Menjadi yang BAIK, Tanpa Syarat


Kalau ada kata ‘baik’, ‘lebih baik’ dan ‘terbaik’, pasti mengingatkan kita pada pelajaran tentang komparasi atau perbandingan. Mana yang lebih/paling tinggi? Apakah kata ‘terbaik’, karena awalan ‘ter-‘ memiliki arti ‘paling..”? Belum tentu! Kata ‘baik’ justru sebuah kondisi tanpa syarat.

Tentu kita masih ingat dengan materi komparasi atau perbandingan, baik di pelajaran Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Mari kita ambil contoh kata ‘baik’, ‘lebih baik’, dan ‘terbaik’. Aku mengambil contoh kata ‘baik’, karena ini berhubungan dengan kondisi yang dituju hampir setiap orang, yaitu kondisi baik.

Tulisan ini berawal dari saat aku menghadiri undangan pentas seni dari sekolah tempat anakku bermain dan belajar. Di sesi awal, ada sambutan dari pemilik sekolah yang menyatakan harapan, agar sekolahnya menjadi sekolah yang terbaik. Saat dikatakan ‘menjadi sekolah yang terbaik’, maka di benakku muncul berbagai sekolah yang posisinya berada di sekitar sekolah anakku, dan tiba-tiba secara teratur mereka membentuk barisan vertikal di bawahnya sekolah anakku. Setidaknya seperti itulah visualisasi sebagai efek dari makna kata ‘terbaik’.

Ketika kata ‘baik’ mulai berkembang menjadi ‘lebih baik’ dan ‘terbaik’, maka sudah masuklah kata ‘baik’ kedalam konteks komparasi atau perbandingan. Ketika sesuatu dibandingkan, maka pembandingnya akan dimunculkan. Misalnya saja, jika yang dibandingkana adalah kepintaran, maka akan muncul di benak kita, anak-anak lain dengan kepintaran-kepintaran mereka. Perbandingan dengan model ‘baik’, ‘lebih baik’, dan ‘terbaik’ akan menempatkan anak-anak dengan berbagai kepintaran tersebut dengan susunan vertikal, ada yang pintar, lebih pintar dan terpintar atau paling pintar.

Selain memunculkan pembanding, perbandingan juga akan memunculkan standar. Mungkin kita pernah tahu yang namanya criterion atau standard model dan norm atau group model. Kalau criterion atau standard, berarti menetapkan posisi atau kondisi seseorang berdasarkan standar yang ditetapkan. Sedangkan norm atau gorup model, menempatkan orang pada posisi diantara anggota group. Jadi, ketika seseorang dikatakan pintar (memakain contoh sebelumnya), maka posisi kepintarannya berada diantara teman-temannya (dalam group). Dia bisa dikatakan pintar kalau berada di posisi atas diantara teman-temannya, dan sebaliknya. Namun demikian, standar atau acuan bisa muncul di kedua model tersebut. Dalam criterion model, standar ditetapkan. Sedangkan dalam norm model, standar muncul dalam group. Komparasi memunculkan standar di kedua model tersebut.

Komparasi juga menghidupkan atmosfir kompetisi. Boleh dibilang ini adalah salah satu sisi baik dari efek komparasi. Orang akan menjadi terdorong untuk bersaing, sehingga berlomba untuk mencapai yang terbaik. Namun di saat yang sama, atmosfirnya menjadi menegang. Orang tidak hidup dalam dirinya yang terbaik, tetapi berada dalam standar orang lain untuk menjadi yang terbaik. Karena itu, ada pilihan lain ketika kita tidak ingin menjadi yang terbaik diantara yang lain, yaitu menjadi baik tanpa syarat.

Mau hidup dengan perbandingan atau menjadi baik tanpa syarat? (foto: alpriyadips.com)
Mau hidup dengan perbandingan atau menjadi baik tanpa syarat? (foto: alpriyadips.com)

Baik tanpa syarat boleh dibilang menghilangkan perbandingan. Seseorang menjadi baik, berarti ada dalam dirinya, mengembangkan dirinya, fokus kepada dirinya. Kalau mau diperluas konteksnya, seseorang yang ingin menjadi baik tanpa syarat, berarti fokus kepada kekuatannya, bakatnya, kesukaannya, termasuk dalam pengembangan berbagai aspek yang ada dalam dirinya.

Efeknya bisa sangat berbeda dengan model komparasi. Ketika seseorang fokus menjadi baik tanpa syarat, tanpa perbandingan, maka seseorang akan mulai mengeksplorasi diri. Ia akan mengenali diri, kekuatan, potensi, untuk kemudian dikembangkan. Lebih dari sekedar bakat, ia juga dapat memunculkan ciri khas, yang keseluruhan bisa menjadi karakteristik yang dikenali. Meyakini karakteristik dan bertindak sesuai dengannya, boleh dibilang kita telah menjadi manusia yang berkarakter. Namun dalam hal kompetisi, pendorong eksternal menjadi tidak begitu berarti. Artinya, baik tanpa syarat kurang gereget, karena (dalam hal) tidak adanya atmosfir kompetisi.

Namun, dalam kondisi baik tanpa syarat, kita bisa saja tetap berkompetisi. Lho kompetisi seperti apa? dengan siapa? Ya, kompetisi dengan diri sendiri. Ada beberapa alasan kenapa seseorang berkompetisi dengan diri sendiri. Pertama, pondasi atau pilar utama pengembangan diri adalah mengenali diri sendiri. Berkompetisi dengan diri sendiri, bersesuaian dengan pondasi atau pilar pengenalan diri. Kedua, tugas berat bukan melawan musuh yang ada di luar, tetapi menakhlukkan diri sendiri. Ini pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad pasca perang mengalahkan musuh. Menakhlukkan diri sendiri bersesuaian juga dengan kompetisi denga diri sendiri. Ketiga, berkenan dengan sistem hisab (hitung) pribadi. Kita pasti sudah pernah tahu tentang kata-kata “Hari ini lebih baik dari hari kemarin. Hari esok lebih baik dari hari ini”. Jika sama saja, orang dikatakan merugi, jika lebih buruk dikatakan celaka. Hal ini juga bersesuaian dengan kompetisi dalam atau dengan diri sendiri.

Dengan demikian, kompetisi dengan diri sendiri juga mengenal kata ‘terbaik’. Hal ini berhubungan dengan fully functioning atau aktualisasi diri (self actualization). Seseorang diciptakan dengan kodrat yang terbaik. Karena itu, kita seharusnya berusaha mengisi kapasitas baik itu. Justru kita akan mengalami neurosis (sakit) ketika tidak mengarah ke sana atau berusaha mengingkarinya. Hal ini menimbulkan kecemasan-kecemasan eksistensialis.

Nah, sekarang pilihan ada di tangan kita, apakah akan mengikuti pola komparasi ‘baik’, ‘lebih baik’, dan ‘terbaik’ (eksternal), atau menjadi baik tanpa syarat (internal). Kalau Kamu?


One response to “Menjadi yang BAIK, Tanpa Syarat”

  1. aku dibesarkan dalam “tuntutan” kompetisi antar-manusia yang cukup tinggi mas.
    SD sampai SMA seolah wajib mendapatkan peringkat 3 besar (95% tercapai), dan setelah kuliah, aku menjadi lelah dan menemukan bahwa sebetulnya aku gak pinter-pinter amat — atau teman-temanku jauh lebih pintar daripada aku. Haha…

    ingin menghapus cara mendidik ibuku yang seperti itu jika kelak aku punya anak, walau tak dipungkiri aku juga ingin anak-anak yang cerdas akademis dan non akademis. Wakakaka susyeee bener jadi manusia. Pengennya paket komplit. Aku mah apa atuh, mas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *