Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
February 28, 2013 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Ada apa lagi dengan pendidikan Indonesia? Dilaporkan oleh Al Jazeera (27/2), sebuah stasiun televisi berbahasa Arab dan Inggris yang berbasis di Doha, Qatar, bahwa Indonesia tahun lalu menempati posisi terakhir indeks pendidikan yang dikeluarga lembaga pendidikan internasional, Pearson.
Berita yang dipublikasikan oleh okezone.com ini ku tulis kembali dengan judul yang sedikit dimodifikasi, yaitu Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu. Judul aslinya sudah pasti tahu kan?
Ok, bagaimana perasaan Kamu dengan adanya berita ini? Sedih, hancur, terpuruk, merana, galau, atau frustrasi? Sebagai orang Indonesia tulen, pasti kita merasa kecewa dengan kondisi ini.
Aku khawatir dengan pemberitaan ini. Terlepas benar atau salah, berita ini dapat membuat kita semakin pesimis, meratapi nasib. Berita yang seperti ini pasti lebih mudah di-blow up, apalagi kepercayaan publik terhadap pemerintah, terutama dalam hal ini adalah sistem pendidikan kita, masih belum baik.
Dalam tajuk yang ditulis oleh okezone.com, tertulis “Meski berbagai pemeringkatan internasional menunjukkan prestasi pendidikan tinggi Indonesia di kancah dunia, secara umum kondisi pendidikan Indonesia tidaklah sebaik itu…”. Artinya, ada bagian yang masih layak diapresiasi, yaitu prestasi pendidikan tinggi kita. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, bagaian catatan “…, secara umum kondisi pendidikan Indonesia tidaklah sebaik itu” pasti lebih diperhatikan. Tapi catatan seperti ini memang harus diperhatikan untuk perbaikan ke depan, bukan untuk diratapi dan membuat kepercayaan diri kita jadi semakin tercabik-cabik.
Laporan pendidikan berjudul The Learning Curve 2012 ini didasarkan pada riset global yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Parameter yang digunakan adalah indeks kognitif dan pencapaian pendidikan global yang dikombinasikan dengan data literasi dan tingkat lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Dari 4o negara yang diikutkan, Indonesia menempati posisi terbawah bersama Mexico dan Brazil.
Apa pendapat Bapak Mentri Pendidikan atas kondisi ini? Beliau mengatakan demikian:
Indonesia memang masih berjuang dalam penyempurnaan sistem pendidikan nasional. Salah satunya melalui perubahan kurikulum yang akan diterapkan Juli mendatang (dikutip dari okezone.com)
Dengan menganggarkan 20% dari total APBN untuk pendidikan, apa sebenarnya yang direncanakan oleh M. Nuh? Kurikulum 2013 adalah senjata yang sangat beliau yakini. Seperti apa struktur kurikulum 2013? Bisa dibaca di sini. Pemerintah Indonesia yakin, kurikulum baru merupakan usaha mereka menyederhanakan pendidikan, mengurangi angka putus sekolah, dan menciptakan lebih banyak doktor.
Kalau kita cermati keyakinan pemerintah atas kurikulum 2013, maka terlihat spirit yang mendasari kurikulum tersebut. Pemerintah menjadikan spirit penyederhanaan sebagai landasannya. Guru tidak perlu lagi membuat rencana pembelajaran harian. Ini satu poin penting yang perlu dicermati, yaitu penyeragaman. Jadi bukan hanya soal penyederhanaan, tapi juga penyeragaman.
Melalui mentrinya, pemerintah juga menyebut tentang angka putus sekolah dan menciptakan lebih banyak doktor. Kalau putus sekolah hanya difokuskan pada angka-angka yang menunjukkan jumlahnya, maka penangannya adalah memperbanyak anak yang sekolah dan mencegah jangan sampai putus di jalan. Apa yang perlu digarisbawahi? Iya, kuantitas, banyak yang masuk sekolah dan sedikit yang drop out. Jelas ini masih belum memfokuskan pada kualitas. Cara pandang lama masih lestari.
Bagaimana dengan jumlah doktor? Setali tiga uang, kualitas pendidikan doktoral yang perlu diperhatikan, meskipun keseluruhan jenjang pendidikan juga masih perlu dibenahi. Lha pendidikan master dan doktoral dalam negeri saja kualitasnya masih belum mendapat perhatian. Tidak heran jika makin banyak orang bangga dengan kuliah di luar negeri, merasa mentereng dengan gelar yang disandang dari perguruan tinggi ‘non dalam negeri’.
Jika disambungkan dengan target jumlah anak sekolah dan tidak putus di tengah jalan, pola pikirnya masih seperti gendang, kedua ujungnya ditutup. Banyak yang sekolah dan banyak jumlah doktor. Kenapa dikatakan buka tutup gendang? Karena tengahnya kosong. Bagaimana isi pendidikannya tidak menjadi fokus perhatian.
Jika fokus peningkatan kualitas pendidikan kita tidak hanya berfokus pada jumlah dan tidak terlalu picik berbicara tentang formalitas nilai dan lulusan, aku yakin pendidikan kita tidak lagi di nomor sepatu, tapi nomor satu. Setuju?
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Pemimpin itu Pendidik
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Pengembangan Diri yang Paling Murni