Dalam Penciptaan, Imajinasi Bukan Basa-Basi


Dalam sebuah penciptaan, alurnya kurang lebih sama, realita/imajinasi –> rasionalisasi (data + teori = riset) –> hasil. Namun titik tekan yang berbeda akan menentukan cara berpikir dan hasil yang dicapai. Sayangnya, imajinasi kadang dianggap tidak lebih penting dari pengetahuan dari sebuah referensi.

Perhatikan hal berikut!

Taruh saja, aku mengatakan, untuk menjadi cerdas atau kreatif, maka ada 3 tips yang bisa diterapkan, yaitu kurangi maksiat, hindari pornografi, dan jadilah orang yang bahagia.

Anggap saja ada yang bertanya: Penjelasannya bagaimana?

Penjelasanku, kurang lebih seperti ini:

Maksiat menambah beban keresahan, karena dari sananya kita diciptakan dalam kondisi baik. Ketika kita beraktualisasi, maka kita sebenarnya sedang memenuhi diri kita sebagaimana kodrat baik yang sudah ditentukan. Tapi ketika kita mengingkari, maka kita semakin menjauh dari eksistensi kodrati. Hal ini menguras tenaga, menutup katup energi, temasuk keterbukaan diri bagi informasi (baru).

Pornografi menyempitkan cara berpikir kita. Semakin intens pornografi menguasai pikiran, semakin sempit cara kita berpikir. Pornografi juga bersesuaian dengan maksiat. Selain menimbulkan keresahan, juga menutup akses bagi kreasi, karena selalu berpikir dengan satu sudut pandang, seks.

Menjadi diri yang bahagia membuat pikiran lebih rileks. Kesenangan, kejenakaan, atau kebahagiaan, membuat otak kita fresh. Proses mielinasi (penghubungan antar neuron) terjadi dengan pesat saat kita bahagia.

Anggap saja si penanya, tanya lagi: Ada referensinya? Dari buku apa? Ada risetnya?

Jawabanku: Tidak ada. Itu imajinasi (Anggap saja aku mengatakan seperti itu)

Apa biasanya reaksi orang atas jawabanku? Sebagian mempercayai (beneran), sebagian lagi percaya karena caraku berbicara, dan yang selebihnya menolak pernyataanku.

Referensi tak seharusnya membuat kita takut kepada imajinasi (foto: dedenhendrayana.com)
Referensi tak seharusnya membuat kita takut kepada imajinasi (foto: dedenhendrayana.com)

Ide adalah sesuatu yang mahal dalam sebuah penciptaan. Kadang kita melihat fakta, kemudian berimajinasi. Kadang kita berimajinasi dan kemudian coba melihat fakta yang terjadi. Apapun itu, dalam sebuah ide, imajinasi sangatlah mahal. Setidaknya menurutku. Tapi kadang imajinasi ini ditepis karena tidak bereferensi. Apa referensi yang dimaksud dalam hal ini? Ya, jurnal ilmiah atau buku teks (text book). Ketika tidak bersandar pada dua kitab ‘prophecy’ keramat itu, maka batallah imajinasi menjadi realita.

Banyak penciptaan berawal dari imajinasi. Tapi justru banyak yang mengingkari dan menyandarkan pada referensi. Lebih parah lagi, jika referensi digunakan tanpa transformasi (secara mentah). Padahal dalam proses transformasi tersebut, peluang masuknya imajinasi juga terbuka. Itulah yang membuat sebuah tempat dengan atmosfir tertentu begitu produktif dengan penciptaan. Sementara di tempat lain yang sibuk menindas imajinasi dan overcritic, menjadi kering dengan penciptaan. Karena itu, sebagian laporan riset dapat menjadi sebuah penemuan/penciptaan. Namun laporan riset yang lain, sukses menjadi pajangan di perpustakaan.

Sudah siap berimajinasi?

Selamat menginspirasi.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *