Hasil Unas sudah diumumkan. Di satu sisi decak kagum berkumandang, di sisi yang lain rutukan dan kesenduan mengiringi hasil yang kurang diharapkan. Di balik cerita itu semua, kejujuran mendatangkan persoalan sebagai buntut dari hasil yang berupa nilai pelajaran.
Tumben, hari ini judul artikelnya tidak komersil. Mungkin berkebalikan dengan konstruk utama yang ada dalam judul tersebut, kejujuran sendiri sudah menjadi komersil. Tulisan inipun dibuat begitu pagi, dini hari. Tidak tahan rasanya kalau tidak menyuarakan sebuah kejadian yang seharusnya dihilangkan dari dunia pendidikan, yaitu ketidakjujuran. Menjadikan jujur sudah selayaknya menjadi tugas lembaga pendidikan, bukan sebaliknya. Harga mahal kejujuran dicabik-cabik lagi oleh Unas.
Berawal dari curhatan seorang teman guru sebuah SMA di pinggiran kota Sidoarjo. Pasca diumumkannya hasil ujian nasional, ada banyak hasil mengejutkan. Intinya, para siswa yang sebelumnya dikeluhkan oleh para guru sebagai anak-anak yang tidak bisa apa-apa, tak pernah memperhatikan gurunya di kelas, bahkan sebagian memabaca saja tidak lancar, justru banyak yang mendapatkan nilai sempurna. Nilai 10 atau 9 sudah seperti kacang goreng saja, hampir di semua mata pelajaran. Sebaliknya, murid-murid dari teman saya tersebut banyak yang mendapatkan hasil biasa saja, bahkan sebagian besar di bawah nilai biasa. Masalahnya, mereka adalah murid-murid yang mengikuti kampanye dari teman saya ini, mengerjakan ujian dengan jujur.
Menjadi persoalan, karena murid-murid yang merasa telah bekerja keras ini seperti tidak rela melihat teman-temannya yang sama sekali tak berusaha memetik hasil yang memuaskan dan bahkan menuai banyak pujian. Eh, sori ralat, mereka sebenarnya telah melakukan usaha, yaitu membeli kunci jawaban atau paling tidak berunding untuk berbagi jawaban. Sementara nada penyesalan dari para ‘pejuang kejujuran’ terus membajiri sms teman saya yang menjadi wali kelas mereka. Sepertinya kejujuran telah disesali.
Teman saya ini terang-terangan bilang begini, “Ah, orang-orang ini (para guru) bohong banget. Mana anak-anak yang dulu dikeluhkan, kalau dikelas bikin ulang, tak pernah memperhatikan, membaca saja sulit, tak punya harapan dan berbagai sumpah serapah lainnya. Buktinya nilai mereka sempurna”, begitu kata-kata sindiran ini diberikan oleh teman saya. Bukannya menanggapi, para guru yang dulu mengeluhkan para murid yang kata mereka biang masalah ini, malah memberikan pujian kepada mereka.
Seorang wakil ketua kurikulum yang mendengarkan sindiran dari teman saya, berkata, “Bu, sampean percaya Indonesia itu merdeka karena perjuangan atau karena kebetulan?”, begitu kata wakil ketua kurikulum yang sangat tahu berbagai kecurangan di sekolah tersebut.
Mendengarkan curhatan teman saya ini, tergelitik untuk menanggapi waka kurikulum ini. Seandainya aku adalah teman saya ini, aku pasti akan bilang, “Pak, Indonesia merdeka karena kebetulan atau perjuangan, itu sama-sama diraih dengan cara positif. Ok lah, jika perjuangan yang dianggap positif, setidaknya kebetulan itu adalah suatu yang netral. Keduanya tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas perjuangan atau usaha yang sifatnya negatif. Kecuali kalau itu dijadikan pembenaran oleh orang yang statusnya bukan pendidik”.
Ini tidak hanya sekali dua kali terjadi di sekolah teman saya ini. Bahkan mungkin juga tidak hanya terjadi di sekolah teman saya ini. Ini adalah borok yang ditinggalkan oleh Unas. Unas telah menginjak-injak harga mahal kejujuran. Mungkin Kamu masih punya borok-borok yang lain? Boleh di-share di sini, agar bisa dibagikan kepada publik, betapa kebijakan Unas sudah tidak relevan lagi buat pendidikan, terutama membangun karakter jujur bangsa.
5 responses to “Warisan Unas: Ketika Kejujuran Menyisakan Penyesalan”
Salam dukungan untuk guru yg temanmu itu rud, juga untuk mereka yg jujur. Susahnya menjelaskan ketika ternyata kejujuran tampak tidak berbuah manis.
Ok Men. Maturnuwun
jalan ke surga, memang berat, penuh rintangan dan terjal. Jalan ke neraka, dipenuhi bunga dan wewangian, mudah dijalani, tidak perlu bersusah-susah. Orang-orang yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak jujur, tidak mau bekerja keras, hanyalah orang-orang berjiwa kerdil. Takut bersaing sehat dan berjiwa pemalas. seumur hidup akan selalu mencari jalan yang mudah. Halal, haram, hantam (ini slogannya….).
Teruslah berjuang dalam kebenaran, jangan mudah berpaling ….
yang jadi pertanyaan,ketika mereka yang katanya “berjuang”,kenapa hanya mendapatkan nilai pas-pasan?apa mungkin guru mengubah nilai mereka?atau apa sebenarnya itu lah kemampuannya?
Dan saat mereka yang katanya selalu “dikeluhkan” guru selama ini,apa iya dalam pelajaran selalu bodoh,sehingga tidak jujur dalam unas dan mendapatkan nilai yang lebih baik,bahkan sempurna?
Kenyataannya,banyak anak yang merasa pintar dikelas,tidak terima ketika dikalahkan anak yang biasanya dikeluhkan guru.mereka inginnya seperti logika matematika,yang pintar dikelas,yang rajin,yang “menjilat” yg harusnya dapatkan nilai sempurna.
Yah,itu berlaku untuk ujian caturwulan jaman dulu kala,atau ujian yang diadakan gurunya sendiri yang nilainya memang dikhususkan pada anak-anak yang katanya “pintar”.saya sebut itu munafik.
Jika ada yang curang dalam unas,itu hal lain lagi.kenapa harus dihubungkan ke anak yang katanya “pintar”?kalau memang dia pintar,harusnya dia bisa dong menjawab pertanyaan dengan mudah dan mendapatkan nilai sempurna?kenapa harus syirik dan dengki pada anak yang curang,apa lagi kepada anak yang selalu dikeluhkan guru,yang ternyata memiliki otak yang lebih cerdas dari anak “pintar”?
just IMO 🙂
Itu semua disebabkan oleh kerjaan para guru yang kurang propesional yang sengaja menginjak harga dirinya dengan ketidak jujuran memberikan kunci jaewaban kepada para siswanya demi ketakutannya pada perintah atasan dan pimpinannua demi tercapainya kata baik dan asal bapak senang tampa memperhatikan ahlak dan akidah karena tuhan maha mengetahui