Pemilihan umum sudah terlaksana. Komisi Pemilihan Umum sedang merampungkan tugasnya. Presiden juga kembali dengan pekerjaannya. Mari kita fokus lagi untuk membangun negeri ini. Sekarang saatnya berbuat untuk negeri ini.
Sebenarnya saya tidak ingin membuat tulisan yang bersinggungan dengan politik di blog ini. Jika sekadar menyuarakan uneg-uneg dari keresahan yang terjadi belakangan ini, cukuplah sosial media yang lain, seperti facebook, twitter, instagram yang menjadi jalurnya. Tapi karena suasana panas belakanan ini tidak kunjung reda, maka tidak ada salahnya blog ini punya kontribusi untuk mendinginkannya.
Memilih antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi adalah keniscayaan dalam pemilihan umum ini, karena pilihannya yang cuma dua pasang calon itu. Itu hanya pilihan calon presiden. Keduanya bukan manusia sempurna. Kita cuma berusaha (ikhtiar) untuk mendapatkan yang terbaik di negeri ini. Sebaliknya, kedua pasang calon pasti orang-orang baik yang ingin berbuat terbaik untuk negeri ini. Hanya saja, sepercaya apa kita, sekuat apa dukungan kita untuk mereka, itu juga berpengaruh terhadap kemajuan sebuah negara. Siapapun yang menjadi pemimpin, jika masyarakatnya tidak percaya, maka kinerjanya juga tidak akan optimal. Banyak keberhasilan akan tetap dicibir. Sedikit melakukan kesalahan akan dibesar-besarkan.
Sehubungan dengan ilustrasi di atas, ada dua kekuatan yang sedang mendesak dibutuhkan oleh negeri ini. Pertama, rasa saling percaya. Kepercayaan antar warga negara sekarang sudah mulai menipis. Setidaknya diantara kedua kubu yang menjagokan paslonnya masing-masing. Sekarang kesalingpercayaan itu sudah sangat mengkhawatirkan. Kita rakyat kecil bisa memulai dari diri sendiri, dari langkah kecil, dan harus segera bertindak untuk menumbuhkan dan menguatkan kesalingpercayaan ini. Lebih-lebih lagi, contoh sikap saling percaya hendaknya juga ditampakkan oleh para pemimpin, termasuk juga ulil amri di semua levelnya, seperti para ulama. Jika kita tidak percaya pemerintah, tidak percaya penyelenggara pemilu, tidak percaya lembaga survey, itu hanya indikasi kecil semakin kuatnya kesalingtidakpercayaan ini.
Kekuatan kedua yang perlu dikembangkan adalah persaudaraan. Kita perlu ingat kembali bahwa kita adalah bagian dari negeri ini. Kita adalah keluarga besar. Sesama saudara seharusnya saling menguatkan dan berpegangan tangan. Jika ada pihak luar (dengan berbagai wujudnya, misalnya ideologi) yang merongrong kita, maka kita hadapi bersama. Jika sebagian dari kita mudah diperalat oleh si perongrong, maka persaudaraan kita sedang terancam. Masalahnya, jika yang merongrong kita dari luar, maka kita akan lebih mudah untuk berhadap-hadapan dengannya. Tapi jika perongrong itu dari dalam, ini yang sulit. Di satu sisi perongrong bisa juga ditungggangi pihak luar, di sisi lain si perongrong adalah saudara kita juga (yang semoga memang karena sedang khilaf oleh tunggangan pihak lain).
Bagaimana menghadapi perongrong dari dalam? Karena mereka saudara kita juga, maka sebaiknya kita tidak memperlakukan mereka sebagai musuh. Jika kita bermusuhan dengan saudara sendiri, pada saat yang sama, orang yang punya kepentingan atas permusuhan kita punya celah untuk menghancurkan negeri ini. Jika kita menganggap perbuatan saudara kita salah, maka tugas kita untuk merangkul dan mengajaknya untuk menjadi benar. Jika kita memusuhinya, maka sebenarnya kita tidak berbeda, sedang berbuat salah juga.
Mari kita mulai dengan analogi yang kadang dijadikan anekdot, “Jika ada orang yang berduaan, maka ketiganya adalah setan”. Nah, yang sedang berduaan dengan kita itu adalah saudara kita, sementara yang meniupkan api kebencian dan kemarahan adalah setannya. Jangan membenci saudara kita yang sedang dikuasai oleh setan. Kita perlu menyadari bahwa setan itulah yang layak dibenci. Bahkan pada level tertinggi, kita juga tidak perlu bermusuhan dengan setan. Kita tahu pekerjaan setan menggoda manusia, maka kita biarkan saja ia dengan pekerjaannya. Lha wong memang takdirnya begitu. Apakah kita perlu memusuhinya? Boleh saja jika kita ingin menghabiskan energi untuk itu. Lebih baik kembali kepada amaliah dasarnya, menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jika kita berkonfrontasi dengan setan, maka pada saat itulah setan punya akses untuk menjerat kita pada kelakuan yang sama dengannya. Kemarahan kita, kebencian kita terhadapnya, dijadikan alat oleh setan untuk menjadikan kita sebagai pembenci, pemarah.
Pada konteks yang berbeda, logika ini juga berlaku. Jika ada yang menyerang, meniupkan kebencian, menyalakan api permusuhan, sebaiknya kita tidak meladeninya. Lebih baik kita fokus untuk membuat suasana dingin, sehingga api itu akan tetap menyala dalam fungsinya, misalnya untuk penerangan atau perapian dapur untuk memasak. Tidak perlu memusuhi apinya, karena api juga tetap punya fungsinya. Jika kita meladeni berperang dengan api, pada saat perang, secara tidak sadar kita menjelma menjadi api juga. Kita menajdi pemarah dan pembenci. Begitulah cara kerja setan menarik kita ke lembah tergelap yang penuh dengan dosa.
Maka dari itu, yang pertama kita lakukan adalah memilah perilaku murni saudara kita atau perilaku yang dipengaruhi tiupan api setan. Setelah dipilah, barulah kita membawa saudara kita ke tempat dingin dan membiarkan api itu menyala di tempatnya. Kita ajak saudar kita melihat api dari tempat yang sedikit menjauh, sehingga ia sadar bahwa perilakunya selama ini karena api itu, bukan dirinya yang sesungguhnya.
Demikian upaya kecil untuk mendinginkan suasana yang panas belakangan ini. Semoga rudicahyo.com punya kontribusi yang lebih besar lagi buat negeri ini. Mari kita berbuat demi kemajuan negeri ini! Majulah Indonesiaku, Indonesia Kita.