Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
February 5, 2014 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Apa yang dibawa pulang anak-anak kita ketika menyelesaikan sekolahnya? Orang pasti serentak menjawab nilai dan ijasah. Karena dalam dunia pendidikan kita, ijasah adalah surat keluar sekaligus tiket masuk ke dunia kerja.
Ketika angka (baca: nilai) menjadi yang utama, tentu bukan sepenuhnya salah mereka. Ini seperti berhala sistemik #pendidikan
Berawal dari tweet tersebut yang mendapatkan banyak reply dan retweet. Itu seperti sebuah kata-kata dari kehidupan masa lalu yang selalu menjadi trend. Dengan kesadaran, tanpa ikut-ikutan, aku telah membuat bunyi-bunyian sudah 10 tahun lamanya. Aku pernah sadar dan tetap memelihara kesadaran itu. Aku pernah mempunyai kelompok studi yang konsentrasi memperhatikan dunia pendidikan. Jatuh bangun, diringkus dan dicekal, bahkan perjuangan lewat tulisan diberedel habis-habisan. Ya, masa lalu yang selalu menjadi trend dalam kehidupanku. Bedanya, dia menggema dan semakin menjauh. Kenapa?
Saat aku membuat tweet tersebut pun, aku sedang mengoreksi hasil ujian, memasukkan nilai di samping sederetan nama orang. Mendapat sapa dan teguran ketika nilai tak sesuai harapan dari yang telah merasa mampu mengerjakan ujian. Bukan soal keberhasilan atau kegagalan yang melahirkan protes, tapi karena kecilnya angka sebagai ujung dari harapan.
Di rumah, bukan hanya aku sendiri yang bekerja dengan ujung penilaian (angka-angka). Ibunya Bintang juga menggembala para murid yang datang dan berharap cepat pulang. Penanda untuk mereka cepat hengkang adalah diselenggarakannya ujian, mulai dari ulangan harian, semesteran, hingga yang tingkatnya nasional. Bahkan minggu depan aku diundang untuk memberikan motivasi ratusan murid SMP untuk menghadapi ujian nasional. Apa bukti bahwa usia para murid di sekolah setara dengan angka-angka yang diperolehnya? Ya, tuntutan kriteria ketuntasan minimal penilaian. Jika tidak memenuhi, maka sekolah tanpa harus memerintah, mengharuskan para guru untuk menuntaskannya. Remedial, ujian perbaikan, minta tugas dan sebagainya, diselenggarakan hanya untuk membesarkan angka-angka (baca: nilai). Apapun itu, untungnya aku tak sendiri.
Ketaksendirianku tidak sampai di sini. Ini ada sebuah kutipan yang aku ambil dari status facebook teman. Entahlah, apakah boleh menyebutkan namanya. Namun bagaimanapun juga, kalau merujuk pada etika pengutipan, seharusnya aku menybutkan namanya.
Seorg mhsw menemui saya, meminta umpan balik yg saya berikan di tulisannya. “Ada yg mau ditanyakan feedbacknya?”, tanyaku, “Ada kesempatan revisi ndak bu”, tanyanya. “Kenapa?”, tanyaku. “Nilai saya jelek bu, dapat D”, jwbnya. Hanya saya perhatikan, dia tdk begitu memperhatikan umpan balik saya. Dia hanya membalik2 kertasnya kmdn menutupnya. Ini fenomena yg cukup sering saya jumpai, mhsw mungkin merasa kurang penting memahami dulu apa yg perlu diperbaiki dr kekurangannya, ttp yg utama dia bs punya ksmptn dulu merubah nilainya. Nilai yg utama, bukan proses bljrnya. “Saya perlu ambil skripsi bu, kalau saya tdk lulus matkul ibu ini, sya gk bs ambil skripsi”, katanya lg. “Tp mnrt pendapatmu, feedback yg saya kasih utk kmu bs dipahami gk?” tanyaku mencoba mengarahkan ke tugasnya lg, “memang saya krg maksimal bu, saya akui, tp tolong saya spy bs skripsi bu”, jwbnya. “Ya sdh, revisi smstr dpn sja ya, gpp kan?” saya ttp bersikukuh dia tdk bs lulus. Mgkn ada yg berpandangan saya terlalu kejam, meluluskan satu saja apa sih susahnya. Tp sbg pendidik saya hrs dpt mengusahakan PROSES BELAJAR yg maksimal utk anak didik saya. Saya coba merefleksikan dlm hubungan pribadi dg Tuhan, saya mengalami bhw Tuhan mendidik kita dg keras, utk membentuk kita jd pribadi yg kuat. Ketika dlm doa saya meminta Tuhan utk melalukan ujian ini, mudahkan jalan saya, yg saya temui bahkan Dia membuat saya ada sdkt lbh lama dlm ujian utk melihat apa saya setia utk belajar. Saya bhkn skrg blj bhw proses yg lama malah membuat ketekunan kita bertambah dan tdk mudah menyerah. Shg bg saya tdk apa2 tdk meluluskan mhsw, yg utama buat mrk bljΒ Β Gbu – @Aryani3Wrastari –
Kembali lagi ke tweet yang aku tulis. Benar, tak sepenuhnya ini salah mereka. Ini seperti berhala sistemik. Artinya, angka dan ijasah tak berdiri sendiri tanpa rangkaian yang menyertai. Masyarakat kita menganggap bahwa pendidikan yang berkualitas adalah yang terhubung langsung dengan dunia kerja. Itulah yang menyebabkan matematika, bahasa dan sejenisnya punya nilai jual yang lebih tinggi daripada olahraga dan seni. Karena mereka lebih terhubung dengan dunia kerja nantinya (Baca juga “Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan” dan “Angka dan Tuhan“).
Karena bagian dari sistem, maka seharusnya ada banyak hal kreatif yang bisa kita lakukan, sementara sistem itu tetap tak bergeming dan terus berjalan (baca juga “Untuk Para Pendidik, Mari Kembali ke Substansi Pendidikan“). Namun gerakan kita yang punya semangat sama, akan terus menggelitik sampai perubahan itu benar-benar nyata adanya. Mari terus bergerak untuk pendidikan kita yang lebih baik!
Apakah Kamu punya semangat yang sama?
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Pemimpin itu Pendidik
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan