Apa yang terbayang ketika ada istilah ‘jalan pedang’? Ya, sebuah jalan yang penuh tantangan, mengandung tanggungjawab, dan sepertinya berhadapan dengan marah bahaya. Itulah yang terjadi ketika seseorang memilih jalan dengan menjadi seorang guru. Lho kok bisa?
Beberapa hari yang lalu, aku ditawari untuk menjadi pemateri dalam sebuah acara yang audiens-nya adalah para guru PAUD. Materi yang disuguhkan untuk aku ampu adalah bercerita atau storytelling. Ketika aku klarifikasi, yang dimaksud dengan bercerita itu seperti apa, aku dijelaskan bahwa aku harus mengajari para guru itu untuk mendongeng dengan menggunakan boneka jari dan boneka tangan.
Sejauh ini, aku tidak pernah punya rekam jejak sebagai pendongeng. Berurusan dengan dongeng? Sudah pasti sangat sering, namun bukan sebagai pendongeng. Aku memang suka menulis cerita anak, lebih-lebih yang ditujukan untuk edukasi. Paling tidak, dulu sering aku lalukan pada waktu aktif di Indonesia Bercerita. Aku lebih pas disebut sebagai storywriter, bukan storyteller. Itulah yang aku sampaikan kepada panitia. Jadi, meskipun panitia mengeluh soal budget, bukan karena alasan itu penolakannya.
Karena niat dari panitia ini adalah untuk berbagi (setidaknya orang yang menghubungiku mengatakan demikian), maka aku berusaha mencarikan pembicara alternatif. Maka ku berikanlah kontak seorang teman yang memang berkecimpung di dunia mendongeng. Kalau aku lihat sekarang ia memang jauh lebih sibuk untuk mengisi acara berkenaan dengan keahliannya tersebut, mulai dari mendongeng secara langsung, sampai mengajari orang untuk mendongeng. Pokoknya sangat laris manis.
Namun ketika ku tanya, apakah panitia kenal dengan orang tersebut? Ternyata panitia sudah menghubunginya. Kata panitia, beliau tidak cocok dengan harganya.
Aku langsung teringat dengan beberapa kali pertemuan dan obrolan dengan temanku ini. Sebenarnya, ia temanku dan mungkin sekaligus murid. Memang bukan murid secara formal, dan juga bukan murid dalam hal mendongeng. Suatu kali aku pernah mengatakan kepada dia, bahwa kita harus berani menetapkan harga. Pasalnya, bagian itu kadang sulit ketika kita ditanya soal ‘harga diri’ kita. Mungkin beberapa pelatihan yang ia ikuti juga membicarakan hal yang sama. Obrolan dengan temanku terjadi dulu, sangat dulu, dulu banget.
Pada saat yang sama, aku teringat obrolanku dengan seorang teman trainer (lebih tepatnya fasilitator). Aku berbicara banyak dengannya hingga kami sependapat soal amal. Kadang kita tak punya kesempatan untuk beramal. Bukan masalah keberadaan harta benda yang akan kita amalkan. Kesempatan yang datang kepada kita tak melulu menyediakan peluang untuk memberikan harta benda. Jangan salah, kadang kaya tidak selalu punya peluang beramal, bukan karena pelit, tapi orang-orang disekitarnya sudah kaya raya. Namun apakah keinginan untuk berbagi harus berhenti?
Kadang yang datang kepada kita adalah kesempatan beramal untuk memberi apa yang kita miliki. Apakah kita hanya memiliki harta benda? Tidak, ilmu dan keahlian yang kita miliki juga harta yang bisa kita amalkan. Dalam konteks obrolan bersama temanku, memang kadang kita tak punya harta benda sih, alias bokek hehehe. Nah, dalam keadaan seperti itu, kadang selalu datang kesempatan beramal. Dalam bentuk apa? Ya adanya permintaan untuk berbagi ilmu, namun dengan budget minimal atau bahkan tidak sama sekali.
Emang sih, tantangan yang tidak bisa dianggap ringan juga, dikala bokek malah ada permintaan gratisan hehe. Saat itulah ‘keimanan’ kita diuji. Kata orang, menjadi dermawan di kala kaya itu sudah biasa. ‘Iman’ seseorang dikatakan kuat ketika memberi di saat tak memiliki.
Memang, obrolanku dengan teman storyteller itu terjadi dulu, sangat dulu, dulu banget, ketika aku masih ‘sangat muda’. Sedangkan obrolanku dengan temanku yang fasilitator terjadi dalam beberapa bulan ini, ketika cara pandang terhadap kehidupan mungkin sudah mulai berubah.
Jadi begitulah jalan pedang seorang guru. Apa yang kita katakan akan diamalkan oleh murid-murid kita, sedangkan ketika cara pandang kita sudah berubah, mungkin kita disebut sebagai guru yang plin-plan. Disebut plin-plan adalah sisi-sisi manusiawai, dan itu sudah biasa. Akibatnya tidak hanya itu, kita punya murid dengan berbagai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupan, yang di dalamnya tak pernah lepas dari hukum benar dan salah. Berawal dari siapa?
Selamat menempun jalan pedangmu, Guru. Bagaimana dengan jalan pedangmu?
Tambahan: Istilah ‘jalan pedang’ ini terinspirasi (meminjam) dari tulisan di dinding facebook temanku, Vic Praditama. Terimakasih, Kawan!