Setiap anak pernah melakukan hal yang tidak kita harapkan. Apakah karena tidak kita harapkan lantas itu adalah kesalahan? Kejadian yang tidak kita inginkan memicu kita untuk berasumsi yang mempersalahkan anak. Efeknya adalah melemahkan mental anak.
Prang! Terdengar bunyi piring jatuh. Nony yang berusia 2 tahun baru belajar makan sendiri. Piring yang ia gunakan untuk makan jatuh, pecah berkeping-keping.
“Tuh kan, piringnya dijatuhkan. Hayo, siapa yang menjatuhkan piring?”, kata ayahnya.
Coba kita lihat, apa sebenarnya yang terjadi? Kalau Kamu peka, tentu Kamu bisa mencermati, apa yang aneh dari kejadian tersebut. Hayo apa, bisa menemukan tidak?
Mari kita garisbawahi beberapa peristiwa yang ada dalam kejadian singkat tersebut. Perhatikan ini: Nony baru belajar makan sendiri, piring yang ia gunakan untuk makan jatuh, pecah berkeping-keping, “Tuh kan, piringnya dijatuhkan”, kata ayahnya, “Hayo siapa yang menjatuhkan piring”, kata ayahnya. Ok lah, kita boleh tambahkan, Nony berusia 2 tahun.
Sekarang sudah bisa dicermati, apa yang aneh dari peristiwa tersebut?
Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan kejadian tersebut. Kenapa? Karena kejadian tersebut adalah peristiwa sehari-hari. Karena sering terjadi atau sering kita jumpai, maka jadi tidak aneh.
Mari kita cermati dengan kaca mata pengasuhan dan psikologi. Ada perbedaan mendasar antara ilustrasi,
Prang! Terdengar bunyi piring jatuh. Nony yang berusia 2 tahun baru belajar makan sendiri. Piring yang ia gunakan untuk makan jatuh, pecah berkeping-keping.
dengan ucapan ayah Nony berikut ini,
“Tuh kan, piringnya dijatuhkan. Hayo, siapa yang menjatuhkan piring?”, kata ayahnya.
Apa perbedaannya?
Ilustrasi tersebut bersifat deskriptif, hanya menggambarkan apa yang sedang terjadi. Sedangkan ayah Nony melakukan justifikasi (boleh disebut penghakiman) terhadap peristiwa. Faktanya, piring jatuh. Namun ayah Nony tidak mengucapkan fakta, tetapi mengatakan pendapat bahwa Nony menjatuhkan. Apakah secara faktual Nony menjatuhkan? tidak. Yang ada, piringnya jatuh, hanya itu.
Coba ingat-ingat kembali, kita sebagai anak ataupun orangtua, apakah pernah mengalami atau melakukan itu? Boleh juga diingkari, karena melakukan hal tersebutpun tidak terasa sebagai kesalahan. Perilaku yang menjadi kebiasaan tidak terasa sebagai kesalahan.
Yang dilakukan oleh ayah Nonya atau sejenisnya adalah asumsi negatif yang sering orangtua pikirkan tentang peristiwa yang terjadi pada anak. ‘piring jatuh’ bisa berubah jadi ‘menjatuhkan piring’. Itu jelas dua hal yang berbeda. Begitu juga dengan ‘buku sobek’ menjadi ‘menyobekkan buku’, ‘bajunya kotor’ menjadi ‘mengotori bajunya’ dan sebagainya.
Jika hal ini biasa kita lakukan, maka anak akan berada pada posisi yang dipersalahkan. Jika anak terus menerus disalahkan, maka akan melemahkan mental anak. Mau anak kita jadi anak yang bermental lemah, memandang dirinya rendah, minder, selalu merasa bersalah dan serba salah?
Bayangkan jika ini terjadip ada anak kita, anak tetangga kita, anak orang se-RT, se-RW, kampung, desa, kecamatan, kabupaten, kota, propinsi, se-Indonesia, apa yang akan terjadi? Iya, mental bangsa kita akan melemah. Ingat, pola asuh atau didikan kita kepada anak hari ini, akan membentuk bangsa kita pada 20-30 tahun yang akan datang.
Apakah Kamu pernah mengalami atau melakukan hal ini? Jika Kamu menyadari bahwa ini adalah sebuah kesalahan, apa yang akan Kamu lakukan?
Ingin berdiskusi dengan saya? Silahkan follow @rudicahyo
2 responses to “Asumsi Negatif Dapat Melemahkan Mental Anak”
Pak,saya mau tanya knp ya anak saya klo ada saudara ke rumah,semua aktivitas harus sama dan minta dikerjakan ma sodara. Kayaknya tidak mau sama saya(menurut sdut pandang saya).truz anak saya sepertinya nyaman dengan mencontoh orang lain. Aku minum susu kayak dik naya,aku mandi kayak dik naya,aku mandi sama tante tina,dll. Sampai2 aku sebel dgn keinginannya. Seolah2 tidak nyaman dgn ibunya sndiri. Mohon saranny pak.
Halo Bunda Anggi..
Anaknya umur berapa, Bunda?
Ada banyak kemungkinan, misalnya modeling (meniru), sibling rivalry (persaingan dengan saudara), envy (iri).
Ini dipengaruhi karakteristik dan usia anak.