Setiap anak memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Orangtua melakukan upaya terbaik untuk meningkatkan atau menghilangkan kelemahan anak. Itu baik. Namun tak jarang orangtua terjebak, malah melemahkan diri anak. Ketika berusaha menyingkirkan kelemahan anak, orangtua sering tidak sadar malah menguatkan kelemahan tersebut. Karena mengungkit kelemahan justru dapat menghilangkan kekuatan.
Karena tidak pandai matematika, seorang ibu berusaha memperbaiki kemampuan anaknya dalam hal tersebut. Kepada anaknya, ia memberikan les tambahan, memanggil guru privat, mengikutkan bimbingna belajar. Sampai suatu saat si anak menyadari bahwa segala upaya yang dilakukan ibunya didasari karena kelemahannya dalam matematika. Akbatnya, si anak semakin menguatkan antisipasinya terhadap pelejaran matematika atau segala sesuatu yang berbau matematika. Ia semakin sulit belajar matematika.
Ilustrasi di atas adalah contoh yang paling mudah untuk memberi gambaran bahwa mengungkit kelemahan dapat meruntuhkan kekuatan. Namun memperbaiki kekurangan bukan berarti jelek. Hal itu sah dan baik. Namun kata yang aku pilih di sini adalah ‘mengungkit’. Kata ini lebih berkonotasi kepada melihat kekurangan hanya sebagai kelemahan yang harus dibasmi. Hal inilah yang membuat kekuatan anak menjadi semakin lemah. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mari kita lihat kornologi logis, bagaimana proses itu bisa terjadi.
Fokus kepada kelemahan bikin kita mengabaikan kekuatan. Ketika kita terlampau fokus kepada kelemaha anak, maka lama-kelamaan secara tidak disadari, kita dapat mengabaikan kekuatan yang dimiliki oleh anak. Anggap saja kita berusaha seratur persen untuk membasmi kelemahan. Beruasha seratus persen berarti juga memerikan perhatian seratus persen. Maka orangtua tidak punya sisa prosentasi perhatian untuk kekuatan anak.
Fokus kepada kelemahan membuat anak semakin menyadari kelemahannya. Menyadari kelemahan tetap bisa menjadi hal positif jika anak dapat menyikapinya secara bijak. Tapi tidak banyak anak yang bisa berpikir ala orang dewasa soal kebijaksanaan menyikapi kekurangan. Ketika ia sadar bahwa orangtuanya mengupayakan untuk ‘meyembuhkan’ kelemahan, maka anak akan tahu bahwa ada harga mahal atas kelemahan yang ia miliki. Ia semakin merasa membebani dan kelemahannya itulah yang menjadi sumber masalahnya.
Peryataan deklaratif atas kelemahan anak, kadang tak disadari. Orangtua banyak yang melakukan hal ini secara tidak disadari. Secara teoritis, mudah bagi kita untuk berpikir logis bahwa kata-kata negatif dapat melemahkan diri anak. Misalnya anak dikatakan, “Kamu bodoh bingit sih!”. Anak akan merasa dirinya bodoh. Contoh ini lebih mudah kita saksikan, karena kejadiannya lebih mudah disadari. Bagaimana jika suatu ketika seorang anak yang mencoba membantu orangtuanya mengangkat barang, tiba-tiba menjatuhkannya dan barang tersebut pecah berkeping-keping? Mungkin saja orangtuanya bilang, “Duh, kalau ndak kuat, ndak usah ikut bantu!”, “Wah, kalau dia mah jangan disuruh angkat-angkat!”, “Hem, sudah ku duga!”, dan semacamnya. Deklarasi seperti ini kadang tak disadari. Pada saat itu, meskipun anak terus membantu, kata-kata kita tetap masuk dalam benak atau hati anak. Hal ini lama-lama akan membuat anak semakin merasa lemah.
Demikian proses yang menunjukkan bahwa mengungkit kelemahan anak dapat menghilangkan kekuatan yang ia miliki. Apakah Ayah/Bunda/Kakak pernah melakukan atau mengalami diperlakukan seperti hal tersebut di atas? Boleh di-share di sini dong!