Political Framing, hati-hati dengan barang yang satu ini. Salah satu yang populer belakangan ini adalah kalimat dari Anies Baswedan yang mengatakan “Apa susahnya membawa anak Palestina ke sini?”. Apa sih uniknya kalimat ini?
Saya tidak pernah tertarik membicarakan politik, karena memang itu bukan keahlian saya. Bahkan saya cuma sekali posting yang berbau politik di rudicahyo.com. Namun saya tetap menyimak perkembangna politik, lebih-lebih kita memang sedang masuk tahun-tahun politik. Saya hanya tertarik pada bagian edukasinya, mengingat dampaknya bagi persatuan di akar rumbut begitu terasa. Bagian inilah yang menurut saya perlu diedukasi, agar kita menjadi masyarakat yang bijaksana menyikapi situasi ini. Tidak jarang framing dilakukan dengan cara mengutip, memotong video, atau mengedit foto dan dibumbui berbagai caption untuk menjelekkan orang atau pihak lain.
Belakangan ini kalimat dari Anies Baswedan yang menyatakan “Apa susahnya membawa anak Palestina ke sini?” dipotong hanya di bagian itu. Bahkan media meanstream sekalipun melakukan hal yang sama, videonya dipotong atau menjadikan kalimat itu sebagai headline beritanya. Tak bisa dibendung, dampaknya akhirnya terjadi di kalangan bawah yang mengonsumsi beritanya. Para pendukung Pak Anies banyak yang tidak terima, sedangkan para pendukung Pak Prabowo maupun Pak Ganjar menggunakannya untuk menyerang Pak Anies. Saya bukan pendukung salah satu paslon, tapi saya tidak setuju dengan model-model kampanye seperti ini.
Karena saya mencurigai pemenggalan kalimat dalam video tersebut sebagai framing untuk menjatuhkan orang lain, maka saya berusaha tabayyun untuk melihat video yang lebih panjang dan membaca berbagai media yang memberitakannya. Otak nakal saya ini justru menemukan hal menarik lain yang berbeda dengan bahan gontok-gontokan antar ketiga kubu. Saya menemukan di salah satu media menyatakan,, “Anies beralasan, langkah itu realistis untuk dilakukan lantaran upaya politik untuk mendamaikan Palestina-Israel sudah dilakukan dan berakhir gagal”. Saya menyoroti kata ‘realistis’. Saya coba bandingkan dengan media yang lain, tidak ada yang menggunakan kata ‘realistis’. Saya juga coba menyimak videonya, saya juga tidak mendengar kata ‘realistis’ dalam kalimatnya Pak Anies (koreksi jika saya salah). Ada apakah dengan media satu ini?
Kata ‘realistis’ yang digunakan oleh media tersebut justru bisa menjadi pembaca untuk menyerang Pak Anies lagi. Padahal Pak Anies tidak pernah mengatakan realistis. Itu hanya simpulan (yang kemudian bisa menjadi sebatas opini) dari media tersebut terhadap keseluruhan perkataan Pak Anies. Memang sih, simplifikasi yang dilakukan Pak Anies bisa membuat orang menyimpulkan seolah-oleh Pak Anies mengatakan bahwa itu realistis. Pembaca bisa menyerang Pak Anies seolah-olah beliau mengklaim bahwa gagasannya itu realistis. Pak Anies tidak pernah mengatakan itu. Bahkan diksi ‘realistis’ bisa menjebak media tersebut menyebarkan hoax. Apakah ini adalah bawah sadar dari media tersebut untuk mengarahkan opini publik? Entahlah..
Kalau saya pribadi sih lebih percaya Pak Anies adalah capres yang sangat logis. Bahkan mungkin satu-satunya capres yang paling logis diantara calon yang lain. Saya lebih percaya beliau adalah orang yang logis daripada realistis. Karena itu pula lah, beberapa ekonom dalam Sarasehan 100 Ekonom 2023 menanyatakan tentang eksekusi dan implementasi gagasan Pak Anies di lapangan. Salah satu penanya menanyakan tentang implementasi kartu pra kerja dengan menitikberatkan pada eksekusi di lapangan. Saya sangat memahami kekhawatiran beliau, karena saya sempat mengambil bagian di pelaksanaan program tersebut.
Jadi, untuk yang terakhir saya berpesan, hentikan framing yang saling menjatuhkan. Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden punya keunggulannya masing-masing. Dan menurut saya, Pak Anies lebih tepat disebut logis daripada realistis.