Air Mata sebagai Emotional Release
October 2, 2014 . by rudicahyo . in Psikologi Populer . 0 Comments
Berbicara tentang air mata, pasti identik dengan tangisan atau menangis. Ada juga yang menghubungkan dengan kesedihan, meskipun banyak juga orang yang menangis ketika mendapat kebahagiaan. Ternyata, air mata berguna untuk melepaskan tekanan atau ketegangan emosional atau disebut juga emotional release.
Pernah menangis? Pastilah. Bahkan yang berusaha mengingkarinya, pasti tidak lepas dari ingatannya ketika masa kecil. Artinya, kita tidak bisa lolos dari jawaban ‘ya’ atas pertanyaan tersebut. Masih ingat, bagaimana perasaan kita saat itu?
Setiap orang pasti pernah menangis, kecuali jika ada kasus khusus yang berhubungan dengan persoalan ketumpulan emosi. Jika kita diminta mengingat saat-saat kita menangis, dan diberi pertanyaan, “Bagaimana perasaanmu saat menangis?”, pasti kita mengingat kenangan-kenangan menyedihkan. Karena umumnya, orang menangis dalam keadaan sedih. Jadi, pertanyaan “Apakah pernah menangis?” seperti pertanyaan retoris. Sedangkan pertanyaan yang lebih menarik adalah “Pernahkan Kamu menangis saat merasa bahagia?”
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menangis identik dengan kesedihan. Dengan demikian, mungkin banyak orang berpikiran bahwa menangis itu menyedihkan. Ketika ingat sebuah peristiwa saat kita menangis, kesedihan turut langsung di benak kita. Bahkan mengangis itu sendiri dapat menciptakan kesedihan. Coba lihat saja orang yang sedang menangis. Ini memang karena kebanyakan orang menangis karena sedih, sehingga akan menularkan kesedihan saat kita melihatnya.
Sebenarnya menangis tidak selalu identik dengan kesedihan. Orang juga bisa menangis saat bahagia. Karena itulah, judul tulisan ini tidak menggunakan kata ‘menangis’, tetapi lebih memilih ‘air mata’, agar tidak terlalu kuat terhubung dengan kesedihan. Selain itu, tulisan ini tidak sedang membahas manfaat menangis seperti yang sudah banyak ditulis di berbagai artikel yang juga dilengkapi dengan berbagai penelitian. Tulisan ini akan menekankan pada sisi psikologis, bagaimana air mata berhubungan dengan emotional release.
Sebenarnya paradox senang dan sedih itu ada pada perasaan terharu. Coba ingat lagi sebuah film, dan ingatlah sebuah bagian, adegan, atau scene yang tidak bercerita tentang kebahagiaan atau kesedihan, tetapi lebih kepada perasaan haru. Jika kita merasaan haru tersebut secara kuat, maka kita terbawa pada atmosfir emotional yang mengondisikan mata kita mengeluarkan air mata.
Keluarnya air mata ini adalah mekanisme alamiah saat emosi merasakan sesuatu sampai ambang batasnya. Kesedihan yang berlebihan atau senang yang berlebihan, sama-sama dapat memompa air mata. Air mata ini sebenarnya juga manifestasi dari kerja emosi. Bentuk fisiologisnya adalah bekerjanya amygdala untuk mengirimkan impuls ke efektor kelenjar air mata. Ini adalah mekanisme alami untuk mengembalikan kondisi emosi dalam keadaan seimbang. Itulah yang membuat air mata berfungsi sebagai emotional release.
Bagaimana perasaan saat melepaskan air mata? Mungkin sebagian besar orang bilang lega. Tapi kalau kita mau jujur, perasaan yang sesungguhnya hadir adalah bahagia. Â Lho kok bisa, padahal kan air mata juga bentuk kompensasi dari rasa bahagia yang berlebihan (disamping sedih yang berlebihan)?
Pertanyaan ini melahirkan jawaban pada area spiritualitasnya. Ini menunjukkan bahwa kita memang diciptakan dalam kondisi yang luhur, keadaan terbaik. Kita dari sononya adalah manusia yang bahagia. Kondisi alamiah kita adalah equilibrium atau seimbang. Pada kondisi seimbang, kita merasa bahagia. Jika dihubungkan dengan air mata, memaksakan menangis tidak akan menciptakan kebahagiaan. Begitu juga dengan tangisan penuh amarah dan dendam, meskipun karakteristik dasar air matatetap bisa menjadi emotional release. Artinya, air mata amarah tetap bisa meredakan emosinya, tapi tak mendatangkan kedamaian. Kita bisa bilang lega, tapi kita tidak sedang bahagia.
Begitulah air mata berperan sebagai emotional release. Artikel ini tidak sedang mengajari kita cengeng. Tapi kita tetap butuh mengeluarkan air mata secara alamiah. Untuk menyeimbangkan diri kita kembali, biarkan sebuah perasaan hadir dan tak perlu dicegah jika hal itu merangsang keluarnya air mata. Dengan keseimbangan, kita menjadi tetap sehat dan bisa menyembuhkan diri sendiri secara alamiah (autopoietic).
Mau berbagi pengalaman menangismu?
Artikel tentang Psikologi Populer Lainnya:
- Hilangnya 3 Hal yang Menjauhkan Diri dari Kebahagiaan
- Cara Mengatasi Godaan Ikhlas
- 5 Faktor Penghambat Psikologis dalam Memulai Bisnis
- Work-Life Balance Apakah Sebuah Fatamorgana?
- Personal Well Being, Apa dan Bagaimana?
- Tabula Rasa, Apakah Anak-Anak Sehelai Kertas Putih?
- Faktor Penguat Tingkat Kepercayaan Orang kepada Kita
- Memahami AKU sebagai Pondasi Menjalani Hidup
- Mengelola Dampak Adiksi Gadget pada Anak
- Paradigma Berpikir Bisa Menjadi Candu
- Zone of Proximal Development dan Scaffolding pada Teori Belajar Vygotsky
- Tiga Pola Strategi Mewujudkan Disiplin Positif pada Anak
- Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
- Memetakan Sumber Penghasilan dengan Inventarisasi Kekuatan
- Psikologi Humanistik: Dengan Teknologi, Belajar Dimanapun Bisa Dibagi
- Bagaimana Seseorang Dapat Larut dalam Pekerjaan?
- Selective Mutism, Jangan-jangan Anak Kita...
- Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
- Pekerjaan atau Anak?
- Bagaimana Pola Ketergantungan Terbentuk?
- Makna Resolusi Bersifat Tipikal bagi Setiap Orang
- Pola Perilaku Baru dalam Belajar Sebagai Dampak Teknologi Informasi
- Teori Motivasi dari Abraham Maslow
- Efek Akun Pencitraan Buat Pemiliknya
- Apakah Sigmund Freud Sex Oriented?
- Jika Sudah Punya Mimpi, Terus Diapakan?
- Senang dan Sedih juga Dipelajari
- Berkubang dengan Masalah atau Membudayakan Solusi?
- Pola Adaptasi dan Pembentukan Mental Kita
- Menguasai Emosi Orang Lain melalui Disonansi Kognitif
- Apa Sumber Makna dalam Hidup Kita, Isi atau Bungkus?
- Ikigami (Death Notice), The Ultimate Limit, Eksistensi Diri Menjelang Kematian
- Bagaimana Memelihara Imajinasi Anak Tetap Menyala?
- Menumbuhkan Imunitas dengan Optimis dan Antusiasme
- Selalu Ada Jalan untuk Segala Keruwetan Hidup Asalkan Lakukan Hal Ini
- Kinerja Optimal dengan Menyiasati Aspek Kecepatan dan Ketelitian Kerja
- Simplifikasi: Persiapan Menjadi Tester Handal untuk Psikotes
- Bagaimana Film Amazing Spiderman di Mata Psikologi?
- Puasa Mengajari Kita Menunda Kenikmatan Sesaat
- Kronologi Proses Keluhan Mengebiri Solusi
- Mencegah Kecemasan Akibat Over Antisipasi
- Sayangnya, Kehidupan Nyata Itu....
- Ingin Membunuh Kreativitas Anak? Lakukan 5 Hal Berikut Ini!
- Apakah Kita Benar-Benar Memiliki 'Me Time'?
- Proses Pembentukan Pribadi Pengeluh
- Mekanisme Pertahanan Ego dalam Psikoanalisa Freud
- Membongkar Kompleksitas Ikhlas dari Kehidupan Sehari-hari
- Teori Belajar Behavioristik Edward Lee Thorndike
- Punya Banyak Waktu Luang? Hati-Hati dengan Bahaya Menganggur
- Level Kerumitan Persoalan Psikologis
- Bagaimana Mengelola Orang yang Bermasalah dengan Kita?
- Sekilas Cerita tentang Oedipus Complex
- Apa Dampak Berasumsi Negatif bagi Kesehatan Jiwa Kita?
- Karakteristik Anak Berdasarkan Kesukaannya Membaca atau Mengoperasikan Angka
- Abnormalitas adalah Normalitas yang Diingkari
- 5 Langkah Detoksifikasi Kecanduan Pornografi
- Pengalaman Kecil yang Menguatkan Hubungan dengan Pasangan
- Belajar Prinsip Hidup dari Film The Fan
- Video Mesum BEREDAR Lagi, Inikah Sifat Alamiah RAHASIA?
- Kekerasan Seksual pada Anak di Mata Psikologi
- Teori Perkembangan Moral Kohlberg
- Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmund Freud
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
- Bentuk Tulisan untuk Meredakan Kegalauan
- Kamu Menyebutnya Kesadaran
- 8 Dampak Ketagihan Gadget pada Anak
- Belajar Pembentukan Perilaku dengan Observational Learning Bandura
- Ketika Suami Bilang, "Lebih Cantik Istriku", Percaya?
- 7 Efek Tertawa dari Hati
- Cara Mengatasi Tekanan Fight Flight atau Flow Mana yang Efektif?
- Dampak Individual dan Sosial dari Perfeksionisme
- Terapi Psikologi: Menyembuhkan Gejala atau Penyebabnya?
- Kompleksitas Kehidupan Berawal dari Logika Geometri
- Apa Perbedaan Berpikir Analitis dan Berpikir Kreatif?
- KKN di Desa Penari, Antara Fakta dan Fiksi
- Harmonisasi Pola Alamiah Diri dengan Pekerjaan
- Hidayah Tak Datang dengan Mudah
- The Philoshophers (After The Dark), Sebuah Pertarungan 'Kepala' dan 'Hati'
- Daily Parenting, Rugi Jika Tak Memiliki Buku Ini
- Hati-Hati, Persepsi Negatif Bisa Menguasaimu!
- Pentingnya Memahami Term dan Definisi dalam Membuat Laporan Psikologi
- Ingin Merasa Bahagia dengan Aktivitas Kita? Hilangkan Variabel Waktu!
- 3 Cara Memfokuskan Kekuatan Diri
- 5 Prinsip Pengelolaan Waktu Istirahat untuk Menghasilkan Tindakan Efektif
- Hiper Realitas Media Sosial, Bagaimana Nasib Generasi Muda?
- 6 Prinsip Penyelarasan Tugas untuk Menjaga Motivasi di Masa Transisi
- Sudut Pandang Psikologi: Pembentukan Karakter di Film Joker
- Menjadi Bahagia dengan Membunuh Waktu. Bagaimana Caranya?
- 5 Kondisi Lingkungan Kerja yang Berdampak pada Pemberdayaan Diri
- Dua Golongan Orang yang Mampu Menaklukkan Kehidupan
- Bagaimana Melakukan Eksekusi Ide yang Jumlahnya Banyak?
- Political Framing: Ketika Kalimat "Apa susahnya membawa anak Palestina ke sini?" Menjadi Populer
- Fokus kepada Kebahagiaan, Kunci Keberhasilan
- Optimalisasi Internet Mengubah Struktur Ruang dan Waktu
- Manfaat Berlibur untuk Kesehatan Psikologis
- Kenapa Anak Lebih Suka Membaca atau Mengoperasikan Angka?
- 6 Pelajaran Kompleksitas Emosi dari Film Inside Out
- Memaksakan Cara Berpikir Orangtua dapat Melemahkan Imajinasi Anak
- Motif Mempengaruhi Loyalitas
- Bagaimana Hierarchy of Needs Abraham Maslow Melihat Motif Berpuasa Kita?