Iwan Setyawan, Menulis untuk Menyentuh Hati


Tahu Iwan Setyawan? Pasti sudah pada tahu 9 Summers 10 Autumns. Iya, itu buku yang ditulis Iwan Setyawan. Ternyata penulis luar biasa ini punya visi sederhana, ingin menyentuh hati. Ia ingin tulisannya dibaca keponakannya. Tahu, bagaimana ‘nasib’ bukunya sekarang? Jadi buku yang fantastik.

Iwan Setyawan (@Iwan9S10A), penulis 9 Summers 10 Autumns

“Tak perduli seberapa banyak buku terjual. Tapi seberapa banyak hati tersentuh oleh apa yg kita tulis”

– Iwan Setyawan, 2012 –

Itu adalah sebuah kutipan yang aku sambar dari kata-katanya Iwan Setyawan di Workshop Tulis Nusantara (18/11) Surabaya. Kata-kata yang tidak sekedar indah. Jika itu adalah suara hati Iwan, maka memang tidak hanya indah, tapi begitu mulia.

Sebelum ngomong banyak soal pertemuan kedua ini, lebih enak ngomong.. ehm.. Ah iya, benar, ini pertemuan kedua. Berarti ada pertemuan pertama. Aku sama Iwan memang bertemua cuma dua kali, tapi dengan dua dunia yang sangat berbeda. Pertemuan pertama, aku mengenalnya sebagai pemuda berwajah licin, nyaris tampak remaja belia hehe. Nah, di pertemuan kedua dia berkumis dan tampak bijaksana (mau bilang tua khawatir ditimpukin pake 9 Summers 10 Autumns sama dia).

Lebih dari sekedar itu, Iwan di pertemuan pertama ku kenal sebagai orang yang beru menyukai novel. Di pertemuan kedua, dia malah sudah jadi penulis novel yang terkenal luar biasa. Apalagi 9 Summers 10 Autumns sedang proses menuju ke layar lebar. Benar-benar pertemuan dengan dua kondisi yang berbeda.

Namun di balik itu semua, yang membuat aku terkesan adalah visinya dalam membuat tulisan. Penggilan Dostoyevsky ini ingin membuat tulisan yang menyentuh hati pembacanya dan dibaca oleh keponakan-keponakannya. Sangat sederhana.

Padahal menurut pengakuannya, dia adalah orang yang sulit dalam menulis. Lebih-lebih Bahasa Indonesianya juga kurang begitu bagus, akibat begitu lamanya tinggal di New York. Berbekal kemampuan yang dimilikinya tersebut, ia digerakkan oleh kesenangan. Apa maksudnya?

Penggerak yang menjadi bahan bakar visi itu adalah kesenangan. Visi yang diarahkan kepada kesenangan punya daya tarik yang kuat. Visi tidak harus berbunyi rumit dan muluk-muluk. Visi juga tidak hanya berorientasi pada diri sendiri, tapi juga memperhatikan orang lain yang menjadi sasaran visi tersebut. Iwan dengan jelas sangat memperhatikan keponakan-keponakannya. Itu cara dia memperhatikan pembaca bukunya.

Bicara soal visi ini, aku jadi teringat Benjamin Zender, seorang musisi klasik yang sekaligus seorang public speaker yang luar biasa. Apa visi hidupnya? Membuat mata orang lain berbinar. Sederhana, tapi luar biasa. Contoh lainnya, Kamu pasti tahu Walt Disney? Apa visi perusahaan film raksasa tersebut? “to make people happy”. Disney ingin menyediakan tempat bagi orangtua dan anak-anak untuk berbahagia bersama.

Kembali kepada Iwan Setyawan. Dalam visi tersebut, Iwan sudah memperhatikan isi dan sasaran dari visinya. Dan isinya adalah sesuatu yang sangat sederhana namun mewah. Sedangkan sasarannya adalah dekat dan nyata.

Visi yang sederhana nan mewah serta punya sasaran dekat dan nyata, sangat menguntungkan. Selain keuntungan bagi orang yang dituju (sasaran), visi yang punya dua syarat tersebut memudahkan orang/organisasi untuk mengukur capaiannya. Jika orangtua dan anak datang ke Disneyland atau menyaksikan hasil karyanya, kemudian mereka merasa bahagia, berarti Disney berhasil. Jika orang yang bertemu dengan Benjamin Zender matanya berbinar, maka ia berhasil. Begitu juga dengan Iwan Setyawan. Bukunya menyentuh hati dan dibaca oleh keponakannya, maka ia berhasil.

Demikian obrolan tentang visi dari pertemuan keduaku dengan Iwan Setyawan.

Kalau Kamu, apa visi pribadimu? Apa visi organisasimu?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *