Fasilitasi Proses Belajar adalah Menggembala


Fasilitasi proses belajar bukan mencocok hidung, memasang kacamata kuda, atau mengikatkan tali kekang pada leher pesertanya. Fasilitasi proses belajar adalah menggembala.

Pernah tahu orang menggembala? Apakah mereka mengikat semua hewan gembalaannya? Apakah mereka mengharuskan hewan gembalaannya makan jenis rumput tertentu dengan cara mengunyah yang diaturnya? Mengembala adalah mengajak, membimbing dan membebaskan hewan peliharaan bergerak. Bukan begitu?

Kemarin, beberapa waktu yang lalu, ada seorang mahasiswa magister profesi yang sedang praktik kerja lapangan. Ia meminta untuk konsultasi kepadaku. Meskipun bukan bimbinganku dalam proses praktik ini, aku senang berdiskusi dan memberikan bimbingan.

Sebenarnya bukan isi bimbingannya yang penting, tapi proses pembimbingannya. Meskipun nanti isi bimbingannya dapat kita gunakan sebagai contoh untuk memperjelas pembahasan tentang fasilitasi proses belajar kali ini. Karena kita sedang membicarakan tentang bimbingan atau konsultasi belajar, maka fasilitasi proses belajar kali ini terjadi pada konteks belajar melalui konsultasi.

Bagian menarik dari konsultasi ini justru langsung terjadi di awal pertemuan dengan si mahasiswa. Pertanyaan pertama yang pertama kali meluncur dari bibirnya adalah “Mas (dia memanggilku seperti itu), ini sudah benar atau belum?”, sambil meletakkan sebandel laporan di meja depanku. Kalau aku ingat-ingat, ternyata rata-rata pertanyaan dari mahasiswa yang bimbingan skripsi juga seperti itu. Apa yang menarik?

Ok, aku teruskan ceritanya. Aku baca laporan itu selembar demi selembar. Namun agar lebih fokus, aku tanya kepadanya, bagian mana yang kamu tanyakan. Ya bayangkan aja kalau on the spot harus baca beratus-ratus halaman laporan. Dia menunjukkan tentang rancangan intervensi atau perlakuan yang akan diberikan kepada klien dalam kasus yang sedang ia kerjakan.

Awalnya, kita membahas tentang teori yang melandasi. Hem, teorinya dituliskan dengan bahasa yang indah. Sayangnya ketika aku tanya maksudnya, yang menulispun tidak paham yang ditulisnya. Ok, tidak masalah, karena aku pernah tahu teorinya, sehingga aku lebih mudah memahaminya. Masukan untuk teori telah selesai diberikan.

Aku tanya lagi, bagian mana lagi yang ditanayakan. Dia meluncur ke bagian teknis pelaksaan intervensi. Setelah aku periksa, aku memberikan masukan, bahwa perlu alur yang jelas antara teori dan penerjemahannya dalam praktik intervensi. Aku jelaskan yang dimaksud dengan alur dan bagaimana membuatnya. Aku tanya kedia, apakah dia sudah paham. Dia menjawab, sudah. Syukurlah.

Selanjutnya meluncur ke bagian teknis pelaksanaan intervensi. Aku berikan masukan, bahwa teknis intervensinya masih kurang rinci. Aku jelaskan maksud dari rinci dan bagaimana membuat rincian. Aku tanya lagi kepadanya, apakah sudah paham. Kali ini dia tidak segera menjawab, tapi menunjukkan beberapa teknis pelaksaan intervensi untuk kasus-kasus yang lain. Dia bertanya, “Kalau yang ini, bagaimana perinciannya?”. Aku jawab, bahwa prinsip intervensinya sama, maka cara merincinya sama. “Tolong yang itu dikoreksi!”, pintanya. Saat permintaan itu diluncurkan, maka posisiku sudah bergeser dari pembimbing menjadi korektor.

Tentang fungsi pembimbing yang berbubah jadi korektor, kita bahas di lain tulisan saja. Kal ini kita akan mengingat tentang tiga komponen utama dalam fasilitasi proses belajar, yaitu prinsip, metode dan teknik. Kita akan menghubungkan komponen tersebut dengan fasilitator sebagai penggembala proses belajar.

Ketika kita akan mempelajari sesuatu entitas (benda, konsep, kondisi dan sebagainya), kita selalu harus tahu lebih dahulu apa yang kita pelajari. Kalau dalam bahasa filosofinya, kita tahu ontologi (esensi, eksistensi) dari substansi yang kita pelajari. Lebih mudahnya, kita tuntaskan dulu pertanyaan ‘what’-nya (baca juga tentang hierarchy of questions). Dua hal yang perlu dibahas dalam pertanyaan ini adalah term dan definisi. Dalam contoh mahasiswa yang bimbingan kepadaku, dia sudah paham dengan term dan definisi bahan yang dikonsultasikan.

Namun ketika membahas tentang pertanyaan ‘how’, yaitu bagaimana kebenaran diperoleh, si mahasiswa minta dikoreksi, dituntun satu per satu. Ini yang disebut pergeseran dari pembimbing menjadi korektor (bahkan pada beberapa kasus malah menjadi editor).

Sebgai fasilitator proses belajar, pembimbing menyentuh wilayah metode dan teknis hanya pada tataran prinsip. Ini sama dengan penggembala. Ia tidak mengikat dan menuntut hewan peliharaannya untuk makan rumput tertentu di tempat tertentu, bahkan si penggembala tidak perlu mengajari cara mengunyah atau bahkan mengunyahkan rumput hewan kesayangannya. Meskipun harus mengajari bagaimana mencari kebenaran (wilayah metodis), lebih baik pembimbing tidak langsung menuntunnya secara teknis, tetapi berbicara dulu prinsipnya. Baru kemudian pembimbing bertanya, apakah memahami prinsipnya, apakah ia bisa menerjemahkan prinsip tersebut ke dalam praktek di lapangan. Jika mahasiswa dapat melakukan, maka biarkan kreativitas mereka bekerja (Baca juga: Apakah Kita Kreatif?Aturan yang Menjaga Kelas Aktif dan Kreatif, 5 Pembunuh Kreativitas Guru).

Fasilitasi proses belajar itu seperti menggembala (foto: fotografindo.com)

Ketika kita terbiasa menuntun, mendikte, mengarahkan mahasiswa sampai pada tataran teknis, maka tak perlu heran jika sering mendengar permintaan, “Tolong dikoreksi, sudah benar atau belum?”, “Bagian mana yang salah?” dan sejenisnya. Padahal yang sedang mereka tanyakan adalah hal teknis yang benar salahnya tergantung prinsip yang digunakan sebagai landasan, sementara teknisnya dapat ‘berbunyi’ dengan beraneka warna.

Demikian pembahasan tentang fasilitasi proses belajar dengan cara menggembala. Semoga bermanfaat.

Jika Kamu adalah pendidik, coba ingat kembali, apakah Kamu sudah menjadi penggembala?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *