PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
June 17, 2022 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Pendidikan kita tercermin dari budaya yang lestari di lembaga-lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal. Apakah benar bahwa pendidikan kita sudah membentuk pribadi pembelajar? Jangan-jangan pendidikan kita telah melestarikan budaya verifikasi benar dan salah.
Pernah tidak, kita diberikan pertanyaan semacam ini, “Ini tugas saya, tolong diperiksa apakah sudah benar?” atau “Pak/Bu tolong dicek, apakah ada yang salah?”. Kamu yang guru atau dosen, mungkin pernah mendengar kalimat serupa itu. Atau mungkin juga Kamu yang mahasiswsa juga pernah melakukannya?
Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan bagi mandor, supervisor, atau pengawas, ok lah tidak jadi masalah. Namun hal ini sebenarnya sebuah budaya yang salah arah ketika obrolan semacam itu terjadi antara guru dan siswa atau dosen dan mahasiswa.
Saya sering mengatakan kepada mahasiswa bimbingan skripsi, praktikum, thesis atau tugas-tugas kuliah, bahwa saya bukan verifikator. Lebih-lebih ada mahasiswa yang mengerjakan tugas kelompok, datang bersama kelompoknya dan minta tugasnya dicek benar atau salah. Selain itu memosisikan saya sebagai hakim atas tugasnya, itu juga sama saja dengan mencuri start. Dosen yang pada akhirnya akan memberikan penilaian atas tugasnya, ditanyai tentang status benar dan salahnya tugas mereka. Parahnya lagi, pertanyaan tersebut sengaja mereka ajukan agar nilai tugasnya bagus. Coba bayangkan jika posisi kamu menjadi dosen atau guru yang mengalami hal tersebut.

Apakah Pendidikan Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah? (foto: nur-agustinus.blogspot.com)
Budaya verifikasi benar dan salah ini tidak hanya dalam bentuk pertanyaan atas tugas (atau semacamnya). Kebiasaan ini menjelma menjadi perilaku-perilaku yang tanda disadari dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Dosen dan mahasiswa atau guru dan siswa yang sedianya berdialog untuk membangun pengetahuan menjadi seperit hubungan umat dan tuhan. Satu pihak punya kuasa untuk memutuskan kebenaran, di lain pihak dalam posisi inverior untuk menerima ketentuan. Akhinya hal ini membentuk pola pikir dan mentalitas siswa/mahasiswa (kalau tidak disebut membentuk mentalitas pendidikan kita). Kondisi ini turut memperkuat warisan pendidikan feodal yang membuat murid menjadi pasif dan tidak ekspresif dalam menunjukkan potensinya. Mereka takut melakukan kesalahan.
Baca juga artikel yang terkait
Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
Memaksakan Cara Berpikir Kita Dapat Melemahkan Imajinasi Anak
Sebagai Guru, Sudahkan Kita Berdiri di Atas Sepatu Siswa?
Mentalitas membutuhkan verifikasi ini turut dibentuk oleh budaya dalam pendidikan kita, termasuk perlakuan kita sebagai pendidik kepada murid kita. Budaya yang dimaksud tidak lain adalah tujuan pendidikan yang disimplifikasikan dengan angka-angka atau nilai. Pendidikan tidak lagi menjadi pembangun mentalitas pembelajar dan bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan. Perlakuan para pendidikan yang menjelma menjadi mandor atau supervisor juga tidak kalah besar pengaruhnya. Guru atau dosen yang banyak mendikte muridnya akan menuai hal yang sama, yaitu melahirkan mentalitas yang membutuhkan verifikator.
Semoga dengan pengingat ini, kita segera menyadari dan berbenah diri dalam menyelenggarakan pendidikan ini. Menyelesaikan persoalan budaya yang mengakar dalam sistem dan terinternalisasi dalam pribadi memang tidak semudah membalik telapak tangan. Namun kesadaran ini bisa menjadi bahan bakar untuk segera memulai dari diri sendiri, baik yang berposisi sebagai murid atau sebagai guru/dosen.
Bagaimana meruntuhkan mentalitas ‘membutuhkan verifikasi’ dan berganti dengan mentalitas kolaborasi untuk membangun pengetahuan, akan kita bahas pada tulisan selanjutnya.
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Pemimpin itu Pendidik
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Apakah Penelitian Kualitatif itu Ilmiah?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Ingin Skripsimu Bergairah? Perhatikan 3 Komponen Penggalian Ide!
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak