Banyak orang yang mempertanyakan kekuasaan Tuhan. Mulai dari yang usil, kritis, sampai protes atas kondisi atau situasi yang menimpa dirinya. Bagaimana kita mengelola dan berdasmai dengan pikiran tersebut?
Saya teringat dengan beberapa anekdot yang bertanya seperti ini, “Apakah Tuham mampu membuat sesuatu yang besar hingga Dia tidak bisa mengangkatnya?”. Ini adalah sebuah pertanyaan jebakan yang apapun jawabannya akan ‘memojokkan’ Tuhan. Denagn kata lain, juga akan menyulitkan kita sebagai orang yang sudah ditanamkan tentang keyakinan akan kekuasaan Tuhan. Apalagi yang sangat menjaga etika atas pikiran, perasaan dan perkataan tentang Tuhan, malah sangat kikuk dan salah tingkah dengan pertanyaan ini.
Jika kita menjawab bahwa Tuhan mampu membuat sesuatu yang besar hingga Dia tidak mampu mengangkatnya, itu sama saja mengatakan bahwa Tuhan tidak kuasa mengangkat. Padahal Tuhan itu maha kuasa, maha kuat, maga segalanya, kenapa mengangkat benda ciptakaannya tidak kuat? Namun jika kita menjawab bahwa Tuhan tidak akan menciptakan beda yang ia tidak mampu mengangkatnya, juga simalakama. Meskipun Tuhan berkehendak untuk menciptakan atau tidak menciptakan benda, namun pernyataan ‘tidak menciptakan benda yang Dia tidak mampu mengangkatnya’ juga tetap salah bagi yang menjaga keagungan sifat-sifat Tuhan. Karena dalam kalimat ‘tidak menciptakan benda yang Dia tidak mampu mengangkatnya’ masih terkandung kalimat ‘Dia tidak mampu mengangkat’.
Pertanyaan anekdot seperti ini tidak hanya terjadi di warung kopi atau guyonan kritis anak-anak sepermainan. Pertanyaan semacam ini juga sempat masuk di perkulihan filsafat saat saya kuliah S1 dulu. Saat itu, perdebatan dalam kelas begitu serunya, sampai ada yang mulai meyakini bahwa kekuasaan Tuhan bisa dipertanyakan. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Tuhan ini bisa menggoyahkan akidah dan melemahkan iman. Ini sangat berbahaya buat saya yang sangat meyakini atas keagungan Tuhan yang tak tertandingi.
Berbekal keimanan, saya berhati-hati untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Saya juga akan coba menjelaskan secara substansial namun mudah. Ini dari jawaban saya bersandar pada kata-kata usil (kalua kata Gus Baha ‘cangkem elek’ alias mulut jelek) saya, yaitu ‘suka-suka Tuhan’.
Tuhan itu maha kuasa dan menguasai seluruh alam semesta tak terbatas. Ketika kita mempertanyakan keuasaan Tuhan dengan logika paradoks kuasa menciptakan hal yang besar sampai tidak kuat mengangkatnya, itu masih menggunakan logika manusia yang serba terbatas. Pertanyaan itu muncul dari kepala orang yang mungkin sering melihat pemahat patung batu besar atau pesawat terbang. Penciptanya sendiri tidak mampu mengangkatnya. Dengan logika yang terbatas inilah si penanya berani mempertanyakan kekuasaan Tuhan.
Baca juga:
Angka dan Tuhan, Analisis Post Strukturalisme
Needs Sebagai Motif dalam Hirarkhi Kebutuhan Maslow
Pembuat pesawat atau patung batu masih perlu alat dan bantuan orang lain untuk membuatnya. Kalaupun mau dibuat sendiri, ia akan butuh waktu dan tenaga yang besar (tentu saja dengan ukuran manusia). Kalau pakai logika manusia, ada sisi kekuatan dan kelemahan, ada plus dan minus. Pembuat pesawat punya kekuasaan atas pesawatnya. Pesawat tersebut bisa dipreteli, diubah, atau bahkan dihancurkan. Begitu juga dengan pembuat patung batu juga bisa melakukan hal yang sama. Artinya, pembuatnya punya kekuasaan atas benda yang ia buat. Namun di sisi lain, ia punya kelemahannya, yaitu tidak mampu mengangkatnya.
Penggunaan logika manusia ini berarti menggunakan keterbatasan pikiran manusia. Jika mau rendah hati, kita bisa mengatakan bahwa kita sedang menggunakan logika bodoh kita untuk berpikir tentang Tuhan.
Kita kembali kepada pilihan kata ‘cangkem elek’, yaitu ‘suka-suka Tuhan’. Karena Tuhan itu maha kuasa, maka ya suka-suka Tuhan mau menciptakan apapun dengan spesifikasi apapun. Namun yang perlu digarisbawahi adalah ia maha kuasa. Jadi kata ‘kuat’ atau ‘tidak kuat’ mengangkat, itu tidak relevan bagi Tuhan. Karena sudah pasti akan hanya mengarah kepada satu kata, yaitu ‘kuat’, karena Tuhan maha kuat dan sumber kekuatan. Selain itu, Tuhan itu maha berkehendak. jadi yang relevan bukan kata ‘kuat’ dan ‘tidak kuat’ mengangkat, tapi pada mau atua tidak mau mengangkat. Itu suka-suka Tuhan aja.
Keterbatasan logika manusia tidak bisa menjangkau keagungan Tuhan. Pada titik ini manusia harus belajar ikhlas untuk tidak berpikir. Pada titik ini mansia belajar ikhlas untuk meyakini. Karena itu, kalau kita ingin benar-benar mengenal Tuhan, maka berhentilah berpikir, dan mulailah meyakini. Dengan keyakinan itu, maka pikiran yang kita gunakan akan tetap berada dalam kendali kesadaran, yaitu menyadari bahwa pikiran kita itu hanya lahir dari keterbatasan logika manusia. Dengan kata lain, jika itu tentang Tuhan, maka yakinilah dulu, baru kemudian berpikir. Bukan sebaliknya.