5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis


Bisnis membutuhkan perencanaan, tetapi rencana butuh untuk dilaksanakan. Pelaksanaan ini adalah bagian paling realistis dalam berbisnis. Namun ada faktor-faktor penghambat psikologis yang mungkin terjadi dalam memulai bisnis.

Blog ini tidak akan berbicara tentang bisnis, resep memulainya, tips mengembangkan bisnis dan sebagainya. Aku hanya akan membicarakan tentang sisi psikologisnya dalam memulai bisnis. Karena banyak binis yang tidak segera dimulai, bahkan batal dilaksanakan, karena faktor penghambat psikologis ini.

Berawal dari obrolan dengan seorang kolega yang ingin memulai sebuah bisnis. Temanku ini banyak berbicara tentang rencana bisnisnya. Paling tidak ada dua pola kerja yang ia bicarakan. Pola pertama berasal dari idenya, yaitu memasukkan proposal kepada lembaga, organisasi, atau instansi yang potensial memakai jasanya. Pola kedua muncul setelah mendapat stimulasi dariku, yaitu membuat pekerjaan sendiri, yaitu menciptakan produk dan memetakan pasar potensial.

Dengan stimulasi dariku soal menciptakan produk dan memetakan pasar potensial, temanku semakin bersemangat merencanakan bisnisnya. Hanya saja, setelah aku perhatikan obrolan-obrolannya, semua rencana itu berhenti ketika berbicara tentang eksekusi. Banyak alasan dan analisa hambatan yang ia lakukan ketika pembicaraan sudah sampai pelaksanaan.

Karena obrolan tentang eksekusi dan hambatan itulah, maka aku coba mencermati beberapa hal yang menjadi penghambat temanku dalam memulai binisnya. Faktor penghambat ini ternyata juga dialami oleh banyak orang yang serupa dengan temanku ini. Dan faktor-faktor tersebut berkenaan dengan penghambat psikologis.

1. Fresh graduate

Baru lulus adalah saatnya mencari kerja. Setidaknya itulah yang kita saksikan ketika musim mahasiswa tamat kuliah. Berbagai job fair diselenggarakan dimana-mana (biasanya di kampus-kampus) dengan ribuan peminat yang menghadirinya. Bukankah pemandangan ini justru menunjukkan bahwa setelah lulus kuliah ada semangat mencari kerja?

Kenyataan di luar diri tidak sama dengan yang terjadi di dalamnya. Coba perhatikan mereka yang menghadiri job fair. Mereka datang bergerombol dengan teman-teman kuliahnya sesama lulusan. Bahkan aku pernah hadir di sebuah job fair karena diundang oleh sebuah lembaga yang berkenaan dengan pengembangan karier mahasiswa. Aku bertemu dengan beberapa yang hadir, aku menanyai motif hadirnya mereka di situ. Rata-rata beralasan bahwa sudah semestinya seperti itu. Setelah selesai kuliah, ya harus cari kerja. Ini bukan motif yang potensial mengantarkan pada top performance. Sementara itu, ada juga beralasan karena kebetulan ada barengnya, ikut teman, sungkan kalau tidak bekerja, bahkan ada yang karena disuruh orangtua.

Sehubungan dengan spirit bekerja, aku teringat sebuah artikel dari majalan binis. Dalam riset menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, pilihan pekerjaannya semakin condong untuk menjadi karyawan. Sementara itu, para pemilik perusahaan adalah mereka yang berpendidikan rendah atau yang bekerja tidak sesuai dengan jujuran kuliah yang pernah ditempuhnya. Inilah yang membuat job fair ramai dikunjungi oleh fresh graduate. Sepertinya ada sebuah sistem yang membangun mental untuk menjadi pekerja. Hal ini tentu saja menjadi penghambat psikologis dalam memulai bisnis sendiri. Memang, ini tidak termasuk kampus yang memang luaran lulusannya didorong untuk berbisnis.

Sementara itu, di satu sisi ada riset yang menunjukkan bahwa fungsi tersembunyi (latent function) dari institusi pendidikan adalah menghambat kedewasaan. Kenyataannya, memang sangat berbeda antara yang bekerja dan yang sekolah. Yang sekolah atau kuliah mendapatkan kematangan kognisi, sementara yang sudah bekerja memiliki kematangan dalam menjalani realita. Baca juga artikel yang berhubungan dengan ini, “Apakah Pendidikan Kita Membangun Karakter?”. Nah, hal inilah yang membuat fresh graduate begitu banyak perhitungan dalam membuat perencanaan bisnis, tetapi merasa terhambat dalam melakukan eksekusi. Persoalan ini seharusnya juga menjadi bahan evaluasi bagi pendidikan kita.

2. Memiliki pekerjaan utama sebagai zona nyaman

Kebanyakan orang yang ingin memulai bisnis, tetapi sudah memiliki pekerjaan, akan menjalani bisnisnya alakadarnya. Namun mereka yang bisa total fokus dalam bisnisnya, biasanya di pekerjaan utama menjadi keteteran. Coba tengok saja para guru yang memiliki pekerjaan sampingan. Jika mereka sukses dalam bisnisnya, kebanyakan pekerjaannya dalam mendidik siswa menjadi sedikit terbengkalai.

Namun pembahasannya lebih dari sekedar urusan prioritas. Karena jika berbicara tentang prioritas, banyak juga para pekerja yang sukses di pekerjaannya, tetapi juga bisa membangun bisnisnya di rumah. Bukan soal itu. Kita akan bahas sisi penghambat psikologisnya.

Orang yang memiliki sandaran penghasilan dari sebuah pekerjaan, maka pekerjaan lain yang tidak dimulai dengan strategi dan niatan yang kuat, akan cenderung menjadi sampingan. Penghasilan dari pekerjaan utama membuat kurang total dalam memulai bisnisnya. Toh kalau bisnisnya tidak berjalan mulus, ada sumber penghasilan utama yang dapat diandalkan. Karena itulah banyak yang baru memulai bisnisnya ketika sudah senior atau bahkan telah pensiun. Ada ketergantungan kepada kenikmatan atau kenyamanan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.

3. Pekerjaan baru sebagai zona tidak nyaman

Sudah menjadi kodratnya, orang mencari kenikmatan dan menghindari ketidaknyamanan (pleasure principle). Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, memulai sesuatu yang baru (apalagi berbisnis), berarti orang memasuki zona tidak nyaman. Karena itulah alasan datang bertubi-tubi, analisa hambatan datang silih berganti. Ini adalah mekanisme alamiah diri untuk menghindari ketidaknyamanan.

4. Kecemasan antisipatif

Ketika kita masih SD, mungkin kita berpikir bahwa SMP itu sepertinya sulit. Begitu juga ketika kita SMP, kita berpikir bahwa SMA itu susah. Demikian seterusnya. Hal ini ada hubungannya dengan ketidaknyamanan di zona baru. Bedanya, faktor penghambat psikologis yang ini sudah hadir sebelum bisnis dieksekusi. Artinya, ketidaknyamanan atas zona baru itu dibayangkan lebih dulu sebagai kecemasan antisipatif. Untuk artikel tentang kecemasan antisipatif, bisa dibaca di sini.

5. Banyak berpikir, minim bertindak

Faktor penghambat psikologis yang satu ini, ada kaitannya dengan dua faktor sebelumnya. Banyak berpikir adalah cara untuk menghambat bertindak, karena bertindak berarti menjalani persoalan real yang tentu saja menimbulkan dugaan ketidaknyamanan (baca juga tentang kecemasan antisipatif). Jika kita menggunakan contoh pemikiran anak SD atau SMP seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dugaan bahwa jenjang pendidikan berikutnya lebih susah, karena hal itu sedang dipikirkan. Coba ingat kembali ketika kita menjalani masa SD, SMP, SMA, atau kuliah, apakah sesulit yang kita pikirkan? Semua berjalan begitu saja kan? Dan Kamu lulus?

Sadari faktor penghambat psikologis dalam memulai bisnis (foto: cosmopolitan.co.id)

Demikian pembahasan tentang 5 faktor penghambat psikologis dalam memulai bisnis. Semoga bermanfaat.

Jika ada yang perlu didiskusikan, silahkan tulis di bagian komentar atau mention aku, @rudicahyo.


2 responses to “5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *