Kenapa Orangtua Kesulitan Melakukan Pendidikan Seks Usia Dini?


Pendidikan seks usia dini adalah salah satu topik yang sering dibicarakan (bahkan dibutuhkan) oleh para orangtua. Namun kebanyakan orangtua kesulitan melakukannya. Kenapa? 

Masih ingat kasus kekerasan seksual pada anak di Jakarta International School? Memang ada beragam sudut pandang dalam melihat kasus ini. Begitu juga banyak faktor yang dapat menyebabkan kasus semacam ini terjadi. Ketika banyak pihak berbicara tentang keamanan, memang persoalan utamanya adalah keamanan. Namun keamanan di sini berarti luas. Keamanan yang dimaksud juga termasuk keamanan untuk diri sendiri, yaitu keamanan yang diupayakan oleh anak sendiri.

Bagaimana seorang anak yang lebih lemah daripada orang dewasa mampu menjaga diri dari orang dewasa? Arti menjaga atau mengamankan diri juga luas, karena mencegah juga termasuk di dalamnya. Dengan apa anak-anak menjaga diri dari kekerasan seksual? Salah satunya adalah dengan pendidikan seks usia dini.

Kita tahu, artikel tentang pendidikan seks untuk anak atau pendidikan seks usia dini sangat banyak kita temui di internet. Sebenarnya aku enggan menuliskannya. Namun ada tiga alasan yang membuat aku akhirnya menuliskannya. Alasan pertama ya karena adanya kasus kekerasan seks di Jakarta International School.

Artikel ini berawal dari kultweet di #PsikoTweet tentang “Kekerasan Seksual kepada Anak” yang kemudian aku tulis menjadi artikel dengan judul yang mirip, “Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi”. Pada sisi lain, ada komentar di rudicahyo.com yang menginginkan membahas tentang kekerasan seksual yang terjadi di JIS dan bagaimana menjaga anak dari kekerasan yang serupa. Itu alasan yang kedua.

Alasan yang ketiga, karena setelah aku baca artikel-artikel tentang pendidikan seks pada anak atau pendidikan seks usia dini, banyak yang menempatkan seks seperti cara kebanyakan orang dewasa memandang seks. Seks tetap ditempatkan pada tempat yang sakral. Tentu saja artikel-artikel itu malah menuai efek, orangtua juga akan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Karena itulah, wajar jika para orangtua merasa kebingunan melakukan pendidikan seks untuk anak. Ok lah, tak masalah jika seks memang sesuatu yang sakral atau dianggap sakral. Tapi jangan lantas kemudian malah membuat orangtua menjadi kikuk dengan pendidikan seks bagi anak-anaknya.

Karena alasan yang terakhir, mari kita memandang dan menempatkan seks secara lebih objektif. Artinya apa? Ok, seks memang mengandung emosi. Dalam pelampiasannya, seks melibatkan dorongan dan cara melakukan release (pelepasan) dorongan tersebut. Seks juga melibatkan value dan moral tertentu. Ada justifikasi baik dan buruk atas seks dengan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud adalah pelegalan hubungan seks menurut agama dan hukum legal. Kalau dari sisi agama, seks yang benar dilakukan dalam hubungan pernikahan. Sementara dari sisi hukum legal, seks yang benar dilakukan tanpa melanggar hak asasi manusia. Artinya, seks yang dilakukan oleh para pelaku di JIS jelas melanggar kriteria benar dari sisi agama dan hukum.

Kebanyakan orangtua kesulitan melakukan pendidikan seks usia dini karena mentabukannya (doto: dakwatuna.com)

Mari kita kembali kepada maksud dari menempatkan seks secara lebih objektif. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, menempatkan seks secara objektif berguna agar orangtua tidak kikuk atau canggung melakukan pendidikan seks bagi anaknya. Menempatkan seks secara lebih objektif adalah melihat seks lebih sebagai bagian dari aktivitas biologis. Meski tetap melibatkan emosi, kita bisa memandang seks sebagai aktivitas biologis, cara pelestarian keturunan dan membentuk sekumpulan orang yang disebut keluarga.

Dari sononya, seks sendiri berarti jenis kelamin. Ini berarti, secara alamiah seks memang berada pada konteks aktivitas biologis. Menempatkan seks sebagai aktivitas biologis akan memudahkan bagi orangtua untuk melakukan pendidikan seks usia dini, misalnya menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan, hubungan laki-laki dan perempuan, asal mula adik, alat kelamin ayah/ibu dan sebagainya. Sebaliknya, jika sejak awal terburu-buru menempatkan seks sebagai sesuatu yang sakral dan terlampau emosional, maka akan menghambat orangtua dalam melakukan pendidikan seks usia dini.

Itulah yang membuat orangtua kesulitan melakukan pendidikan seks usia dini. Untuk cara atau bagaimana melakukan pendidikan seks usia dini, akan aku tulis di artikel berikutnya.

Bagaimana pendapatmu tentang anggapan tabu mengenai pendidikan seks usia dini?

SUDAHKAH ANDA MENDAFTAR?

4 responses to “Kenapa Orangtua Kesulitan Melakukan Pendidikan Seks Usia Dini?”

  1. assalamualaikum,,. apakah tidak berdampak buruk kalau orang tua memberikan pendidikan sex usia dini.. karena anak di usiia dini mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi? terimakasih

    • Walaikumsalam

      Tentu saja tidak. Pertama, kita memang harus mendefinisikan seks dalam arti yang lebih luas. Seks bukan hanya hubungan intim. Perbedaan antara lelaki dan perempuan dengan berbagai cirinya, juga bagian dari pembahasan seks. Itu nantinya akan menjadi bagian dari kehidupan anak, kehidupan kita, kehidupan manusia. Anak memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, maka untuk perkembangan yang sehat, kita perlu memenuhi rasa ingin tahu anak dengan cara yang benar, bukan justru menutupi atau memunahkan rasa ingin tahunya. Berbicara tentang pemuasan rasa ingin tahu dengan cara yang benar, berarti kita sudah membicarakan hal kedua, yaitu cara. Yang pertama tadi, tentang seks, berarti kita sedang berbicara tentang ‘what’. Sedangkan tentang cara penyampaian, kita berbicara tentang ‘how’. Di artikel ini memang lebih menekankan pembahasan tentang ‘what’. Artikel tentang ‘how’nya akan segera menyusul.

      Semoga sudah bisa memberikan jawaban yang diinginkan..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *