Berasmsi adalah bagian yang alamiah. Setiap orang bisa saja berasumsi untuk memperkirakan apa yang akan terjadi. Namun bagaimana jika asumsi tersebut adalah negatif dan terlampau berlebihan? Maka kita akan hidup dengan dugaan-dugaan. Saat dugaan dan fakta tidak proporsional, saat itu juga kesehatan jiwa kita menghadapi ancaman.
Dalam sebuah percakapan di rumah.
Bapak: Tak terasa liburan sudah hampir usai. Berarti Lily sudah hampir satu bulan ya Ma, di rumah neneknya?
Ibu: Wah iya, sudah lama. Jangan-jangan nanti Lily akan semakin manja kalau pulang dari rumah neneknya.
Wajah itu terlihat cemas. Si Ginta, adinya Lily, mengamati wajah ibunya. Si ibu segera menelpon nenek di desa. Ibu mengatakan banyak hal, memberi peringatan kepada nenek agar tidak memanjakan Lily, tidak menuruti permintaannya, tidak membelikan sesuatu sembarangan.
Di rumah yang lain
Dedek: Ibu, Dedek mau main ke rumah Tino ya..
Ibu: Duh, Dedek mau main ke rumah Om Gito (ayahnya Tino)? Tidak takut? (karena sebelum-sebelumnya, si ibu sering mengatkaan bahwa ayahnya Tino galak).
Dedek: Oh iya..
Dedek tidak jadi pergi ke rumah Tino.
Peristiwa lain terjadi di tempat kerja.
Atasan: Perusahaan yang akan Kamu datangi ini sangat kaku. Orangnya sangat berorientasi pada keuntungan yang sebesar-bersarnya. Dia tidak mudah menerima ide dari orang lain.
Seluruh bawahan mendengarkan perkataan atasannya dengan takzim. Sementara Si Edi adalah salah satu bawahan yang akan bertugas menawarkan produk kepada perusahaan yang dimaksudkan oleh atasan.
Edi datang ke perusahaan tersebut dengan muka ditekuk. Jantungnya berdebar, keringat dingin mengucur. Saat berbicara dengan orang-orang di kantor perusahaan yang didatangi, Edi juga tergagap. Ia memikirkan setiap kata yang ingin diucapkan, agar terdengar indah di telinga calon kliennya.
Apa yang terjadi? Edi disuguhi minuman hangat, disiapkan makan, dan masih ditambah beberapa cemilan. Edi masih tidak percaya dengan kondisi yang ada di depannya. Ibaratnya, dia diberi makan sebanyak-banyaknya, kemudian kalau sudah gemuk baru disembelih. Begitulah yang ada di benaknya.
Edi ditemui oleh manajer dan direktur.
Manajer: Oh ini Pak Edi yang kemarin menelpon saya. Saya Danu, Pak. Kenalkan, ini Pak Dimas, direktur kami.
Obrolan terjadi begitu hangat, sesekali diselingin dengan candaan dan tawaan.
Kalau saat dijamu makan, Edi masih tidak mempercayai kondisi tersebut, karena berpegang pada keyakinan yang dihembuskan oleh atasannya kepada seluruh bawahan, tentang perusahaan yang ia kunjungi. Saat ini ia berpikir sebaliknya, ia masih tidak percaya, kenapa atasannya beserta seluruh orang kantor berpikir bahwa perusahaan yang ia kunjungi ini kaku, orientasi untung, tidak mudah menerima ide orang lain dan berbagai justifikasi semacamnya.
Dalam kehidupan kita, baik di rumah maupun di tempat kerja, atmosfir yang hidup di dalamya turut mempengaruhi bagaimana orang-orang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Peran atasan di tempat kerja atau orangtua di rumah, sangat besar bagi pembentukan atmosfir ini. Jika atmosfir yang dibangun adalah kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan permusuhan, maka seluruh orang-orang di rumah atau tempat kerja akan menghidupkan asumsi-asumsi tersebut di benaknya. Akibatnya, pikiran, sikap, dan tindakan kepada orang atau pihak yang dimaksud juga akan diwarnai oleh asumsi tersebut. Ketika asumsi tersebut ditujukan kepada pihak lain, seperti yang dialami oleh Edi, maka hal tersebut akan membuat mental orang yang akan menghadapinya menjadi lemah, jiwanya menjadi terganggu, dan rentan stress. Apa yang dialami oleh Edi adalah kecemasan antisipatif (meminjam kosepnya Frankl), yang tentu saja mengganggu kesehatan jiwa yang mengalami. Jika atmosfir semacam itu ditularkan di rumah atau di tempat kerja, maka seluruh orang di dalamnya akan rentan mengalami sakit secara psikologis.
Apakah Anda hidup di lingkungan yang mendukung kesehatan jiwa Anda?