Psychology | Learning | Parenting | Writing | Education

 

Manusia Dikendalikan Sistem Ciptaannya?

December 9, 2013 . by . in Inspirasi (Insert) . 0 Comments

Manusia adalah mahluk yang berkreasi. Untuk memudahkan kehidupannya, manusia menciptakan sistem atau struktur. Karena terus-menerus dimudahkan oleh sistem atau struktur tersebut, maka manusia menyandarkan kepadanya. Selanjutnya, benarkah manusia dikendalikan sistem atau struktur ciptaannya?

Musim hujan, adalah saat orang ingin cepat sampai rumah ketika pulang kerja. Musim hujan juga waktu keluarga menikmati hangatnya bercengkerama. Karena itulah, saat hujan juga saat yang merekatkan keluarga. Begitu juga dengan keluarga Pak Anton.

Biasanya, kalau hujan begini, Pak Anton bersama keluarga melengkapi amunisi agar kebutuhan yang harus dipenuhi selama hujan, tersedia di rumah. Sayangnya, sore itu sedang tidak menyiapkannya. Saat anak terkecil lapar, maka Pak Anton terpikir untuk membeli makanan. Tapi di luar hujan masih deras.

Beberapa saat Pak Anton melihat perkembangan, apakah hujan akan mereda atau si kecil sudah tidak merengek mengeluhkan perutnya yang dari tadi bergemuruh mengharap makanan. Hujan tidak mereda, begitu juga dengan rasa lapar si bungsu. Malah, Pak Anton dan istrinya tertular lapar.

“Kenapa tidak telpon delivery service aja?!”, usul istri Pak Anton. “Oh iya!”, sambut Pak Anton seraya menyambar hp di meja kerjanya. Sesaat menunggu, tersambung.

Ada suara customer service di seberang. Dia mencatat dan membacakan ulang pesanan Pak Anton. Dia menjanjikan paling lambat 30 menit akan sampai rumah. Jika tidak, Pak Anton bisa complaint dan akan mendapatkan ganti rugi. Begitulah aturannya. Pak Anton puas dengan janji si customer service.

Seorang pengantar pesanan melaju kencang dengan motornya. Tidak kalah kencang adalah hujan beserta angin serta guntur yang menyambar dan menggelegar. Jarak pandang begitu pendek, hanya 1 meter. Itu pun masih disertai sambaran air yang membuat mata pedih dan kulit muka panas. Demi menjalankan tugas dan menaati aturan, si pengantar berusaha tetap melaju kencang. Tangannnya bergetar hingga membuat setir motornya bergoyang. Giginya gemeretak menunjukkan betapa dinginnya suhu sore itu.

Sialnya, di jalan ada sebatang cabang pohon yang tumbang. Memang batang yang tidak begitu besar. Mungkin diangkat oleh 3 orang saja sudah cukup. Namun tidak ada yang turun dari kendaraan untuk mengangkatnya. Orang di sekitar daerah situ pun tidak ada. Mungkin karena hujan saking derasnya.

Sementara itu, si pengantar pesanan yang menyaksikan kayu yang tumbang dari kejauhan, tidak bisa bergerak. Ingin rasanya ia mengangkat kayu tersebut. Namun untuk maju saja sulit. Jika ia meletakkan motornya, maka orang akan protes dan memintanya menyingkirkan motor itu. Namun untuk menepi juga tidak mungkin, karena untuk ke pinggir, pengantar makanan harus melalui berjubel kendaraan yang juga berhenti, mengklakson dan menggerutu sana sini.

Untunglah, inisiatif beberapa anak kecil yang kebetulan sedang main hujan, berkejaran di pinggir jalan, dapat mengevakuasi batang pohon yang tumbang tersebut. Kendaraan mulai melaju perlahan, karena hujan memang tetap menutup pandangan. Lampu mobil dan motor lumayan membantu untuk menunjukkan bahwa di kejauhan ada kendaraan.

Akhirnya, si pengantar pesanan sampai di rumah pemesannya, Pak Anton. Dia datang dalam durasi perjalanan 35 menit. Tentu saja si pengantar telat 5 menit.

Sebelum mengetuk pagar, si pengantar pesanan melihat jam di lengannya. “Dengan hujan yang sedahsyat ini, pasti pemesan memaklumi. Apalagi terlambat hanya 5 menit”, demikian pikir si pengantar makanan.

Pak Anton datang menyambut dengan wajah yang terlihat lapar dan bosan menunggu. Ditambah lagi, si kecil tak berhenti merengek. “Janjinya 30 menit. Ini sudah 35 menit. Berarti telat 5 menit”, demikian pikir Pak Anton. Dia sudah siap menyemprot pengantar pesanan dengan sumpah serapah.

Sampai di depan pintu, Pak Anton melihat si pengantar pesanan basah kuyup. Tubuhnya juga menggigil. Pak Anton menurunkan ketegangan di wajahnya. Dalam hati sudah berniat memanggil istrinya untuk mengambilkan handuk. Tapi dia masih teringat janji dari customer service. Telat, artinya boleh complaint. Telat artinya dapat ganti rugi.

“Letakkan makanan di meja itu!”, pinta Pak Anton kepada pengantar pesanan.

Dia segera mengambil handphone untuk menghubungi tempat memesan makanan. Pak Anton complaint dengan nada keras, mengingatkan janji dari customer service-nya.

Sementara itu, si pengantar mulai khawatir. Tubuhnya lemas dan tetap menggigil kedinginan. Suara keras Pak Anton yang sedang mengeluhkan layanan pengantar pesanan, membuatnya membayangkan akan dipanggil oleh Pak Bos dan akan mendapatkan sanksi.

Customer service berjanji akan memberikan ganti rugi dan akan menindak pengantar makanan sesuai aturan perusahaan. Pak Anton merasa puas dengan hal itu. Setelah selesai, pengantar pesanan undur diri.

Di luar hujan masih menggelegak. Kembali pengantar makanan berjibaku dengan hujan. Meski tidak semenegangkan perjalanan pada saat berangkat, tetap saja kecemasan melanda hatinya. Dia akan menghadapi Pak Bos.

Benar saja, baru saja sampai, si pengantar makanan diminta menghadap Pak Bos. Dia mengetuk pintu ruangan Bos. Pintu dibuka dan dia diminta masuk. Namun melihat kondisinya yang basah kuyup, Pak Bos tidak jadi menyuruhnya masuk. Ia berpikir untuk menyuruh pengantar pesanan mengeringkan diri. Namun ia teringat keluhan pelanggan atas keterlambatan pengantar pesanan.

Pak Bos meminta pengantar makanan ke ruang sebelah yang tidak menghalangi baju basah pengantar pesanan untuk ikut masuk. Sudah dapat diduga, pengantar pesanan mendapat sanksi.

Customer service kembali menghubungi Pak Anton. Dia mengatakan, ganti rugi akan dialamatkan ke rumah Pak Anton. Dia juga memberi tahu bahwa pengantar makanan sudah diberi sanksi. Pak Anton merasa senang.

Benarkah manusia dikendalikan sistem ciptaannya? (foto: 123rf.com)

Hari Minggu saatnya lari pagi buat pengantar pesanan. Dia berlari-lari kecil di sekitar kompleks rumahnya. Dia terkejut, ketemu dengan Pak Anton yang juga sedang olah raga. Ada perasaan takut, sungkan, juga dongkol di bena pengantar makanan.

Pak Anton yang mengetahui pengantar pesanan sedang lari pagi, menyapa.

“Pak Anton di sini?”. Si pengantar pesanan membalas dengan bertanya

“Rumahku memang di sini. Yang kemarin itu rumah istriku. Itu rumahku yang pojok depan”.

Pak Anton menunjuk sebuah rumah besar dan tinggi.

“Oh, Bapak ini Pak Anton Waskito?”, tanya pengantar pesanan dengan heran. “Saya belum pernah melihat Bapak. Cuma tahu namanya saja”.

Pak Anton mengangguk.

Keduanya jarang berbicara. Pak Anton berusaha membuka percakapan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun si pengantar pesanan hanya menjawab singkat-singkat dan lebih sering diam. Mereka berdua terus berlari menuju taman, di tengah komplek perumahan.

Pengantar pesanan mengikat tali sepatunya yang sedang copot. Sedangkan Pak Anton menemui temannya, Pak Nugroho, yang juga sedang olah raga di taman. Mereka ngobrol dengan begitu hangatnya.

Melihat mereka berdua dari jauh, pengantar makanan berniat segera pergi. Namun Pak Anton memanggil lebih dulu. Pengantar pesanan diminta bergabung.

Dengan wajah ditekuk, pengantar pesanan mendekat.

“Lho Beni?”, kata Pak Nugroho kaget.

“Iya Pak”, jawab si pengantar pesanan dengan wajah agak menunduk.

“Pak Nugroho kenal dia?”, tanya Pak Anton.

“Iya, dia mantan karyawanku”, jelas Pak Nugroho

“Mantan?”, tanya Pak Anton terheran

“Dia bekerja sebagai pengantar pesanan di restoran saya, Pak. Karena dia pernah mengecewakan pelanggan, dia saya pecat. Waktu yang seharusnya 30 menit, makanan sudah sampai, dia memakan waktu 35 menit. Berarti telat 5 menit. Kami mengutamakan kepuasan pelanggan. Jadi aturan harus ditegakkan”, jelas Pak Nugroho panjang lebar.

Beni, si pengantar pesanan, menundukkan wajahnya.

“Jadi dia pengantar makanan yang terlambat mengantar pesanan saya waktu itu”, kata Pak Anton dengan agak tercengang

“Iya, Pak”, Beni berinisiatif menjawabnya. “Saya minta maaf. Sekali lagi saya minta maaf. Juga buat Pak Nugroho, saya minta maaf yang sebesar-besarnya”.

Pak Nugroho menjadi iba kepada Beni. “Kamu sudah punya pekerjaan?”, tanyanya.

“Belum, Pak”, jawab Beni singkat.

“Kalau begitu….”

“Kamu kerja di tempatku saja”, potong Pak Anton.

Wajah Beni sedikit mulai berseri-seri. “Benarkah Bapak menawarkan pekerjaan buat saya?”, tanya Beni sedikit tidak percaya. “Kerja apa, Pak?”, tanya Beni lagi.

“Ini sesuai dengan keahlianmu, mengantar makanan. Saya sedang memulai usaha restoran juga. Ceritanya tidak mau kalah dengan Pak Nugroho nih hehehe”, jelas Pak Anton sambil melirik Pak Nugroho.

Pak Nugroho hanya tersenyum dan tidak berani memaksa Beni untuk kerja bersamanya kembali.

Kening Beni berkerut. “Tapi…”. Belum sempat Beni melanjutkan,

“Aturannya begini, Kamu harus bisa mengantarkan pesanan pelanggan dalam waktu 20 menit. Lebih dari itu, Kamu saya pecat!”, kata Pak Anton.

Tanyakan kepada diri, apakah kita dikendalikan sistem yang kita ciptakan sendiri? (foto: derekhaines.ch)

Semoga ceritanya bermanfaat πŸ™‚

0.00 avg. rating (0% score) - 0 votes
Tags: , ,

Artikel tentang Inspirasi (Insert) Lainnya:

by

Creative Learning Designer | Parenting Consultant | Writing Coach


 

Post a Comment

Your email is never published nor shared. Required fields are marked *

*
*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>