Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
Mei 3, 2023 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Pendidikan karakter adalah istilah yang sudah familiar kita dengarkan. Hanya saja, apakah kita punya keyakinan bahwa kata-kata tersebut bisa diwujudkan secara nyata atau hanya berhenti sebagai slogan belaka. Karena itu, mari kita kembalikan membangun pendidikan karakter yang dimulai dari membuat anak bahagia. Konsep apa lagi ini?
Sudah bukan barang asing jika kita sering mendengar anak mengalami tekanan karena sekolah. Banyak tugas serta berbagai ketegangan ketika dihadapkan kepada kemungkinan tinggi rendahnya nilai menjadi pengalaman emosional sehari-hari para siswa. Belum lagi stress yang dirasakan para orangtua ketika anaknya menghadapi ujian. Semua kondisi ini tentu saja tidak hanya kurang kondusif bagi pendidikan yang sehat, tapi juga malah menghambat proses dan pencapaian tujuan belajar. Bagaimana mungkin aktivitas yang disusun sebagai bagian dari kegiatan belajar justru malah menghambat proses dan pencapaian tujuan belajar?
Sekolah kita sudah lama telah menjadi neraka bagi anak-anak kita, meskipun tentu saja tidak semua sekolah. Sudah banyak sekolah yang berbenah. Namun sebagian besar sekolah mainstream sangat sulit mengubah diri. Berbagai kebijakan dan kurikulum telah diupayakan dan disusun oleh pemerintah. Namun implementasinya dilapangan selalu dibayang-bayangi oleh kebiasaan masa lalu dan menelorkan berbagai keluhan di sana-sini, baik dari guru maupun para orang tua. Guru dan orang tua ikut terjebak pada kondisi yang tak bahagia sebagai dampak dari pendidikan. Meskipun wajah pendidikan sudah berusaha berubah, namun mindset para guru dan orang tua sulit untuk mengikutinya.
Baca juga tulisan terkait:
Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
Mengembalikan Keseleo Pendidikan
Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan
Profesi Guru: Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
Ketidakbahagiaan dalam belajar dapat menjadi penghambat dalam pencapaian tujuan. Sementara di sisi lain, meminjam konsepnya Sigmund Freud, ego bersusah payah untuk menjembatani hasrat kesenangan dari id (pleasure principle) dan berusaha konform dengan konsep kebahagian sosial. Bentuk tindakan ego dalam mengakomodir id dan superego adalah dengan memenuhi kewajiban sekolah, misalnya menyelesaikan tugas belajar, melakukan ujian dan sebagainya, yang sifatnya tidak lebih hanya menggugurkan kewajiban. Dengan demikian, kita tetap merasa aman. Kesibukan kita dalam menggugurkan kewajiban membuat kita lupa untuk mencapai tujuan. Makanya jangan kaget jika anak-anak kita sulit menjawab pertanyaan seputar karir dan cita-cita.
Kondisi ini diperparah karena lembaga pendidikan formal juga menghidupkan situasi yang sama, penuh tekanan. Kewajiban yang diberikan kepada guru atau dosen membuat tekanan yang merenggut kebahagiaan dalam belajar dan mengajar. Jika dulu ada orang yang ingin menjadi guru karena kesenangannya mengajar, belajar bersama siswa, bertukar pikiran dan berdialektika, kini dapat dihadapkan dengan kekecewaan. Alih-alih menikmati interaksi dengan para murid, mereka dibebani dengan berbagai kegiatan dengan standar yang ditentukan oleh pihak luar, semisal publikasi dengan standar scopus-nya. Sudah bukan rahasia lagi sebagian para pengajar berusaha mengumpulkan berbagai bukti untuk memenuhi SKP, BKG, BKD atau yang semacam itu. Bahkan tidak jarang bikin makalah dadakan, nembak sertifikat, dan berbagai usaha lainnya.
Semakin kita terjajah, maka suka cita dalam pengembangan pengetahuan akan semakin hilang. Di ujungnya, kita tak pernah menemukan jati diri. Kegagalan menemukan jati diri adalah bentuk kegagalan membangun karakter.
Sekiaranya refleksi singkat ini bisa menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk melakukan revisioning, mendefinisikan ulang makna pendidikan untuk tujuan hidup yang lebih bahagia. SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL. Semoga bermanfaat.
Tag: hari pendidikan, hari pendidikan nasional, karakter, Pendidikan, pendidikan karakter, pendidikan nasional