Niat seperti nyawa sari perkataan dan tindakan kita. Bahkan orang dikatakan berkarakter karena adanya keyakinan yang tinggi terhadap niatnya. Niat baik memang menyumbang besar bagi nilai perkataan dan perbuatan.
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bercerita bahwa ia didatangi oleh kawan lamanya yang kuliah di luar negeri. Mereka tidak ketemu dalam waktu yang cukup lama, sekitar 5 tahun. Sebelum terakhir ketemu, mereka berdua juga 2 tahun lamanya tidak ketemu. Nah, di pertemuan terakhir itu, sebelum sang kawan pergi ke luar negeri, mereka ngobrol. Temanku ini agak canggung, karena ada banyak hal serius yang disampaikan oleh sang kawan. Sementara temanku masih menganggap kawannya ini seperti dulu, seorang teman yang suka bercanda dan diajak ngobrol ngalor-ngidul sambil tertawa lepas. Kali itu sangat berbeda.
Nah, setelah 5 tahun berlalu, ketemulah temanku ini dengan sang kawan. Dia masih terbayang dengan obrolan terakhir, betapa seriusnya sang kawan, betapa banyaknya hal yang berat telah ia sampaikan. Ketika bertemu dengan sang kawan, ia bersama dengan teman-teman kerjanya yang lain. Ketika ngobrol bersama, sang kawan lebih banyak ngobrol dengan sahabat yang lain. Mereka juga sedang asik membahas hal yang berat nan serius. Semakin ragulah temanku ini untuk mengajak ngobrol sang kawan.
Sampai suatu ketika, mereka hanya bertemu berdua. Tidak lama, hanya sekitar 10 menit. Untuk sepasang sahabat yang lama tidak bertemu, 10 menit sepertinya sangat singkat. Namun, itu sudah cukup buat temanku, karena memang agak sulit ngobrol seperti dulu lagi.
Temanku menjabat dengan bimbang tangan sang kawan. Dalam hatinya ingin memeluknya, karena rasa kangen dan sebentar lagi sang kawan mau berangkat ke luar negeri lagi untuk melanjutkan studinya. Tapi temanku sadar, bahwa keinginan itu berasal dari hati. Maka ia menarik tubuh sang kawan, dan memeluknya erat. Temanku bilang, “Pertemuan kita cuma sebentar. Mungkin tidak lebih dari 10 menit ini. Aku masih merindukanmu”. Sang kawan balas memeluk dengan erat. “Mari duduk di sana!”, kata sang kawan.
Mereka berdua ngobrol dengan tetap diawali rasa canggung. Sampi meluncurlah berbagai pertanyaan dari mulut temanku, “Bagaimana selama ini kuliahmu di sana?”, “Teman-temanmu di sana gimana?”, “Kalau urusan tempat tinggal?”, “Bagaimana dengan makannya, bisa menyesuaikan ya?”. Itulah berbagai pertanyaan yang dilontarkan temanku. Ia tidak yakin, sang kawan akan merasa nyaman dengan obrolan seperti itu. Karena selama ini, sahabat-sahabat yang lain tidak pernah terdengar menanyakan itu.
Ternyata, sang kawan menjawab setiap pertanyaan dengan panjang lebar, dan dengan wajah yang berseri-seri tentunya. Ia begitu bergairah menceritakan kehidupannya di luar negeri. Mereka berdua bisa ngobrol dan tertawa lepas. Sesekali terlihat mereka juga saling toyor.
“Sudah waktunya aku pergi”, kata sang kawan. Mereka berdua berpelukan. Sang kawan berbisik, “Tidak pernah ada yang menanyakan hal-hal seperti itu lagi kepadaku. Kamu yang pertama menanyakan dalam 5 tahun ini. Aku merindukan itu. Tiba-tiba aku merasa hidup yang sesungguhnya. Terimakasih, Teman”.
Sang kawan melepas pelukannya, bergegas pergi untuk memasuki pintu bandara. Terakhir kali di balik kaca dia melambai kepada temanku, dan segera melakukan check-in. Untuk kali terakhir sang kawan sempatkan menoleh. Temanku melambaikan tangan. Setelah itu hanya tampak punggung yang segera berlalu menaiki tangga, menghilang ditelan kesibukan Bandara Juanda Surabaya.
Temanku ini menceritakan kisah ini seminggu yang lalu. Temanku dan sang kawan, keduanya adalah sahabatku. Semoga cerita temanku ini bermanfaat.
One response to “Niat Baik Meningkatkan Nilai Perkataan dan Perbuatan”
[…] kita peroleh. Jika diniatkan untuk mendapat pujian, maka pujianlah yang kita tuai (baca tulisan “Niat Baik Menignkatkan Nilai Perkataan dan Perbuatan“. Sedangkan konsekuensi yang berupa pahal dan dosa adalah nilai kebaikan abstrak yang akan dituai […]