Bahaya Tagar Indonesia Terserah


Tagar Indonesia terserah (#indonesiaterserah) yang viral di masyarakat, tentu kita sudah tahu itu. Tagar yang berawal dari rasa jengkel tersebut dikhawatirkan akan mengarah kepada bahaya yang lebih besar. Apa bahayanya?

Tagar Indonesia Terserah muncul seiring dengan sikap atau perilaku warga dalam situasi pandemic covid-19. Wabah covid-19 tak terbendung, seiring dengan penularan melalui interaksi yang memberikan peluang untuk masuknya virus dari satu orang ke orang lain. Karena itu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat kebijakan untuk membatasi peluang interaksi antar orang, diantaranya dengan memberlakukan swakarantina dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya, di satu sisi ada beberapa pelanggaran yang terjadi di masyarakat, seperti orang masih berjubel untuk berbelanja kebutuhan lebaran, banyak juga yang memaksakan mudik, dan anak-anak muda yang masih nongkrong dan berkumpul, mengabaikan jarak aman (physical distancing).

Situasi ini memunculkan kejengkelan di benak orang-orang yang sudah bersusah payah menahan keinginannya untuk keluar rumah, melakukan semua aktivitasnya di rumah, tidak bekerja, tidak sekolah, tidak berkeliaran, tidak jalan-jalan, dan tidak bertemu langsung untuk silaturahmi lebaran. Karena itu, muncullah tagar #indonesiaterserah.

Sampai pada peluapan kejengkelan, awalnya belum menjadi masalah. Namun meluasnya atau semakin viralnya tagar ini lewat media sosial, semakin membentuk cara berpikir baru atas ketidakketatan dalam menjaga jarak kontak. Ada beberapa poin bahaya yang menjadi dampak dengan semaki viralnya tagar ini,

Apa Bahaya Tagar Indonesia Terserah?

1. Kejengkelan yang ditularkan

Karena munculnya tagar ini berawal dari kejengkelan, dan kemudian disebarkan lewat sosial media (yang daya sebarnya sudah diakui sangat luar biasa), maka kejengkelan itu juga turut menyebar. Kejengkelan tidak mungkin tanpa objek atau subjek sasaran. Sangat sulit orang menyembuhkan (release) kejengkelan jika tanpa objek atau subjek. Kesadaran tidak akan ada tanpa objek (atau subjek) yang disadari. Begitu juga kejengkelan, salah satu yang membuat kejengkelan itu tampak nyata, maka harus ada sasaran yang menjadi objek atau subjek lekatnya. Dengan kejengkelan itu tampak nyata, adalah langkah awal orang untuk dapat mengatasinya. Lebih mudah mengatasi sesuatu yang konkrit daripada yang terlampau abstrak buat kita. Nah, yang menjadi objek atau subjek sasaran dari kejengkelan ada dua, selain masayarakat yang melakukan pelanggaran, juga pemerintah yang dituding melakukan pelonggaran.

2. Rasa saling membenci

Rasa jengkel saja sudah menyiksa atau menimbulkan emosi negatif yang merugikan, ditambah lagi tumbuhnya rasa permusuhan. Sebenarnya kejengkelan itu sendiri tidak begitu berdampak jika belum dialamtkan pada subjek tempat meletakkan kesalahan. Kejengkelan pada situasi masih mungkin bisa ‘diterima’ dampaknya, sementara kejengkelan pada orang akan lebih terpelihara, bahkan bisa menguat jua. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, subjek sasaran kesalaha itu memang dibutuhkan untuk meletakkan tanggung jawab atas situasi yang merugikan. Dan meletakkan kesalahan pada objek atau subjek nyata adalah langkah awal untuk dapat lebih mudah mengatasinya.

Tagar Indonesia Terserah
Akankah kita membiarkan tagar Indonesia Terserah membuat Indonesia menyerah? (foto: grid.id)

Baca juga,

3. Bias kognitif

Resonansi kejengkelan yang kemudian dituangkan dalam tagar yang viral ini, bisa mendatangkan serangan balik terhadap masyarakat. Viralnya tagar ini justu dapat mendulang dukungan untuk tetap menjadikannya viral di masayarakat. Banyak orang yang dengan suka cita memposting berita atau menyebarkan rekaman video yang menunjukkan pelanggaran dan kebandelan masyarakat, hanya karena ingin berpartisipasi dalam tagar ini. Karena itu, lahirlah perilaku, mulai dari yang kebetulan menemukan pelanggaran, sampai dengan yang sengaja mencari-cari pelanggaran untuk di-share sebagai olok-olokan.

4. Terkikisnya peluang berita sebaliknya (positif)

Dengan semakin berkuasanya tagar toxic ini, maka orang akan lebih menyukai tagar ini, bahkan berpartisipasi untuk mempertahankan atau menggaungkannya. Dengan demikian, banyak berita positif tentang kemajuan penangan covid, baik yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, tenaga medis maupun pemerintah yang kurang mendapatkan tempat, karena kalah dengan popularitas tagar Indoensia Terserah. Seperti yang dikatakan Garin Nugroho, di satu sisi adanya penurunan kemampuan dari para tokoh sebagai komunikasi publik, namun di sisi lain juga terjadi pelemahan peran karena digilas oleh santarnya trend berita.

5. Terjebak dalam rasa menyerah

Dampak kelima ini yang dikhawatirkan oleh beberapa orang yang menyadari bahayanya. Sebagaimana himbauan Iwan Falas yang tidak menampik tagar ini, tapi tetap khawatir bahwa masyarakat akan menjadi menyerah. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo juga menghawatirkan hal yang sama. Ganjar berharap, semua orang yang sedang berjuang untuk melawan corona, termasuk tenaga medis, tidak terpengaruh oleh tagar ini. Ia khawatir pilar-pilar yang menjadi penguat perjuangan melawan corona justru akan merapuh dengan adanya tagar Indoensia Terserah.

 

Kesadaran akan bahaya viralnya Tagar Indonesia Terserah dapat menjadi pijakan pertama untuk kita melakukan langkah yang lebih nyata, dan positif tentunya. Mari kita semangati bangsa ini, mari kita saling menyemangati. Mari kita lawan corona! Jangan sampai tagar ini membuat Indonesia menjadi menyerah!


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *