Kreativitas. Setiap orang dibekali denga kreativitas. Hanya saja, kreativitas yang dimiliki kadang terabaikan, sehingga kualitas belajar dapat menurun. Kreativitas juga dapat berkurang, karena informasi tak banyak dikelola, tapi lebih sering digunakan secara mentah. Bagaimana transformasi cara berpikir menuju kreativitas?
Dalam minggu belakangan ini, aku diminta untuk memfasilitasi training yang banyak berhubungan dengan kerja kognitif. Setelah memfasilitasi pelatihan “Belajar dengan Bernalar” di sebuah SMA negeri di Kediri, 3 hari berikutnya diundang untuk melatih para instruktur senior di kampus, agar bisa berpikir dan mengajar secara kreatif. Nah, dari dua undangan tersebut, ada sedikit ilmu yang bisa dibagi nih. Kali ini aku akan menulis tentang transformasi cara berpikir (yang juga dapat mempengaruhi cara belajar).
Sebelumnya, akan sedikit aku bahas tentang anteseden yang membuat aku diundang untuk menraining bernalar dan mengembangkan kreativitas. SMA yang aku latih mengeluhkan muridnya tidak bisa bernalar. Cara belajar mereka hanya hafalan untuk keperluan ujian. Akibatnya, pasca ujian, semua yang telah dipelajari musnah dan digantikan oleh angka-angka (baca: nilai). Sementara itu, institusi yang satunya mengeluhkan bahwa cara mengajar mereka membosankan dan garing. Karena itu, mereka butuh menjadi kreatif. Padahal, mereka harus mengajari para dosen muda agar dapat memandu kelas dengan menarik.
Dalam materi yang aku bawakan, ada bagian yang membahas tentang pola berpikir yang sifatnya transformatif. Aku membangi menjadi 3 cara berpikir, mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dan boleh dibilang berbobot. Simak penjelasan ketiga cara berpikir tersebut.
1. Korespondensi
Cara berpikir korespondensi adalah cara berpikir dengan memasangkan satu hal (entitas) dengan satu istilah atau nama. Begitu juga dalam hal pemrosesan, objek yang dipelajari diproses secara tunggal. Termasuk dalam hal penyimpanan informasi, apa yang dipelajari diberi tanda (indexing) untuk disimpan. Penggunaan simpanan ini juga bersifat tunggal atau sangat spesifik. Dengan korensponsi, seseorang belajar satu hal, misalnya mengenali objek yang bernama sendok. Maka benda tersebut akan dikaitkan dengan bentuk (bisa ditambah fungsi) sendok. Informasi tentang sendok ini akan disimpan. Jika suatu saat ada yang menanyakan, “Ini apa?” sambil menunjukkan sendok, maka ia akan bisa menjawab bahwa benda tersebut adalah sendok. Begitu juga ketika ada yang menyebut ‘sendok’, maka ia akan langsung memanggil ingatan tentang sendok (hanya sendok).
Sayangnya, banyak yang melakukan pola berpikir seperti ini secara dangkal. Artinya, tujuan belajar haya sebatas untuk ingat-mengingat (remembering). Lebih parah lagi, jika orientasi dari belajarnya sangat instan, misalnya hanya untuk mengerjakan ujian atau mendapatkan nilai bagus. Maka proses korespondensi juga akan terjadi secara instan. Setelah ujian selesai (nilai sudah didapatkan), kemudian informasi yang telah dipelajari menghilang.
2. Ekspansi
Agar informasi menjadi lebih bermakna, lebih dari sekedar diingat, maka cara berpikirnya perlu diubah menjadi lebih luas. Perlu dilakukan ekspansi, sehingga antar informasi bisa dikaitkan. Untuk itu diperlukan dua bahan baku, yaitu informasi dan pengait. Selain dapat membuat informasi menjadi lebih bermakna, keterkaitan antar informasi juga dapat digunakan untuk membangun pengetahuan.
Ada tiga cara sederhana untuk melakukan ekspansi, yaitu dengan membuat deskripsi, menemukan pola, dan memberikan judul atau menyimpulkan. Ketiga cara melakukan ekspansi ini akan kita bahas dalam tulisan yang berbeda.
3. Imajinasi
Imajinasi sebenarnya adalah bentuk perluasan informasi. Artinya, imajinasi juga merupakan cara mengekspansi. Bedanya, perluasan informasi dilakukan dengan orientasi penciptaan. Ada dua cara menggunakan imajinasi untuk memperluas informasi, yaitu membuat kaitan yang unik (menghubungkan yang tak terhubung) dan memunculkan yang tidak ada. Mengaitkan berbagai hal yang tak berhubunga adalah bentuk dari cara berpikir dengan imajinasi. Jika hal-hal yang tak berhubungan dikaitkan, maka akan terjadi upaya konstruksi unik. Hasilnya, kita dapat menghasilkan produk baru. Dalam pembentukan kaitan yang unik, diperlukan lem perekat yang mempu menghubungkan hal yang tidak berhubungan. Ini sebuah tantangan, terutama jika kita tidak terbiasa melakukannya. Temanku saat kuliah dulu, melatihnya dengan membuat tulisan menggunakan judul-judul yang unik, misalnya “Cinta dan Sendal Jepit”. Itu tulisan temanku yang banyak disukai waktu itu.
Cara berikutnya adalah dengan memunculkan yang tidak atau belum ada. Cara ini sebenarnya lebih sulit. Tapi ini bisa dipermudah dengan melihat apa yang sudah pernah ada, kemudian memunculkan satu ide informasi yang belum pernah ada. Sebenarnya yang sulit memang memunculkan yang benar-benar belum ada. Contohnya saja, dalam pelatihan yang aku pandu tersebut, aku memperlihatkan gambar dapur dengan berbagai peralatan yang ada di dalamnya. Kemudian aku bertanya, apa yang tidak Anda lihat di gambar tersebut. Rata-rata mereka menjawab peralatan-peralatan dapur lain yang tidak ada di gambar. Hal ini wajar, karena peserta langsung membuat batasan skup dalam pikirannya, yaitu skup dapur. Karena itulah, mereka hanya menyebutkan peralatan yang ada di daput. Padahal, dengan pertanyaan, “Apa yang tidak Anda lihat di gambar tersebut?”, peserta bisa menjawab kereta api, wanita cantik, sepatu roda dan sebagainya.
Demikian cara berpikir yang bersifat transformatif, mulai dari yang sederhana sampai yang menciptakan makna luar biasa. Untuk mengakhiri tulisan ini, ada sebuah pesan, “Kita diciptakan dengan kapasitas yang luar biasa, termasuk kemampuan pikiran kita. Kenapa kita tidak memperlakukannya secara luar biasa?”.
Kalau Kamu, cara berpikir mana yang biasanya dilakukan?