Pekerjaan atau Anak?


Anak atau pekerjaan?, pertanyaan lumrah buat orangtua yang bekerja. Ketika ‘bekerja’ sudah diagungkan, maka yang tak melakukannya dianggap aneh. Para orangtua yang meninggalkan anaknya jadi hal lumrah. Mereka yang meninggalkan pekerjaan demi anak, dianggap di luar kebiasaan. Saking agungnya, meninggalkan pekerjaan dapat membuat orang merasa ‘murtad’.

Hari ini berangkat kerja dibarengi mahasiswa. Ceritanya dia nebeng, sengaja meninggalkan kereta dan lebih memilih berangkat bersama dosennya hehe. Nah, pada waktu berboncengan itulah, aku dan dia terlibat obrolan seru, tentang berhentinya seseorang dari pekerjaannya atau resign.

Aku cerita tentang temanku yang 8 tahun lamanya tinggal di New York. Ia terlanjur berjanji, jika belum sukses, tidak akan pulang ke rumah. Selama tinggal di sana, sesekali dia resign dari tempat kerjanya. Hampir setiap tahun ia resign. Ketika hatinya sedang galau, merindu kampung halaman teramat dalam, ia meminta resign kepada perusahaan tempat ia bekerja. Setelah dirasa ingin kerja lagi, temanku ini bisa melamar lagi bekerja di perusahaannya tadi.

Kata temanku, perusahaan tidak membeli dirinya. Perusahaan hanya bisa membeli kompetensi dia. Karena perusahaan membeli kompetensinya, maka yang berhak memasang bandrol adalah pekerjanya. Perusahaan yang membutuhkan dia. Akibatnya, karyawan tidak pernah merasa dirinya seperti budak. Mereka punya nilai tawar. Pertanyaannya, bagaimana dengan di negara kita ini?

Membahas tentang resign, berarti juga membahas tentang pekerjaan. Membahas tentang pandangan orang terhadap pekerjaan, berarti juga berbicara tentang anggapan orang terhadap resign. Nah, bagian ini yang bisa kita lihat di negara kita ini.

Sebelum melanjutkan pembahasan ini, ada cerita lain yang berhubungan. Setelah berjibaku dengan kemacetan panjang bersama mahasiswa yang memboncengiku, sampailah aku di kampus, kelas Filsafat Pendidikan.

Hari ini itu pembahasannya tentang kearifan lokal. Presentasi dari salah satu mahasiswa sangat menarik. Salah satu bagian yang menarik adalah percobaan yang ia lakukan. Ia meminta teman-temannya mengeluarkan selembar kertas dan menyiapkan alat tulis. Perintahnya, “Gambarlah pemandangan”. Meskipun tidak semua, tapi sebagian mahasiswa menggambar seperti ini:

Sumber Gambar: princessediary.wordpress.com

Kata teman mahasiswa ini, yang bekerja di Dinas Pendidikan, gambar pemandangan ini adalah warisan dari penjajah jaman dulu. Mereka sengaja mengajari pribumi untuk menggambar seperti ini, agar image negara indonesia sebagai negara maritim berganti dengan negara ageraris. Dengan demikian, pertahanan lautnya bisa menjadi lemah.

Pembahasan lainnya yang menarik adalah soal kebiasaan orangtua yang bekerja dan menyekolahkan anaknya. Logika industri juga diwariskan sejak jaman dulu, ketika kapitalisme mulai menguasai tidak hanya cara hidup kita, tetapi juga cara berpikir kita. Orangtua berproduksi di tempat kerja, sementara anak-anak mengonsumsi produk dari dunia industri yang diberi nama sekolah.

Orangtua lebih memilih punya status kerja dan tanpa sengaja mengaburkan status sebagai orangtua. Dialog beberapa teman ibunya Bintang di facebook juga menunjukkan hal ini. Orangtua tidak percaya kepada pembantu, tetapi juga tidak banyak meluangkan waktu untuk anaknya. Mereka memilih sekolah seharu penuh atau full day.

Teringat tweet-ku, “Mahalnya #pendidikan bukan soal biaya sekolah, tetapi soal keengganan orangtua mengambil peran untuk pendidikan anaknya”. Orangtua lebih suka membayar orang untuk mendidik anaknya. Dalam versi yang lebih lugas, orangtua membeli produk pendidikan buat anaknya, agar tidak menuntut kebersamaan dengan orangtuanya. Iya, orangtua memproduksi di tempat kerjanya, anak-anak mengonsumsi di sekolah.

Apa hubungannya dengan resign dari pekerjaan? Jika melamar pekerjaan jadi hal yang umum setelah kuliah, maka banyak orang yang menggantungkan dirinya kepada penyedia lapangan pekerjaan. Karena itulah, pemilik lapangan kerja jadi naik derajatnya. Pemilik lapangan kerja  merasa dirinya melambung, sementara pelamar seperti ‘mengemis’. Ada jarak martabat antar keduanya. Pemilik lapangan pekerjaan berkuasa, karyawan adalah yang dikuasai. Setidaknya begitulah yang terjadi di negara yang mewarisi tradisi tersebut.

Karena itu, jika ada orangtua yang lebih memilih meninggalkan pekerjaan demi anaknya, maka ia terlihat seperti orang yang akan mati konyol. Hal ini tidak akan terjadi di negara yang tidak mewarisi tradisi seperti ini. Memang jelas beda antara negara yang orientasinya menggunakan warisan dengan negara yang menciptakan sesuatu untuk diwariskan.

Setidaknya melalui kuliah ini, diharapkan para mahasiswa bisa mempersiapkan, akan bekerja seperti apakah kelak. Jika mereka peduli dengan masa depan anaknya nanti, maka jenis pekerjaannya harus dipikirkan.

Para mahasiswa bisa memilih tempat kerja yang memanusiakan karyawannya. Syukur-syukur jika pekerjaan tersebut dipersilahkan untuk dikerjakan di rumah, tidak harus selalu datang ke kantor. Tempat kerja memberikan hak bagi anak buahnya untuk menentukan kehidupannya sendiri, termasuk untuk resign. Jika anak buah resign, itu hal yang biasa, tidak ada prasangka, tanpa harus ada black list.

Begitulah kira-kira dampak dari pewarisan budaya ‘bekerja’ bagi diri, keluarga dan anak-anak. Apakah pekerjaanmu memanusiakan diri, keluarga dan anakmu? Demi masa depan anak, pekerjaan seperti apakah yang telah Kamu rencanakan?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *