Belajar Hafalan, Membentuk Generasi ‘Foto Kopi’
December 23, 2012 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Coba bayangkan jika anak-anak kita menjadi generasi pengguna, bukan pencipta. Kreativitas mereka dimusnahkan oleh kebiasaan belajar yang membentuk mental ‘foto kopi’, hanya menyalin apa yang dipelajari, tanpa mengalami perubahan diri.Β Iya, belajar hafalan membentuk generasi ‘foto kopi’.
Sabtu kemarin, 22 Desember 2012 yang lalu, aku diundang SMAN 1 Kediri untuk memberikan workshop Belajar Kreatif buat para guru. Ada hal yang menarik ketika sesi awal, yaitu saat membuat definisi ‘Belajar Kreatif’. Seorang peserta bertanya tentang kesesuaian definisi yang mereka ciptakan sendiri dan definisi yang menurut mereka lebih tepat, karena sesuai (atau bahkan sama persis) dengan definisi yang tertulis di buku.
Pada sesi awal tersebut, peserta membuat definisi ‘belajar kreatif’ versi mereka. Di sesi ini, digunakan metode ‘menciptakan cerita’ untuk membuat definisi. Dengan cerita ini, tetntu saja definisi yang dirumuskan adalah hasil pemikiran, perasaan dan pengalaman peserta sendiri tentang belajar kreatif. Apa yang menarik?
Begini kurang lebih pertanyaan dari salah seorang peserta, “Bagaimana jika peserta itu merasa definisi yang dibuatnya salah, karena tidak sama sama dengan buku?”. Guru tersebut mengambil contoh ini dari mata pelajaran Sejarah.
Alih-alih menjawab, aku kembali bertanya kepada peserta tersebut, “Apa yang membuat peserta tersebut berpikir bahwa definisi yang tepat adalah yang sama dengan yang tertulis di dalam buku?”. Peserta tersebut menjawab, “Kata siswa tersebut, mereka pasti disalahkan oleh gurunya”.
Nah, sudah jelas sekarang. Ternyata guru sering mempermasalahkan murid. Siswa dianggap punya masalah jika tidak bisa dalam pelajarannya, atau nilainya jelek di mata pelajaran tersebut. Padahal, dari kasus ini jelas, guru yang membuat siswa tersebut bermasalah. Guru mengharuskan siswa belajar tekstual, menghafal apa yang tertulis di buku. Dengan ungkapan yang lebih parah, guru tidak mengijikan siswa memiliki definisi mereka sendiri.
Persoalan tidak hanya soal nilai, tidak hanya tentang definisi yang tepat dan tidak tepat berdasarkan buku. Cara memperlakukan siswa seperti ini dapat mengubah pola pikir mereka. Siswa jadi tidak percaya terhadap pemikirannya sendiri. Secara keseluruhan, siswa jadi tidak percaya diri.
Ketidakpercayaan diri siswa ini kemudian membentuk pola perilaku. Mereka takut nilainya jelek, karena guru pasti menyalahkan jika definisi yang mereka tulis di kertas ulangan tidak sama dengan yang ada di buku. Karena ketakutan ini, maka anak akan cenderung menghafal.
Tidak semua anak pandai menghafal. Jikapun anak lancar dalam menghafal, hasil yang ia ingat tidak lebih dari susunan kata dan kalimat yang disimpan. Karena menghafal tidak mengandung pemaknaan yang dalam, maka apa yang dihafal akan mudah menguap, terlupakan. Apa yang telah dihafalkan hanya akan bertahan sampai ujian usai.
Secara jangka panjang, kebiasaan seperti ini akan menciptakan siswa atau generasi duplikat. Siswa kita akan jadi seperti mesin foto kopi. Belajar yang mereka lakukan bersifat referensif, bukan transformatif. Belajar referensif hanya mengambil, mengingat dan menggunakan. Sementara itu, belajar transformatif mampu mendatangkan perubahan pada diri siswa, karena apa yang dipelajari menyatu, menjadi diri mereka.
Efek yang lebih luas, anak-anak kita akan bermental pengguna, bukan pencipta. Pola belajar menciptakan hanya terbentuk dalam model belajar transformatif, bukan referensif. Coba bayangkan bagaimana efeknya jika negeri ini tidak punya generasi pencipta, hanya punya generasi pengguna?
Apa yang akan kita lakukan, sehingga pola belajar ‘foto kopi’ ini dapat berubah?
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Pemimpin itu Pendidik
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?