Anak-anak memandang realita dengan matanya yang tanpa salah. Mereka memilih, memutuskan dan melakukan niatnya dengan suka cita. Jadilah optimis seperti mereka!
Beberapa hari yang lalu, pasca Bintang ‘mondok’ di rumah sakit, rasanya ingin menghabiskan banyak waktu bersamanya. Ingin banyak bermain, bercanda, dan bergembira sepuasnya bersama dia. Selain karena memang ingin menyenangkan dia (berarti juga menyenangkan diri sendiri), juga ada banyak interaksi yang perlu dibenahi, termasuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang selama ini terjadi, perhatian terhadap Bintang.
Bintang melihat di lapangan depan rumah, banyak anak yang sedang asik main layangan. Beberapa diantaranya berlarian mengejar layang-layang yang putus karena ‘pertarungan’. “Aku ingin main layang-layang”, demikian kata Bintang.
Ibunya langsung menangkap dan ingin segera memenuhi keinginan Si Bintang. Ini adalah isyarat yang luar biasa bahwa Bintang semakin menuju sehat. Selain itu, ini bentuk pembelajaran berikutnya, setelah sekian lama hanya nonton saja ketika ada cucu dari pengasuhnya memainkan layang-layang.
Sayangnya, ketika si ibu ingin membelikan layang-layang di toko seberang rumah, toko tersebut sedang tutup. Memang biasanya, di jam-jam tengah terik, toko itu mulai berderik, menutup dirinya bagi para pembeli yang datang silih berganti (lebay). Maka ibu menunda keinginan Bintang untuk sementara.
Sementara bagi ibu, tidak demikian bagi Bintang. Hatinya meronta, tak sabar ingin segera memainkan layangannya. Maka ibu memintaku membuat layang-layang untuk Bintang. Bingunglah diriku bukan kepalang.
Dengan rasa tidak yakin, si ibu mencari cara bikin layang-layang di youtube. Ada sih, banyak. Tapi aku enggan menontonnya. Di pikiranku, seniat apapun aku melototi tayangan pembuatan layang-layang, pasti tak akan pernah terwujud layang-layang dari tanganku yang berpuluh tahun tak pernah memainkannya. Si ibu juga terbawa, ia memberikan tablet yang sedang mempertontonkan cara bikin layang-layang dengan wajah tak yakin.
Aku tutup youtube. Dengan energi yang tak ada separoh biasanya, aku mencari kertas yang mungkin aku pakai untuk bahan layang-layang. Aku patahkan dua buah lidi dari tebah yang menggantung di dapur. Aku raut dua batang lidi tersebut. Aku kaitkan keduanya dengan benang hingga membentuk persilangan seperti palang merah atau salib lebih tepatnya. Aku pancangkan benang yang menghubungkan keempat titik ujung lidinya. Jadilah kerangka layang-layang. Aku taruh kertas di bawahnya, ku gunting segaris dengan kerangka layang-layangnya. Aku rekatkan dengan isolasi. Jadilah layang-layang yang bentuknya mendekati jajaran genjang.
Tetap dengan hati yang tak yakin, aku ikatkan tali untuk membuat handelnya. Aku sambungkan benang jahit yang tetap digulung di penggulung kecilnya.
Bintang mengajak keluar halaman. Aku enggan mengikutinya, tapi Bintang terus memaksa. Dengan riang gembira, Bintang menerbangkan layangannya. Apa yang terjadi? Diluar dugaan, layangan itu sama sekali tak ingin melambungkan diri. Ya, layang-layang itu terbang setinggi tanah.
Aku tertawa geli, meski ada rasa canggung dan malu, karena waktu itu ada tamu dari ibunya Bintang yang sedang menyaksikan. Beberapa tetangga juga tak kalah perhatian atas kejadian di sore yang mencengangkan (lebay lagi).
Ada hal yang menarik. Di tengah keenggananku untuk ikut bermain bersama bintang, di tengah hatiku yang tak yakin bahwa layang-layang buatanku akan bisa terbang, Bintang tetap berjaya di udara. Tak sedikitpun kebahagiaannya berkurang. Ia tetap berlarian menggeret layangannya ke utara dan ke selatan. Aku turut bahagia, namun juga ada rasa malu.
Bintang sama sekali tak membandingkan layang-layangnya dengan milik temannya yang sedang mengudara. Ia tak sedikitpun iri atas bentuk dan kedigdayaan layang-layang dari anak-anak yang santai menerbangkannya. Bintang juga tak sedikitpun merasa malu dengan tetangga yang menyaksikannya. Bagi Bintang, itu adalah layang-layang yang diinginkannya. Ia tetap bisa bermain, tetap menerbangkan layang-layangnya tanpa harus mengudara. Ia tetap bahagia, karena tak sedikitpun memikirkan hasilnya, namun menikmati apa yang sedang dijalaninya.
Aku, dan mungkin juga para orangtua atau orang dewasa pada umumnya, sering berpikir dengan cara mereka. Orang dewasa memiliki gambaran ideal atas kehidupan. Karena itu, jika kejadian di kenyataan tak sesuai dengan bayangannya, maka lahirlah perasaan malu dan kecewa. Ini sangat berbeda dengan anak-anak yang lebih menikmati prosesnya. Ia tak terbebani oleh target, tak dipusingkan oleh perbandingan.
Coba saja berpikir ala anak-anak, minimal saat bermain bersamanya, maka kita akan bisa menikmatinya. Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa menikmati kehidupan. Bayangkan saja, jika di aktivitas bermain atau bersenda gurau bersama anak saja kita bisa menikmati, maka kita akan lebih mudah menransfer atmosfir yang sama pada kegiatan yang lainnya. Ketika kita berpikir ala anak-anak, maka saat itulah kita menikmati proses. Jika ini terus terjadi, maka kita akan jadi orang yang selalu bisa menikmati kehidupan.
Ketika aku menatap dengan pandangan yang pesimis atas layang-layang yang diterbangkan oleh Bintang, ia melihatnya dengan lebih optimis, positif dan tanpa prasangka. Jika ingin mengembalikan cara pandang kita dari pesimis ke optimis, maka pandanglah dunia dengan cara anak-anak melihatnya.
Semoga bermanfaat. Jika merasa terinspirasi dengan tulisan ini, silahkan membaginya dengan teman dan keluarga.
Epilog,
Esoknya, Bintang benar-benar mendapatkan layang-layang yang dibelikan oleh ibunya. Layang-layang yang pastinya lebih bagus dari buatanku tersebut, tak mempengaruhi cara Bintang untuk tetap bahagia. Malah dia tidak hanya berlarian menerbangkan layangannya. Dia mencoba untuk membawa benang layang-layangnya sambil mengayuh sepeda sekencang-kencangnya. Andai aku memaksakan rasa pemisimismeku, menularkan kepada Bintang, mungkin hari itu dia tidak akan menemukan cara kreatif untuk menerbangkan layang-layang. Pesimisme yang kita tularkan bisa membuatnya menjadi anak yang gampang patah arang. Untunglah tidak terjadi.