Sebagaimana orang pada umumnya, orangtua juga potensial mengalami kemarahan. Sebagai orang terdekat, kemarahan orangtua langsung dirasakan oleh anak. Agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, penting untuk mengendalikan kemarahan kepada anak. Bagaimana caranya?
Untuk mengawali tulisan ini, kiranya pas kalau didahului pertanyaan, bolehkah memarahi anak? Setelah pertanyaan ini terjawab, barulah kita tidak perlu risau ketika memutuskan, apakah anak memang perlu untuk dimarahi.
Namun ketika marah, kemarahan kita perlu untuk disadari. Hal ini penting, karena kesadaran kita yang memegang peranan dalam mengendalikan kemarahan. Selain itu, kesadaran membuat kita dapat menentukan tujuan yang benar ketika memarahani. Bahkan untuk memberikan hukuman yang tepat, kesadaran diri penting untuk dimiliki.
Dengan kesadaran yang kita miliki, kita juga dapat mendeteksi tersulutnya emosi. Kenapa kemarahan perlu disadari? Karena penyebab kemarahan kepada anak kadang tidak disadari. Ada faktor bawah sadar yang mempengaruhi kita ketika marah. Deteksi kemarahan membuat kita juga lebih mudah untuk mengontrolnya, sehingga kemarahan kita mempunyai makna bagi anak untuk menjadi lebih baik. Bagaimana mengontrol atau mengendalikan kemarahan kita?
Sebelum membahas tentang mengendalikan kemarahan, perlu dipahami yang dimaksud kemarahan di sini. Maksud kemarahan di sini adalah marah yang emosional. Kemarhaan yang disulut oleh emosi. Kemarahan yang dengan emosi yang mendominasi. Dengan kata lain yang lebih mudah, kemarahan di sini punya dampak yang menyakiti, membahayakan bagi diri dan anak, serta sudah keluar dari proporsi.
Agar dapat mengendalikan kemarahan kita kepada anak, beberapa hal berikut ini harus diperhatikan.
1. Tanyakan kepada diri, karena apa kita marah
Setiap kemarhaan pasti ada pemicunya. Ketika kita tahu pemicu kemarhaan kita, maka kita perlu tetap menyadarinya secara jelas. Artinya, penyebab kemarahan tetap harus definitif. Dengan pengertian yang jelas atas penyebab kemarhaan, maka bentuk kemarahan kita tetap harus dijaga sesuai dengan penyebabnya. Contoh, anak ketahuan bolos sekolah. Jangan sampai kemarahan kita sampai keluar jalur penyebabnya, misalnya orangtua malah bertengkar, “Kamu sih suka memanjakan anak!”, atau marahnya tidak relevan dengan penyebab, misalnya mengatakan “Kamu tidak pantas jadi anak ayah”.
2. Tanyakan kepada diri, untuk apa kita marah
Selain penyebab, kemarahan juga punya tujuan. Jika di poin1 dicontohkan anak ketahuan mbolos sekolah, maka perubahan yang mungkin kita inginkan adalah anak lebih rajin ke sekolah, jujur kalau membolos dan sebagainya. Seperti halnya pada pembahasan tentang penyebab di poin 1, maka kemarhaan juga harus konsisten dengan tujuan. Misalnya, ambil contoh anak yang ketahuan membolos. Jika kita ingin anak rajin masuk sekolah, tidak perlu kemarahan kita sampai berujung mengusirnya dari rumah.
3. Tanyakan kepada diri, apakah cara kita marah sudah mengarah kepada perubahan positif pada diri anak
Bersesuaian dengan poin 2, yaitu tujuan kemarahan kita, poin 3 ini lebih menekankan kepada bagaimana cara kita marah. Membahas tentang cara marah, kita berarti sedang berbicara tentang ketepatan tindakan dan proporsi dari kemarahan. Jika dengan berbicara halus saja sudah bisa mengubah anak, maka tidak perlu kita marah-marah, atau bahkan memukulnya. Jika kita langsung ‘ngegas poll’ atas pemicu kemarahan yang kecil, maka saat itu kita sedang dikendalikan oleh emosi kita.
4. Tanyakan kepada diri, apa efek samping kemarahan kita untuk anak
Berbicara efek samping berbeda dengan tujuan. Kalau tujuan, adalah perubahan yang diinginkan, sedangkan efek samping adalah akibat yang timbul tanpa direncanakan. Ketika akan memarahi anak, maka tanyakan kepada diri kita, apakah kemarhaan kita membahayakan fisik/psikis anak, apakah akan melukainya, apakah dampaknya untuk kesehatan mentalnya kelak di kemudian hari, apakah akan membuatnya jadi anak yang rentan stress, mudah menyerah dan sebagainya.
5, Tanyakan kepada diri, apakah kita marah di waktu dan tempat yang tepat
Ketika kita menyadari kemarahan kita, seharusnya kita tidak marah di sembarang tempat, kita tidak marah-marah sepanjang waktu. Hal ini bisa berhubungan dengan poin 4, efek samping kemarahan kita. Anak mungkin saja merasa malu kepada teman-temannya, merasa down dan sebagainya. Lebih parah lagi, jika kita memarahi anak yang sedang marah. Perubahan akan sulit terjadi jika anak sendiri sedang defend, sehingga kemarahan kita sulit menembus diri anak dan susah membuat perubahan. Untuk bagian ini, lebih baik baca juga “Apa yang Tidak Boleh Dilakukan saat Anak Marah-Marah?“.
Demikian cara mengendalikan kemarahan kita kepada anak. Apakah Kamu punya pengalaman tentang kemarhan dan mengendalikan kemarahan kepada anak? Silahkan dibagi di sini.
2 responses to “Cara Mengendalikan Kemarahan Kita kepada Anak”
Keren, marah artikel yang sangat menarik mas. Banyak para orang tua tidak memahami akan dirinya ketika memarahi anak-anak. Seperti kejadian yang saya alami beberapa hari lalu. Tentang seorang bapak yang memarahi anaknya dengan berkata “Kami ini bodoh terus-terusan jatuh.” hem miris saya mendengar dan melihatnya. Apalagi secara langsung, kejadian ini pun saya tulis dalam blog judul tulisannya “Generasi Muda (Indonesia) Bodoh, Benarkah.” Jika berkenan bisa mampir 🙂
Yup, meluncur..