Pekerjaan tidak ada habisnya. Tiap hari selalu menguntit dan mengejar kita. Kita hidup di dalamnya, tinggal bersama pekerjaan. Pekerjaan juga menuntut kita untuk banyak belajar. Bekerja dan belajar sering membuat kita lupa, bahwa anak adalah tempat terdekat untuk belajar dan pekerjaan kita yang utama. Ini ada sebuah surat yang berbicara antara anak dan karir. Simak yuk!
Kiranya lebih enak jika tulisan ini diawali dengan pertanyaan, berapa jam waktu sehari yang kita curahkan untuk anak? Lebih banyak mana, energi yang kita curahkan, antara pekerjaan dan anak? Lebih besar mana porsinya, antara belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau mempelajari anak kita?
Sebelum lanjut membaca, lebih baik dihitung dulu atau dibayangkan, apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ok, aku tunggu sampai Kamu menjawabnya. Sudah dijawab? Kalau sudah, boleh deh dilanjutkan.
Kenapa pertanyaan ini aku ajukan? Selain karena itu persoalan kebanyakan orangtua yang bekerja, ada sebuah surat menarik yang masuk di rubrik tanya rudicahyo. Sebenarnya ini surat lama. Hanya saja, Ibu TT, yang ngirim surat, mengirimkan lagi surat kedua. Nah, karena surat kedua inilah persoalan yang dicurhatkan ini menjadi menarik.
Kali ini hanya akan disajikan pengantar surat tersebut, karena bagian itulah yang aku sebut menarik. Untuk bagian pertanyaan dan jawabannya, tidak akan aku tulis di sini. Itu wilayah tanya rudicahyo hehe.
Halo Pak/Kak Rudicahyo
Saya TT, seorang ibu yang bekerja. Saya ibu muda yang juga baru saja bekerja sebagai dosen. Sebagai dosen muda, banyak sekali pekerjaan yang saya lakukan. Memang seperti itulah biasanya dosen muda.
Sebagai info, saya bekerja di kampus swasta. Meskipun bukan kampus negeri, kampus tempat saya bekerja tergolong favorit. Malah bisa dibilang, standar dan tuntutan di kampus saya sangat tinggi. Selain pekerjaan administrasi yang banyak, mata kuliah yang harus diampu atau diajar juga tak sedikit. Dosen muda seperti saya juga diwajibkan melanjutkan kuliah di luar negeri. Tidak hanya itu, saya juga masih ada kewajiban pengabdian masyarakat, menyelenggarakan kegiatan yang berguna buat masyarakat. Masih ada lagi, saya harus melakukan penelitian. Hebat kan Kak/Pak? hehe
Untuk bisa mencapai keharusan itu semua, saya harus punya waktu untuk belajar disamping bekerja. Saya memang masih belum menemukan pelajaran dari aktivitas saya bekerja. Artinya, pekerjaan saya itu masih bersifat seperti pekerjaan, tidak sekaligus memberikan pelajaran. Karena itu, untuk belajar sendiri, saya harus meluangkan waktu untuk membaca.
Buntut dari pekerjaan saya ini, saya jadi punya waktu sangat sedikit buat anak saya. Ketika mencoba untuk bersama anak, misalnya dengan berjalan-jalan, bermain atau aktivitas semisal itu, pikiran saya tetap terpaku pada pekerjaan. Sedikit saja senyum, kembali mulut saya mengatup.
Ditambah lagi anak saya selalu banyak menyita perhatian. Disamping keperluan sehari-harinya, seperti mandi, makan, ganti popok dan lain-lain, juga ulahnya yang kadang sama sekali tidak memberikan kesempatan buat saya untuk membuka buku atau laptop. Ketika emosi saya memuncak, ingatan saya melayang kepada teman-teman yang kursus di sana-sini, belajar Bahasa Inggris, pulang larut, melakukan diskusi dan banyak lagi.
Saya sadar, bahwa anak saya sangat penting. Perkembangannya adalah urusan utama saya. Namun, saya tidak bisa mengingkari bahwa saya menginginkan melakukan banyak hal untuk pengembangan diri saya. Saya ingin banyak belajar. Banyak buku-buku yang saya beli hanya dibaca beberapa lembar, bahkan masih banyak yang bersegel……
Demikian kurang lebihnya curhat dari Bu TT. Suratnya tidak ditayangkan seluruhnya, karena panjang banget hehe.
Sebenarnya ini adalah keluh kesah yang mungkin dialami oleh hampir semua ibu-ibu yang bekerja dan berorientasi pada karir dan pengembangan dirinya.
Yang menarik adalah balasan surat dari Bu TT pasca ia mencoba menjalankan apa yang aku sarankan. Tepatnya bukan saran atau nasihat, tetapi lebih kepada tulisan reflektif yang aku persembahkan buatnya. Berikut ini adalah balasan suratnya.
Salam Pak rudicahyo
Apa kabar, Pak? Kali ini, saya akan curhat lagi. Tapi pasti berbeda dengan curhat saya dulu. Bedanya, kali ini saya ingin curhat dengan perasaan yang lebih bahagia. Karena itu, sebelum curhat, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak atas saran-saran yang telah diberikan.
Sekarang saya merasa lebih plong dengan anak saya Pak. Saya menerima dengan lapang dada anak saya sebagai karunia. Saya sudah mulai banyak menghitung nikmat Tuhan yang harus saya syukuri dari anak saya. Saya merasa bahwa anak saya adalah buku terbaik tempat saya belajar. Anak saya adalah realita yang paling nyata dibandingkan dengan text book atau buku best seller terlaris sekalipun. Berkumpul bersama anak dan keluarga jauh lebih seperti surga daripada mendekam di dalam lab atau menenggelamkan diri di depan laptop. Tentu saja bukan berarti meninggalkan pekerjaan saya.
Sekali lagi terimakasih, Pak….
Suratnya aku potong sampe sini saja ya. Inipun sebenarnya ada banyak bagian yang aku hilangkan, karena terlalu banyak pujian. Ya biar tidak tenggelam dan terlena dengan pujian lah hahaha.
Namun demikian, bertolak dari persoalan yang dialami Bu TT dan balasan yang menunjukkan bahwa ia telah tercerahkan, aku kira bisa menjadi pelajaran berharga buat kita semua. Bukan cuma buat Ayah/Bunda, tapi juga buat aku pribadi. Karena itu, aku juga sepatutnya berterimakasih kepada Bu TT.
Apakah Kamu juga mengalami persoalan pilihan antara anak dan karir, seperti yang sama dengan Bu TT? Boleh mengirim surat ke rudicahyo@idcerita.org untuk rubrik Tanya rudicahyo.
6 responses to “Antara Anak dan Karir, Sebuah Surat dari Seorang Ibu”
Kalo saya sih… bekerja itu penting juga bagi masa depan anak saya.. Laki-laki usia 3 tahun, karena suatu hari dia akan jadi kepala keluarga, harus tau bawa cari duit itu susah, dan utk mendapatkan kehidupan yang baik harus bekerja keras..
prinsip saya.. meluangkan waktu dengan anak bukan kewajiban..
TAPI KEBUTUHAN saya sbg perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat, baik oleh pekerjaan maupun hal lainnya..
Nah, yg ini setuju. Toh di masa depan akan semakin banyak pilihan pekerjaan. Kita berhak memilih dan disesuaikan dengan kebutuhan, mana yg terbaik buat diri kita, anak dan keluarga. Begitu ya Mbak?
Karier ok tapi anak harus tetap nomor satu
Nice share!
Jadi pengen share juga nih..
Saya Ibu yang sejak mengandung anak sudah berani resign dari karir saya. Sekarang anak full ASI sampai 2 tahun dan selalu sehat.
Buat saya dan suami, anak tetap nomor 1. Jadi kami siapkan semua yang terbaik buat anak. waktu dan tenaga kami siapkan paling utama dibanding uang dan karir.
Nah.. untuk ekonomi keluarga, tetap bisnis dari rumah yang paling menjanjikan koq!
Terima kasih untuk bisnis hebat & nyata yang kami jalani saat ini. Mau saya share kisah sukses saya dalam keluarga?
Coba deh kunjungi blog saya di http://www.kerjadirumahaja.com ! Kita share yuuk!
@kerjadirumahaja.com #kerjadirumahaja.com
#bisnisdarirumah # bisnisrumahan #bisnisiburumahtangga
Q mau curhat ini q seorang ibu satu anak q bekerja sebagai seorang bidan dulu anakq sama pembantu tp pas saya tingal tgs anak saya ngk diperhatikan alias ditelantarkan trs anak saya saya taru di nenekx tp nenekx skarang sakit sakitan ada si mertuaq tp rmx kalau perjalananx ditempat selama 6 jam
Apa yang bisa dibantu, Bu Sri