Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
Februari 22, 2015 . by rudicahyo . in Parenting, Pendidikan . 9 Comments
Anak mogok sekolah adalah keluhan yang banyak dialami oleh orangtua. Penybabnya bisa beraneka warna. Apakah Anda mengalaminya? Jika ya, mari kita coba hal-hal berikut ini.
Beberapa hari yang lalu, ada seorang ibu dan ayah bersama ayahnya datang ke rumah. Mereka konsultasi tentang anaknya yang nomor dua (kelas 1 SD). Si anak mulai susah untuk berangkat sekolah, atau orang sering bilang mogok sekolah. Dalam bahasa psikologinya, ini disebut dengan school refusal. Ayah/Bunda mengalaminya?
Tenang, meskipun mogok sekolah ini memiliki istilah psikologinya sebagai gangguan pada anak, ini disebut sebagai gangguna common problems. Artinya, ini adalah ‘penyakit’ umum yang dialami oleh anak. Ayah/Bunda mengalaminya? (nanyak lagi :)).
Kisahnya gini, anak tersebut belakangan ini mogok sekolah. Banyak cara yang ia lakukan agar sekolah tidak jadi dilakukan. Tapi karena ayah dan ibunya kekeh memintanya untuk sekolah, maka ia melakukan penolakan terang-terangan dengan mengatakan, tidak mau sekolah.
Menurut ibunya, antesedennya adalah karena ada seorang guru yang mengajarinya menulis halus. Pernah tahu menulis halus kan? Ya, nulis dengan rapi sebuah atau beberapa kalimat. Biasanya dilakukan secara berulang sampai beberapa baris atau sampai satu lembar penuh. Nah, anak tersebut merasa tidak bisa menulis dengan rapi. Sayangnya, dia dimarahi oleh sang guru. Kurang lebih kalimatnya gini, “Masak sudah gede, nulis gitu aja ndak bisa”. Kira-kira seperti itu, ibunya mengucapkan. Suatu ketika, oleh guru yang sama, dia mengadu disuruh pulang oleh gurunya, karena tidak mau menulis. Meskipun ketika dikonfirmasi kepada gurunya, dia tidak pernah melakukan hal tersebut. Terlepas keterangan siapa yang benar, kondisi anak sekarang adalah sedang mogok sekolah. Karna itu, mari kita kembali kepada persoalan mogok sekolah dan cara mengatasinya. Mengenai berbagai kemungkinan penyebab mogok sekolah, dapat dibaca di “Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?”.
Kemungkinan anak tersebut mengalami trauma atas perlakuan gurunya tersebut. Memang, ketika aku amati si anak ini, dia memiliki karakteristik yang ‘halus’ atau sangat sensitif alias perasa. Karena itu, bagaimanapun perlakuan guru, sangat mungkin ia mempersepsinya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Ah, kok dibahas lagi penyebabnya. Baca di sini saja ya..
Apapun anteseden sebagai penyebab mogok sekolah, langkah-langkah berikut dapat diterapkan untuk mengatasinya. Sebagai catatan, langkah-langkah berikut dapat diterapkan sebagai perlakuan yang saling terhubung satu sama lain, atau diberlakukan secara terpisah. Catatan yang lain, tentu saja langkah-langkah berikut ini membutuhkan waktu untuk melihat efeknya, karena langkah-langkah ini dilakukan dengan membangun budaya dan ditujukan untuk mengubah perilaku.
1. Hindari image negatif tentang sekolah
Image negatif ini memang kadang bersifat sangat alamiah. Hal ini karena ada perbedaan lingkungan dan cara hidup antara di rumah dan di sekolah, apalagi jika baru masuk sekolah. Ketidaknyamanan akanperubahan situasi ini dapat turut membentuk image sekolah di benak anak.
Namun kita turut membantu menghalau image negatif ini. Agar lebih muda, mari kita perhatikan ilustrasi berikut ini yang aku ambil dari pengalaman seorang teman.
Seorang anak (kelas 3 SD) baru saja naik kelas, sehingga guru kelasnya ganti. Ada kebiasaan yang berbeda dari guru kelas baru ini, dalam hal merespon pertanyaan murid. Guru sebelumnya bersedia disela kapan saja jika murid ingin bertanya. Guru itu akan langsung menjawabnya. Sementra guru baru selalu bilang “Tunggu saya selesai. Nanti ada waktunya untuk bertanya” ketika ada muridnya yang bertanya.
Ayah dari si anak sudah mau berucap, “Guru macam apa itu blah blah blah…”, tapi dicegah oleh si ibu. Ibu tersebut menghalau ayah, agar tidak membentuk image negatif tentang sekolah. Ibunya bilang, “Nak, itu adalah cara guru mendidik kita untuk menghadapi orang yang berbeda. Bukankah nanti kita juga akan menemui dan punya teman yang berbeda-beda”. Begitu kurang lebih ucap gurunya. Si anak bilang, “Begitu ya, Bunda?” dengan perasaan lega.
Kiranya contoh tersebut dapat membantu kita untuk memahami bagaimana dalam kehidupan sehari-hari menghindari pembentukan image negatif tentang sekolah.
2. Membentuk image positif tentang sekolah
Ini berlawanan dengan nomor 1 di atas. Dalam percakapan sehari-hari, selain kita menghindari image negatif, kita juga dapat membangun image positif tentang sekolah. Ketika anak akan berangkat sekolah, mungkin kita bertanya, hari ini akan belajar apa. Setelah anak menjawab, kita bisa menanggapi, “Wah, pasti seru!. Tentu saja dengan pernyataan yang tulus atau tidak dibuat-buat. Karena itu, di benak kita, perlu dengan jelas membayangkan keseruan tersebut. Begitu juga saat anak pulanga tau malam hari ketika makan bersama, kita bisa tanya, “Hari ini apa yang seru di sekolah?”.
3. Membuat ritual yang menyenangkan
Kita bisa membuat ritual pembuka dan penutup sekolah dengan hal-hal yang menyenangkan. Biasanya sih kalau pulang sekolah tidak terlalu perlu dibuatkan ritual, karena rata-rata orangtua yang konsultasi, anaknya lebih senang ketika jam pulang sekolah hehehe. Tapi boleh juga kita buat ritualnya.
Saat berangkat sekolah, mungkin saja kita dahulu dengan tos-tosan. Bolehlah membuat tos-tosan yang tidak biasa, sebagai penanda akan berangkan sekolah atau ketika melepas anak di pagar sekolah. Boleh juga dengan berucap, ” Selamat bersenang-senang!” kepada anak, seraya mengecuup pipi atau keningnya.
Saat pulang sekolah, kita juga bisa membuat ritual yang membuat kesenangan anak semakin luar biasa. Seperti yang sudah ku bilang, jam pulang sekolah biasanya dengan sendirinya akan menyenangkan bagi anak. Tapi kita bisa menambahnya, misalnya melambaikan tangan dengan senyum merekah. Selanjutnya kita bisa memeluknya.
4. Peduli dan mengapresiasi aktivitas dan hasil belajar anak
Kepedulian kita terhadap sekolah anak dapat ditunjukkan dengan melakukan hal-hal kecil, seperti bertanya ada tugas apa hari ini atau belajar apa. Hanya saja, yang perlu dicatat adalah, bertanyalah dengan rasa ingin tahu, bukan sebagai checker atau layaknya supervisor alias mandor. Niatkan bertanya untuk ikut terlibat di dalamnya. Jadi, ketika bertnaya tugas, di benak kita sudah pasang ancang-ancang untuk meliaht isinya, berdiskusi bagaimana menyelesaikannya dan sebagainya. Coba refleksikan kembali, tanyakan pada diri sendiri, biasanya dengan niatan apa ketika kita bertanya.
Ketika anak menceritakan proses belajarnya atau menunjukkan hasil belajarnya, berikan apresiasi. Kemungkinan anak akan menunjukkan hasil belajar yang kurang bagus. Tapi kita harus siap untuk mencari sisi baiknya. Apa yang dimaksud dengan sisi baik? Garis bawahi proses belajar yang telah di lalui oleh anak. Sisanya, berikan masukan atas kekurangan. Ingat, masukan bukan perintah, tetapi sifatnya adalah usulan dengan mengajak anak menanggapi.
5. Melibatkan diri secara egaliter dalam proses belajar anak
Apakah Ayah/Bunda pernah menemani anak belajar? Atau selalu melakukannya? Bagaimana cara Ayah/Bunda menemani anak belajar?
Biasanya, orangtua menemani anak belajar dengan dua cara yang bertolak belakang, ada yang pastif dan ada yang aktif. Orangtua yang pasif hanya menemani anak ketika belajar, tetapi tidak terlibat di dalamnya. Orangtua ada di dekatnya, tetapi anak juga tidak melakukan interaksi dengan mereka. Anak tidak bertanya dan orangtua juga tidak menjelaskan. Karena pasif, oleh orangtua kadang disambi melakukan pekerjaan atau nonton televisi.
Sementara orangtua yang lain ada yang menemani anak belajar dengan aktif. Bahkan kadang terlampau aktif. Dikatakan terlampau aktif karena sejak awal akan melibatkan diri dalam aktivitas belajar anak, mereka sudah berpikir untuk mengajari. Hal ini dapat menimbulkan dua perasaan yang berbeda, orangtua merasa tertekan karena harus belajar, atau orangtua merasa harus menggurui. Tidak ada salahnya orangtua mengajari anak, malah dianjurkan. Tapi kalau jadinya malah bikin stress orangtua atau membuat mereka ‘menggurui’, maka proses interaksinya akan berjalan tidak nyaman.
Interaksi yang egaliter dalam belajar adalah interaksi yang dibangun atas dasar rasa ingin tahu dan berbagi pengalaman atau pengetahuan. Tidak ada salahnya jika kita bertanya kepada anak jika memang tidak memahaminya. Malah ketika kita meminta anak untuk menjelaskan kepada kita, itu adalah bentuk penghargaan atas apa yang sudah ia pelajari. Karena itu, suasana egaliter ini juga bisa meningkatkan rasa percaya diri anak. Untuk pembahasan tentang dampak suasana egaliter kepada pembentukan kepercayaan diri akan dibahas di tulisan yang berbeda.
6. Menguatkan dampak positif sekolah
Kalau anak sudah mau sekolah, maka orangtua dapat menguatkan efeknya dengan mengamati dampak sekolah yang terjadi pada diri anak. Jika ada hal positif yang terjadi pada diri anak dan ada kaitannya dengan sekolah, kita boleh segera menguatkannya. Misalnya ketika anak dapat membantu itunya menghitung belanjaan, uang yang digunakan dan sisa uang kembalian. Kita bisa mengatakan, “Wah, pinter ya membantu ibu. Rajin sekolah sih…” dan seterusnya.
Itulah 6 hal yang dapat diterapkan atau dibudayakan untuk membangun antusiasme anak dalam bersekolah, sehingga juga dapat mengatasi mogok sekolah. Ada yang lain? Silahkan dishare di bagian comment ya..
Tag: mogok sekolah, parenting, Pendidikan, school refusal
9 Comments