Pendidikan seks bagi anak, tidak hanya penting bagi pengetahuan dan bekalnya kelak di kemudian hari. tetapi juga untuk bisa merawat dan melindungi diri sendiri. Untuk itu, orangtua perlu memberikan pendidikan seks yang sesuai untuk anak.
Tak bisa dipungkiri, pendidikan seks sejak dini menjadi kebutuhan (sekaligus kesulitan) bagi para orangtua. Namun memang tidak mudah memberikan pendidikan seks yang sesuai bagi anak. Banyak orangtua yang merasa kesulitan melakukannya. Seperti yang sudah dibahas di tulisan “Kenapa Orangtua Kesulitan Melakukan Pendidikan Seks Usia Dini?” telah dibahas bahwa persepsi orang dewasa atau orangtua terhadap seks sangat berperan bagi timbulnya kesulitan dalam melakukan pendidikan seks untuk anak.
Agar kesulitan tersebut tidak terjadi, kita akan bahas tentang bagaimana melakukan pendidikan seks untuk anak, sekaligus berbicara tentang karakteristik anak-anak sehubungan dengan pendidikan seks tersebut.
Anak-anak, mulai dari lahir sampai dengan usia 3 tahun, menjalankan fungsi hidupnya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya, anak memilih dan mengeksekusi tindakannya lebih bersifat reflektif, bentuk pemuasan kebutuhan dorongan internalnya. Pada fase ini, faktor lingkungan sangat berperan. Anak tidak berinisiatif untuk mencari tahu atau melakukan sesuatu. Anak bertindak ketika ada gangguan keseimbangan pada dirinya, misalnya lapar, haus, gerah dan sebagainya. Karena itu, kehidupan seksual anak pasrah sepenuhnya kepada orang dewasa. Tantangannya belum begitu besar.
Baru setelah anak menginjak usia 3 tahun, rasa ingin tahunya atas berbagai hal meningkat, termasuk tentang seks. Anak mulai bertanya tentang tubuhnya, tubuh ibu atau ayahnya, perbedaan alat kelamin dan sebagainya. Hal ini karena kebutuhan anak mulai disadari oleh dirinya sendiri, termasuk pemenuhan kebutuhan pada area genital (alat kelamin). Anak menydari ada perasaan berbeda (nyaman atau kejutan) saat alat kelaminnya disentuh. Pada fase inilah pendidikan seks sudah mulai bisa diberikan.
Berikan pengetahuan yang dibutuhkan oleh anak, termasuk tentang seks. Artinya, ketika anak bertanya maka jawablah. PR selanjutnya, bagaimana cara menjawabnya? Karena di awal usia 3 tahunan anak-anak berada pada tahap pra operasional secara kognitif. Karena itu, kurangi banyak penjelasan. Kita bisa langsung menunjukkan atau menggunakan peraga. Misalnya saja ketika anak bertanya saat mandi, tentang perbedaan alat kelamin. Maka orangtua bisa langsung mengajak anak melihatnya sambil mengatakan penjelasannya. Orangtua mungkin mengatakan “Ini penis, punya laki-laki, seperti Kamu (atau sebut nama) dan ayah”. Kalau dia tanya perbedaan, kita bisa menjelaskan, “Nah, yang ini vagina. Dimiliki perempuan, seperti adik (misalnya) dan ibu”. Mungkin anak tidak paham sepenuhnya, tetapi anak bisa memasangkan labelnya, misalnya penis atau vagina dengan alat kelaminnya.
Bagaimana dengan konsep moral sehubungan dengan seks, mengingat hal ini penting agar anak bisa melindungi dirinya sendiri sehubungan dengan seks? Usia 3 tahunan, anak berada pada tahap pra konvensional secara moral. Saat usia ini, anak melakukan sesuatu karena orientasi takut hukuman dan mencari kesenangan (hedonistik-instrumental). Karena itu, orangtua boleh menambahi, “Ini harus ditutup (sambil tunjukkan celana). Kalau tidak, bisa sakit”, “Semuanya pakai celana. Lihat ayah, ibu, kakak (sambil menunjuk celana yang dikenakan orang yang disebut, jika sedang ada).
Pertanyaan dan penjelasan tentang seks akan semakin kompleks dengan bertambahnya usia. Namun akan ada masa dimana anak tidak banyak bertanya atau mencari tahu tentang seks, yaitu sekitar usia 5 atau 6 tahun sampai pubertas (sekitar 14 tahunan). Anak mulai sibuk dengan pengalaman pertamanya di sekolah atau banyak berkutat dengan hobi.
Setelah anak memasuki masa puber, kegiatan seks mulai benar-benar terarah di area genital (alat kelamin) secara nyata. Organ seksual mulai matang pada fase ini. Karena itu kita bisa memberikan penjelasan yang lebih kompleks dan mengarah kepada hubungan intim. Kita bisa menjelaskan tentang menstruasi atau mimpi basah, kematangan dan kehamilan (regenerasi), hubungan seks dan pernikahan (penjelasan moral). Untuk memperkuatnya, kita bisa menekankan pada keuntungan ketika perilaku dijaga/mengikuti aturan, dan kerugian ketika perilaku tidak dijaga/melannggar aturan. Misalnya saja tentang seks pranikah dan tanggung jawab yang menjadi konsekuensi, mulai dari pembahasan tentang hukum dosa sampai pada status anak atas kehamilan yang mungkin terjadi.
Begitulah cara yang sesuai untuk memberikan pendidikan seks pada anak. Jika ada yang mau ditambahkan, silahkan tuliskan di bagian komentar.