“Terkadang Kamu membuat kesalahan dalam hidup dan itu tidak mengapa, Kamu harus belajar dari mereka dan mencoba memperbaikinya, saya akan menghadapi kesalahan saya hari ini” adalah ucapan Nasir, tokoh utama dalam Novel Laiba dan Nasir. Ucapan ini diplih karena menjadi tonggak seluruh kekacauan dan pelajaran dalam novel ini. rudicahyo.com kali ini secara spesial akan membuat resensi buku: Novel Laiba dan Nasir dari Bang Bule Official.
Berikut ini adalah identitas novel:
Saya mendapatkan dua buku karya Bang Bule Official, yaitu Laiba dan Nasir serta Apartemen 12A-05. Saya putuskan untuk memaca Laiba dan Nasir terlebih dahulu, karena dua lasan, pertama karena intuisi dan yang kedua karena novel ini sepertinya sudah mulai booming di sosial media. Dan ketika mulai membacanya, sepertinya ini benar-benar keputusan yang tepat, entah mengapa saya langsung lekat dengan ceritanya. Saya bisa masuk ke dalamnya sejak awal membaca, kemudian semakin larut dan makin melarut kedalamnya. Mungkin hanya di kisaran seperempat akhir saya merasa mulai bisa lepas dari jeratannya dan berasa melihat film layar lebar dengan genre horor.
Ok, sebelum kita mulai untuk mengaji bukunya, seperti biasa saya akan memberikan sedikit sinopsisnya. Laiba dan Nasir adalah kisah dua orang suami istri yang tidak dikaruniai keturunan. Usia yang sudah cukup tua ditambah sakit yang diderita Laiba, membuatnya semakin layu dan mendekati liang kematiannya. Nasir berusaha untuk mengembalikan hidup Laiba.
Dalam keputusasaan, Nasir mendatangi saudaranya dan memperoleh cara untuk keluar dari jerat penyakit bedebah yang diderita oleh istrinya. Ya, bedebah, setidaknya seperti itulah yang dipikirkan Nasir. Ia mendapatkan cara yang di luar kode etiknya sebagai dukun putih. Sampai sebuah ritual pengorbanan ia pilih untuk mengembalikan Laiba, istri yang dicintainya. Berawal dari situlah segalah kekacauan terjadi. Ia bersama asistennya, Khalid, dan seorang teman baru, Budi, terlibat dalam pertempuran dengan dunia hitam yang jahat. Apakah Nasir berhasil menuntaskannya?
Pertanyaan terakhir ini seperti sebuah sinopsis yang mengajak kalian semua untuk membaca secara langsung buku ini. Tidak lain agar saya tidak merasa sendiri, agar kalian mengalami sendiri apa yang saya alami, yaitu larut dalam setiap peristiwa yang diceritakan di dalamnya. Tentu saja misi ini lebih dari sekedar ajakan untuk membeli bukunya, tapi memang benar-benar mengajak untuk masuk ke dalamnya.
Agar lebih memudahkan mengenal kepribadian dari novel Laiba dan Nasir, maka saya akan mengenalkan beberapa domain kepribadian dari buku ini. Istilah domain kepribadian ini hanya cara saya untuk memudahkan, sebagaimana ketika orangtua mengenalkan calon suami atau istri untuk anak-anaknya. Mari simak satu persatu kepribadian dari “Laiba dan Nasir”.
1. Penguatan emosi dengan repetisi
Awal sampai dengan 50-an halaman, buku ini langsung mengingatkanku pada jaman kuliah dulu. Sepertinya di kelompok kecil teman, yang sebagian adalah musisi, hanya saya yang tertarik dengan lagunya Peterpan, sebuah grup musik yang mungkin sudah kalian kenal. Mereka beranggapan lagu-lagu Peterpan itu terlalu menye-menye. Saya tidak tahu secara tepat bagaimana mengartikannya. Mungkin cengeng, kurang jantan, menurut mereka.
Saya menceritakan hal yang sederhana sekaligus rumit dalam lagu-lagu Peterpan, setidaknya seperti itulah saya merasakan dan memaknai. Saya merasakan penguatan emosi dengan cara repetisi. Inilah yang menjadi paradoks sederhana dan kompleks sekaligus. Kadang tidak banyak lirik yang harus dinyanyikan, tetapi pengulangan dari yang sederhana itu selalu mengandung penekanan emosi yang berbeda. Saat itu saya menggunakan salah satu penggalan lirik dari lagu “Di Belakangku”,
Aku
Menunggumu
Menunggumu
Menunggumu
Mati
Di depanku
Di depanku
Di depanku
Itu adalah sebuah pernyataan yang lugas, sederhana. Namun di setiap pengulangannya mengandung intensitas emosi yang berbeda. Selalu ada penekanan, penekanan, dan penekanan.
Sampai dengan 50-an halaman pertama “Laiba dan Nasir”, saya merasakan usaha dari penulis untuk mengatakan hal yang sama berkali-kali, baik dengan kata-kata yang sama atau dengan berbagai variasinya. Kepedihan seorang Nasir karena kondisi istrinya yang sekarat diulang-ulang, agar pembaca benar-benar merasakannya. Pun dengan segala perasaan bersalah atas ritual yang terlanjur dilakukan oleh Nasir. Meskipun saya berpikir, pengulangan ini tidak sepenuhnya bertujuan untuk memasukkan pembaca kedalam emosi kisahnya. Pengulangan ini lebih menunjukkan penghayatan penulisnya atas emosi yang dirasakan oleh tokoh, oleh Nasir.
Boleh dibilang ini adalah salah satu hal yang menarik dari novel ini. Ya, yang semakin membuat saya larut, larut, dan bertambah larut sampai dengan akhir kisah.
2. Fluktuasi ganda
Secara keseluruhan, sebenarnya kisah dalam buku ini mengikuti alur mendaki dan menurun sebagaimana normalnya sebuah kisah atau cerita. Agar lebih mudah dicerna, mari kita lihat rumus dari cerita-cerita yang ditulis oleh Pixar. Cerita mereka diawali dengan ‘once upon a time’ (awal kisah yang menggambarkan setting tempat dan waktu), kemudian berlanjut ke ‘every day’ (kondisi normal, tanpa masalah) lalu ‘one day’ (mulai muncul masalah), berlanjut dengan ‘because of that’ yang pertama (dramatisasi dampak dari masalah), lanjut lagi ‘because of that’ yang kedua (upaya tokoh utama untuk mengatasi masalah), dan diakhiri dengan ‘until finally’ (hasil dari jerih payah tokoh utama).
Bedanya, seperti saat kita nonton film action yang disuguhkan adegan baku hantam dari awal, setiap peristiwa dalam novel ini disuguhkan dengan tensi yang tinggi. Pembaca diajak untuk tetap merasa tegang dengan sesekali diselingi kondisi damai yang bersifat sementara. Jadi, meskipun mengikuti alur ‘lembah, mendaki dan kemudian melandai’, namun ketegangan dalam novel ini seperti tak ingin berhenti dari awal sampai akhir, bahkan epilog pun meninggalkan ketegangan yang tak pernah berakhir.
3. Penggiringan yang natural hingga menuju supranatural
Domain yang ketiga ini agak panjang judulnya hehehe. Kisah dalam buku ini tetap disuguhkan secara natural, setidaknya dalam 3/4 awal kisah. Dunia magic dan perdukunan merupakan sesuatu yang diterima secara biasa di Masayrakat Indonesia lama, seperti dalam setting novel ini, yaitu tahun 1970-an. Namun dalam suasana alamiah ini mengandung sesuatu yang supranatural. Kedua hal ini disuguhnya secara apik, sehingga pembaca tidak perlu merasakn jalan terjal untuk menerima keduanya. Pembaca bisa menerima keabnormalan dalam kenormalan, menerima sesuatu yang bersifat magic dalam kenalamiahan.
Kenapa saya mengatakan kehadiran natural dan supranatural berpadu lembut dalam 75% awal kisah? Karena pada seperempat akhir kisah, kita sudah mulai dilepaskan dari kenormalan ini. Pembaca mulai dimasukkan dalam dunia imajinatif yang sangat beresiko. Dalam 25% akhir kisah, saya lebih merasa seperti nonton film fiktif jika dibandingkan dengan membaca 3/4 awal kisah. Untuk sebagian orang, upaya penulis berhasil, karena 3/4 kisah awal yang dibuat alamiah sudah cukup melarutkan pembaca hingga tidak merasa bahwa sisa kisahnya seperti sebuah negeri dongeng. Mereka sudah menerima imajinasi barunya dengan sangat lumrah.
Langkah semacam ini memang dapat mendatangkan resiko untuk orang yang membaca buku secara berjarak. Orang yang membaca buku dengan tetap sadar akan metafisikan kehadiran penulis, akan dapat merasakan batu terjal pergeseran kisah ini. Namun resikonya juga tidak terlalu besar, karena saya masih yakin sebagian besar pembaca kita dalah penikmat konten. Jadi saya percaya mereka akan bisa menikmatinya sampai akhir seperti sebuah kisah supranatural yang natural.
Demikian ulasan Novel Laiba dan Nasir. Saya hanya membahas dari tiga domain kepribadian kisah “Laiba dan Nasir” dalam novel ini. Tentu saja masih sangat mungkin ditambahkan berbagai domain lain yang mungkin lolos dari mata saya. Jadi silahkan kalau ada yang mau menambahkan ulasannya.
Untuk yang berikutnya, sedang dalam perjalanan untuk menuntaskan “Apartemen 12A-05”. Siap-siap saja membaca ulasan saya yang tidak kalah serunya dengan “Laiba dan Nasir”.
Terakhir kali saya ucapkan untuk Bang Bule dan segenap timnya yang sudah menyuguhkan karya ini dengan sangat cantik. Secara kesuluruhan, saya sangat, sangat, sangat menyukai novel ini. Sekali lagi terimakasih.