. Bedanya kalau pengasuh tempat bermainnya Bintang bisa di rumah.

Karena perang kontrak antara pekerjaan dan perkembangan anak inilah, maka kadang kita salah langkah. Anak sering tidak diberikan kesempatan untuk beradaptasi secara emosional dengan lingkungan baru. Kita kadang tidak menyediakan ruang transisi untuk beralihnya anak kepada suasana dan orang baru. Barangkali saja ini tidak hanya dialami oleh aku dan ibunya Bintang, tetapi juga orangtua lain yang juga harus bekerja.

Meskipun kata yang terakhir itu agak aneh ya, ‘harus bekerja’. Apakah harus? Yang harus itu adalah bertanggung jawab terhadap fondasi untuk membangun diri anak ke depan. Malah pada waktu aku mengantar Bintang ke Club Junior nya yang baru, seorang tetangga tanya, “Oh iya ya, kan Bapak sama Ibu bekerja semua ya…?”. Aku tanya ke tetangga tersebut, “Kalau Bapak sendiri, ibunya tidak bekerja?”. Dia menjawab dengan jawaban yang bikin jleb, “Ibunya ndak bekerja, kasihan anak saya”.

Bermain Membebaskan Anak untuk Merestrukturisasi Emosi dan Pikirannya

Berkaca dari pengalaman ini, ada beberapa kesalahan orangtua, mulai dari cara pandangnya sampai pada tindakan yang dilakukannya. Tentu saja kesalahan-kesalahan ini masih bisa disiasati. Jadi ayah ibu tidak usah khawatir dulu.

1. Memandang bahwa merawat anak bukan pekerjaan

Sudah menjadi rahasia kehidupan yang diketahui setiap orang (kalau semua tahu, berarti bukan rahasia dong hehe), bahwa yang disebut bekerja adalah yang menghasilkan uang. Sementara sebagian yang lain beralasan bahwa bekerja juga untuk menghidupi anak dan kelaurga.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, ‘menghidupi’ berbeda dengan ‘kehidupan’. Apa yang menghidupi belum tentu untuk kehidupan (dalam tanda kutip tentunya). Kehidupan itu lebih mengandung tanggung jawab. Jadi ketika kita menggunakan kata ‘kehidupan’ untuk anak, berarti di dalamnya mengandung tanggung jawab untuk menyelenggarakan pengasuhan dan pendidikan yang sebaik-baiknya untuk perkembangan yang positif bagi masa depan anak. Kalau ‘menghdiupi’ hanya sebatas membuat anak hidup. Makan dan minum, pakaian serta tempat tinggal yang layak sudah cukup untuk menjawab kebutuhan ini.

Yang sering dipandang bukan pekerjaan justru adalah pekerjaan yang sesungguhnya. Banyak orang menyangka bahwa ibu rumah tangga itu tidak bekerja atau bukan pekerjaan. Justru itu adalah profesi yang paling organik. Ibu rumah tangga memasak nasi, mencuci baju, menyeterika, mengepel, menyapu, memandikan anak dan berbagai jobdesc yang seambreg. Seluruh daftar pekerjaan itu lebih bersifat organik, manusiawi dan bermanfaat langsung untuk kehidupan.

Sementara itu, pekerjaan yang kita lakukan karena sebuah kontrak formal sering kita sebut sebagai pekerjaan yang sesungguhnya. Padahal pekerjaan ini bersifat lebih mekanis, lebih mendasarkan pada aturan dan kontrak daripada kemanusiaan, serta manfaatnya tidak hadir secara langsung. Kita bekerja dapat duit, kemudian duitnya kita manfaatkan. Pemanfaatan uang itupun belum tentu tepat sasaran kepada kebutuhan. Tak jarang kita terjebak pada keinginan-keinginan yang tak kunjung padam. Ingat, kebutuhan dan keinginan itu berbeda.

Karena itu, cara pandang yang perlu diubah dan diperkuat semenjak awalnya adalah penghargaan yang setinggi-tingginya untuk pekerjaan ibu rumah tangga. Dengan apresiasi yang tinggi, tentunya ibu rumah tangga dan orangtua yang lebih memilih bekerja lebih dekat dengan anaknya, jadi lebih bersemangat memikul tanggung jawab bagi pendidikan dan perkembangan anaknya.

Sebenarnya ini adalah sebuah isyarat agar pekerjaan di masa depan itu lebih bersifat organik. Pekerjaan seharusnya bisa menerapkan prinsip-prinsip seperti pekerjaan ibu rumah tangga. Kita tinggal menransformasikannya. Apalagi adanya teknologi internet dan pemanfaatan gadget yang luar biasa, setiap pekerjaan bisa dihandle dengan tidak mengurangi perlakuan sayang kita kepada anak.

2. Tidak menyediakan fase transisi emosional bagi anak

Setiap orang, secara alamiah, butuh waktu dan usaha untuk menyesuaikan diri ketika suasana berubah, orang yang berinteraksi berganti, dan kondisi lingkungan tak sama lagi. Begitu juga dengan anak kita. Ketika ia masuk ke PAUD atau TK, berpindah tempat tinggal, sekolah baru, pembantu atau pengasuh baru dan sebagainya, mereka butuh hal yang sama seperti orang dewasa. Jadi, kalau orang dewasa yang lebih bisa melakukan rasionalisasi saja butuh usaha, apalagi anak-anak yang masih rentan secara emosi.

Jika ayah bunda memang mentok harus menitipkan anaknya, maka pastikan anak masuk pada waktu yang ayah atau bunda masih bisa mendampinginya. Ikutlah bermain bersama mereka sebelum melepasnya.

Ini memang berbeda dengan anak yang sudah lebih besar, misalnya masuk taman kanak-kanak. Mereka sudah bisa berpikir dalam proses penyesuaian dirinya. Karena itu, gampang kita ajak untuk berdialog, menyinkronkan antara pikiran dan perasaannya. Ia mulai bisa melakukan resionalisasi. Misalnya bermain, banyak teman, nanti sorenya ketemu lagi dan bermain lagi dengan orang tua, adalah contoh rasionalisasi yang bisa kita dialog-kan dengan anak. Kalau sudah lebih besar seperti ini, anak bisa lebih siap untuk ditinggal.

Namun untuk anak-anak yang masih rentan secara emosional, yang juga mudah sekali merekam pengalaman yang menyertai emosi tersebut, orangtua tetap harus menyediakan waktu transisi untuk emosi anak belajar menyesuaikan diri. Usaha seperti ini berguna untuk menransformasi emosi menyenangkan bersama orangtua kepada pengasuh yang baru, beserta lingkungan di sekitarnya.

3. Tak ada penyeimbang emsoi bersama orangtua

Ketika anak kembali dari pengasuhnya di sore hari kepada orantuanya, kadang orangtua menerima anak ala kadarnya. Orangtua bisa melakkan sesuatu yang lebih dari biasanya.

Bukan berarti orangtua memanjakan anaknya setelah anak pulang dari tempat bermainnya yang baru. Tapi orangtua bisa memberikan pengalaman emosional yang positif, sambil mencari pengait dengan tempat bermain anak yang baru. Sambil diajak jalan-jalan atau memberikan pelukan hangat, orangtua bisa mengajak anak bercerita tentang pengalamannya selama ada di tempat bermain.

Kadang memang tidak begitu saja anak bisa diajak berdialog tentang tempat bermainnya yang baru. Sebagian anak ada yang masih sedih, bahkan marah, ketika dijemput orangtuanya. Ini mungkin bentuk protes mereka karena ditinggalkan bersama oranglain. Kalau kondisinya seperti ini, kita berikan rasa aman dan nyaman dulu, sampai anak bisa merasa sedikit lebih tenang. Jika emosinya sudah mereda, barulah kita mengajaknya bercerita tentang pengalamannya.

Rasa Nyaman dan Aman Harus Diberikan pada Masa Transisi Emosi

Begitulah refleksi pengalaman yang mungkin bisa berguna buat ayah bunda yang bekerja dan meninggalkan anak-anaknya di rumah atau di tempat bermain. Memang, yang lebih ideal, kitalah yang memegang secara langsung anak kita, sampai ia kuat secara emosional, yaitu pada kisaran usia 2 atau 3 tahun.

Apakah Ayah Bunda punya strategi yang lainnya? Bagi dong, Ayah Bunda!

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: , ,

Artikel tentang Parenting Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

5 Comments

  1. WordPress › Error

    There has been a critical error on this website.

    Learn more about troubleshooting WordPress.