Ada banyak cara agar lepas dari kondisi stag dan melejitkan diri. Berdasarkan pengalaman yang terjadi, aku memaknainya hingga menjadi model atau desain pengembangan diri. Bagaimana jurus lepas dari stagnasi? Simak!
Jika belakangan ini Kamu merasa stag. Apakah lantas benar-benar tidak ada aktivias? Atau mandeg dan nyaris bunuh diri atau sekarat dengan sendirinya? Jangan-jangan sekarang sedang mengalami stag?
Sebenarnya, kondisinya tidak seekstrim itu. Berhenti yang dimaksud adalah justru tetap dalam aktivitas. Artinya, kita tetap melakukan aktivitas tapi semua mengalir begitu saja. Semua jadi seperti rutinitas, meski sebenarnya tidak juga. Lho kok bisa?
Yang terjadi tidak seratus persen rutinitas. Aktivitas yang dilakukan masih tergolong variatif. Mungkin agak kuwalat dengan tulisan sendiri ya. Di tulianku, Variasi Dapat Menjaga Kreativitas, aku ngomong tentang aktivitas yang tergolong kreatif, jika dilakukan terus menerus secara tetap dan rutin, maka akan jadi turun nilai kreatifnya.
Mandeg ini sebenarnya adalah persoalan yang bisa lebih runyam daripada jatuh. Maksudnya, jika kita sedang jatuh, maka itu posisi yang lebih jelas, karena kondisi jatuh, itu perubahan dari posisi tertentu menuju kepada keadaan jatuh. Nah loh, bingung. Untuk bangkit lagi, jatuh itu lebih punya jalan, karena setiap pengalaman bisa ditelusuri lagi sebagai pelajaran.
Bagaimana dengan stag? Berhenti itu biasanya posisinya melayang. Karena ngambang, maka tidak ada pijakan di bawahnya, dan tidak ada arah di atasnya. Aku yakin, sebagian besar orang yang mengalami stagnasi, karena kehilagan dua hal itu. Kakinya tidak berpijak, kepalanya tidak menyentuh langit-langit. Merasa tidak punya kekuatan (bahkan mungkin kelemahan), juga tidak punya tujuan atau cita-cita. Gawat bukan?
Karena posisi yang tidak jelas itulah, maka kondisi stag lebih sulit untuk berubah. Pelajaran dari kondisi tak menentu ini juga sulit diambil. Sementara itu, mau melangkah kemana juga kebingungan. Karenanya, jangan sampai terjebak dalam kondisi ini.
Berdasarkan refleksi dari setiap usaha yang pernah aku jalani, dan kemudian menjadi pengalaman bermakna yang bisa dipelajari, ada beberapa titik yang bisa diperhatikan.
Doa bisa menjadi pijakan dari setiap aktivitas. Ketika aku minum kopi, mau tidur, berangkat kerja dengan gas pertama, secara spontan kuawali dengan satu kalimat doa sederhana. Apapun bunyinya, jika kita yakin itu sebagai sebuah doa, maka ada perasaan yakin juga ketika menjalani aktivitas yang mengikutinya.
Ibarat terjebur ke air yang dalam, ketika berdoa, kaki langsung mendapatkan tumpuan. Kalau dianalogikan dengan kejebur tadi, kaki mungkin menemukan karang, kayu atau mungkin air seperti mengeras dan tubuh menjadi lebih ringan.
Melihat diri, kurangi memandang orang lain. Apapun alasannya, kondisi stag lebih baik tidak memandang apa yang dimiliki orang lain. Ada yang bilang, tergantung cara pandangnya, jika kita melihat yang dimiliki orang lain sebagai motivasi, maka tidak menjadi masalah. Aku sarankan, dalam kondisi seperti ini jangan melihat siapapun. Lihatlah diri sendiri.
Kondisi stag, jika melihat orang lain, apa yang dimilikinya, maka sulit menjadi motivasi jika kaki tidak ada pijakannya. Khawatirnya, itu hanya menjadi ‘ingin’, tapi bingung mau melakukan apa. Hal ini karena belum jelas, kekuatan apa yang dapat dikelola untuk mewujudkannya. Kecuali jika tidak dalam kondisi seperti ini. Karena itu, lihatlah diri, bukan orang lain.
Temukan kekuatan dengan memandang hanya kepada diri. Sebelumnya sudah dibahas tentang melihat diri sendiri, bukan orang lain. Nah, hasil melihat diri sendiri adalah mengumpulkan kekuatan yang dimiliki. Ketika melihat kedalam diri sendiri, saat itulah kita coba mengidentifikasi kelebihan, potensi, keunikan yang kita miliki. Boleh juga dipertajam dengan mencari perbedaannya dengan orang lain, yang orang lain tidak miliki. Kok sekarang melihat orang lain? Ketika sudah menemukan kekuatan atau keunikan sendiri, kondisinya beda, sudah lebih kuat dan mulai menemukan pijakan.
Fokus pada kekuatan diri dengan penghayatan. Kekuatan diri itu bisa jadi cuma retorika yang ada di luar sana, belum benar-benar diakui sebagai milik diri. Karena itu butuh pengristalan, butuh dikuatkan dalam diri. Bagaimana caranya? Baca “3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri“.
Selanjutnya, lakukan apapun yang dianggap sebagai bagian dari desain hidup. Jadi, setiap apa yang kita lakukan, selalu hubungkan dengan penguatan potensi dan pencapaian tujuan. Dengan atau tanpa rencana, jika kita terbisa menghubungkan semua tindakan dengan kekuatan dan pencapaian tujuan, maka itu menjadi bagian desain kehidupan kita. Ini juga bisa dianggap bentuk kapitalisasi tindakan.
Demikian kira-kira hasil pemaknaan pengalamanku yang ternyata aku maknai hingga menjadi model pengembangan diri.
Bagaimana pendapatmu? Mungkin setiap orang punya cara yang khas, bagaimana strategimu?
________________________________
Tulisan juga diposting di alterblog-ku, mosaic-learning.blogspot.com