Menjadi Guru adalah Jalan Pedang
April 30, 2016 . by rudicahyo . in Pendidikan . 0 Comments
Apa yang terbayang ketika ada istilah ‘jalan pedang’? Ya, sebuah jalan yang penuh tantangan, mengandung tanggungjawab, dan sepertinya berhadapan dengan marah bahaya. Itulah yang terjadi ketika seseorang memilih jalan dengan menjadi seorang guru. Lho kok bisa?
Beberapa hari yang lalu, aku ditawari untuk menjadi pemateri dalam sebuah acara yang audiens-nya adalah para guru PAUD. Materi yang disuguhkan untuk aku ampu adalah bercerita atau storytelling. Ketika aku klarifikasi, yang dimaksud dengan bercerita itu seperti apa, aku dijelaskan bahwa aku harus mengajari para guru itu untuk mendongeng dengan menggunakan boneka jari dan boneka tangan.
Sejauh ini, aku tidak pernah punya rekam jejak sebagai pendongeng. Berurusan dengan dongeng? Sudah pasti sangat sering, namun bukan sebagai pendongeng. Aku memang suka menulis cerita anak, lebih-lebih yang ditujukan untuk edukasi. Paling tidak,Β dulu sering aku lalukan pada waktu aktif di Indonesia Bercerita. Aku lebih pas disebut sebagai storywriter, bukan storyteller. Itulah yang aku sampaikan kepada panitia. Jadi, meskipun panitia mengeluh soal budget, bukan karena alasan itu penolakannya.
Karena niat dari panitia ini adalah untuk berbagi (setidaknya orang yang menghubungiku mengatakan demikian), maka aku berusaha mencarikan pembicara alternatif. Maka ku berikanlah kontak seorang teman yang memang berkecimpung di dunia mendongeng. Kalau aku lihat sekarang ia memang jauh lebih sibuk untuk mengisi acara berkenaan dengan keahliannya tersebut, mulai dari mendongeng secara langsung, sampai mengajari orang untuk mendongeng. Pokoknya sangat laris manis.
Namun ketika ku tanya, apakah panitia kenal dengan orang tersebut? Ternyata panitia sudah menghubunginya. Kata panitia, beliau tidak cocok dengan harganya.
Aku langsung teringat dengan beberapa kali pertemuan dan obrolan dengan temanku ini. Sebenarnya, ia temanku dan mungkin sekaligus murid. Memang bukan murid secara formal, dan juga bukan murid dalam hal mendongeng. Suatu kali aku pernah mengatakan kepada dia, bahwa kita harus berani menetapkan harga. Pasalnya, bagian itu kadang sulit ketika kita ditanya soal ‘harga diri’ kita. Mungkin beberapa pelatihan yang ia ikuti juga membicarakan hal yang sama. Obrolan dengan temanku terjadi dulu, sangat dulu, dulu banget.
Pada saat yang sama, aku teringat obrolanku dengan seorang teman trainer (lebih tepatnya fasilitator). Aku berbicara banyak dengannya hingga kami sependapat soal amal. Kadang kita tak punya kesempatan untuk beramal. Bukan masalah keberadaan harta benda yang akan kita amalkan. Kesempatan yang datang kepada kita tak melulu menyediakan peluang untuk memberikan harta benda. Jangan salah, kadang kaya tidak selalu punya peluang beramal, bukan karena pelit, tapi orang-orang disekitarnya sudah kaya raya. Namun apakah keinginan untuk berbagi harus berhenti?
Kadang yang datang kepada kita adalah kesempatan beramal untuk memberi apa yang kita miliki. Apakah kita hanya memiliki harta benda? Tidak, ilmu dan keahlian yang kita miliki juga harta yang bisa kita amalkan. Dalam konteks obrolan bersama temanku, memang kadang kita tak punya harta benda sih, alias bokek hehehe. Nah, dalam keadaan seperti itu, kadang selalu datang kesempatan beramal. Dalam bentuk apa? Ya adanya permintaan untuk berbagi ilmu, namun dengan budget minimal atau bahkan tidak sama sekali.
Emang sih, tantangan yang tidak bisa dianggap ringan juga, dikala bokek malah ada permintaan gratisan hehe. Saat itulah ‘keimanan’ kita diuji. Kata orang, menjadi dermawan di kala kaya itu sudah biasa. ‘Iman’ seseorang dikatakan kuat ketika memberi di saat tak memiliki.
Memang, obrolanku dengan teman storyteller itu terjadi dulu, sangat dulu, dulu banget, ketika aku masih ‘sangat muda’. Sedangkan obrolanku dengan temanku yang fasilitator terjadi dalam beberapa bulan ini, ketika cara pandang terhadap kehidupan mungkin sudah mulai berubah.
Jadi begitulah jalan pedang seorang guru. Apa yang kita katakan akan diamalkan oleh murid-murid kita, sedangkan ketika cara pandang kita sudah berubah, mungkin kita disebut sebagai guru yang plin-plan. Disebut plin-plan adalah sisi-sisi manusiawai, dan itu sudah biasa. Akibatnya tidak hanya itu, kita punya murid dengan berbagai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupan, yang di dalamnya tak pernah lepas dari hukum benar dan salah. Berawal dari siapa?
Selamat menempun jalan pedangmu, Guru. Bagaimana dengan jalan pedangmu?
Tambahan: Istilah ‘jalan pedang’ ini terinspirasi (meminjam) dari tulisan di dinding facebook temanku, Vic Praditama. Terimakasih, Kawan!
Artikel tentang Pendidikan Lainnya:
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- Berhala Sistemik Dunia Pendidikan
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?
- Pay It Forward: Dengan Inspirasi, Guru Membuat Perubahan
- 5 Alasan Fundamental Kenapa Membudayakan Membaca pada Anak Sangat Penting?
- Seperti Apakah Perubahan Diri Kita setelah Belajar?
- Sebagai Guru, Sudahkah Kita Berdiri Di Atas Sepatu Siswa?
- Film Rekomendasi untuk Hari Guru
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Apakah Pendidikan Kita Sudah Kontekstual?
- Kenali Pengujimu, Persiapkan Ujian Skripsimu!
- Memilih Sekolah untuk Anak: Antara Kualitas, Gengsi, dan Kemampuan Keuangan
- Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa
- Profesi Guru, Antara Idealisme dan Industri Pendidikan
- Pemimpin itu Pendidik
- Cara Tepat Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak
- Perlukah Anak Melakukan Les Privat Selain Belajar di Sekolah?
- Makna Belajar, Mana yang Lebih Utama, Kualitas atau Jumlah?
- Kenapa Anak Kita Mogok Sekolah?
- Bolehkah Guru TK Mengajari Membaca?
- Pendidikan Karakter dan Kebahagiaan Murid
- Bukan Stratifikasi, tapi Diferensiasi Pendidikan
- Pro Kontra Penghapusan Status RSBI
- Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?
- Pendidikan Kita Menciptakan Jarak dengan Kehidupan?
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Tiga Cara Meningkatkan Motivasi dari Dalam Diri
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Pelajaran Berharga dari Film Soekarno
- Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan
- Apa Catatan yang Harus Diperhatikan Jika Guru Menghukum Murid?
- Kompetisi Ego Mengaburkan Keselarasan Orangtua dan Anak
- Ujian Nasional (Unas), Harga Mahal Sebuah Kejujuran
- Belajar Hafalan, Membentuk Generasi 'Foto Kopi'
- Mengembalikan Keseleo Pendidikan
- Ingin Belajar Efektif? Jangan Menggunakan Cara Kerja Foto Kopi!
- Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?
- Apakah Membacakan Buku Sejak Dalam Kandungan Akan Membuat Anak Gemar Membaca?
- Bagaimana Membangun Budaya Membaca pada Anak?
- Pengembangan Diri yang Paling Murni
- Bagaimana Memberikan Pendidikan Seks yang Sesuai untuk Anak?
- Pendidikan dan Sikap terhadap Tantangan Kerja
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Anak Anda Mogok Sekolah? Mari Kita Coba Mengatasinya!
- Tantangan dalam Membudayakan Membaca Pada Anak
- Pembubaran RSBI Wujud Kemerdekaan Pendidikan
- Pendidikan Indonesia di Nomor S(ep)atu
- Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi 'Lebih Unik'
- Bagaimana Prinsip Memilih PAUD untuk Anak?
- Matematika, Persoalan Epistemologi atau Etika?