Menjadi Tukang Bersyukur dengan Level Tinggi


Melatih diri untuk bersyukur bukan perkara mudah, apalagi menjadi tukang bersyukur atau ahli syukur. Namun semua itu tetap bisa dipelajari dan bisa dilakukan. Seperti apa menjadi tukang bersyukur dengan level tinggi? Simak yuk!

Setiap harinya kita mendapatkan banyak hal positif, sekaligus menemukan banyak kemalangan-kemalangan yang negatif. Tak jarang kita mengeluhkan berbagai ketidaknyamanan yang kita alami. Namun tak sepatutnya kita melupakan kenikmatan yang sudah diberi (oleh Tuhan). Dalam kamus Bahasa Indonesia dijelas, bersyukur itu berarti berterimakasih (kepada Tuhan).

Sebagaimana pernah saya jelaskan tentang filosofi hadiah dan hukuman, anugerah dan kemalangan, bahwa manusia itu memang cenderung mudah menandai ketidaknyamanan dan melupakan berbagai nikmat yang ada pada dirinya. Bagi yang belum membaca, silahkan simak di sini https://rudicahyo.com/parenting-artikel/perbedaan-hadiah-dan-hukuman/

Setiap hari kita dihujani dengan berbagai karunia, mula dari bisa bangun dan membuka mata, bernafas, berjalan, makan, memberi dan lain sebagainya. Secara alamiah, kita menjalaninya begitu saja. Pertanyaannya, mana rasa terimakasih kita, mana ucap syukur kita? Sebaliknya, ketika kaki kita tersandung, apalagi jika ditambah lagi sumpek dengan berbagai pikira, langsung yang keluar dari mulut kita adalah umpatan. “Apes bener dah!!”, “Sialan!”, “Kenapa ini terjadi padaku?!” dan kalimat semacamnya, yang jika kita cermati seperti meniadakan berjuta kenikmatan yang kita miliki.

bersyukur berterimakasih
Jadikan Bersyukur Sebagai Personality (foto: kompas.com)

Hanya saja, melakukan itu semua tidak mudah, menjadi ahli bersyukur itu sulit. Namun hal ini bukan berarti tidak bisa dipelajari dan dijadikan kebiasaan, sehingga kita menjadi tukang bersyukur dengan level yang tinggi.

Berbicara tentang level bersyukur, tentunya tidak lepas dari tantangan. Namanya juga sesuatu yang punya tingkatan, untuk bisa naik level, maka sudah sepatutnya kita dihadapkan dengan berbagai ujian. Ujian bersyukur itu adalah lingkungan sosial. Ketika kita membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain, pada saat itulah awal mulai rasa tidak beryukur datang. Ketika teman atau tetangga mendapatkan barang baru, memperoleh prestasi, mendapat pujian dari atasan dan sebagainya, kita merasa diri kita bukan siapa-siapa.

Mau tidak mau, kondisi lingkungan tidak bisa kita abaikan. Kadang tak bisa ditampik bahwa kita selalu membandingkan diri dengan orang lain. Bahkan kadang untuk mengabaikannya saja sulit bukan main. Apalagi jika kita mendapatkan tugas yang sama, mempunyai kewajiban yang sama, namun teman kita yang mendapatkan keuntungan, itu tantangan yang berat untuk tetap bersyukur. Karena berbagai tantangan inilah maka ada yang namanya kategori dan level bersyukur.

1. Kategori pengabaian

Kategori ini adalah cara kita dalam mengabaikan lingkungan eksternal kita dalam rangka untuk melatih diri kita menjadi pribadi yang bersyukur. Kategori pengabaian ini unik, karena bisa digolongkan level tinggi namun juga level dasar.

Jika pengabaian ini masih dalam taraf membandingkan dengan orang lain, maka masih tergolong level yang rendah. Artinya, upaya mengabaikan yang dilakukan berawal dari membandingkan dengan orang lain. Ketika yang bersangkutan menyadari bahwa dirinya membandingkan sehingga membuatnya tidak nyaman, maka ia berusaha mengabaikan. Mengabaikan di sini hanya sebagai upaya membuat diri nyaman, melindungi ego dari yang bersangkutan.

Namun beda ceritanya jika pengabaian itu memang karena berorientasi pada kenikmatan yang sudah dimiliki oleh diri sendiri, sehingga tidak terpengaruh oleh kenikmatan milik orang lain. Ketika orang lain mendapatkan barang baru, berpreastai, mendapat pengakuan, ya tidak ada yang terjadi pada kita. Kita tetap enjoy saja menikmati kehidupan kita. Nah, pada kondisi yang seperti ini, pengabaikan menjadi punya level yang lebih tinggi.

2. Kategori Membandingkan

Membandingkan itu keniscayaan. Jadi sangat lumrah ketika kita membandingkan dengan orang lain, termasuk membandingkan dengan keunggulan-keunggulan orang lain. Jika pada level sebelumnya kita mengabaikan, pada level ini kita menggunakan perbandingan dengan orang lain sebagai cara kita berterimakasih kepada Yang Memberi (Tuhan).

Pada level yang rendah, kita bisa membandingkan diri kita dengan orang lain dan berupaya untuk bisa mencapai hal yang sama. Hanya saja, orientasinya bukan dari iri dan ingin memiliki sesuatu yang sama. Usaha yang kita lakukan lebih dikarenakan adanya rasa yakin bahwa kita itu juga punya kelebihan untuk dapat mencapainya. Dengan demikian, kita lebih foksu memperhatikan kekukatan yang diberikan oleh Tuhan. Ini boleh diartikan, capaian orang lain memotivasi kita untuk lebih menyadari dan menggunakan kekuatan kita.

Level yang lebih tinggi dari kategori membandingkan adalah diferensiasi. Ketika kita membandingkan dengan orang lain, tidak selalu berada di ukuran yang sama. Jika orang lain mencapai sesuatu, kita bisa mencapai hal yang berbeda. Itu hanya soal variasi saja. Dengan demikian, kenikmatan yang diperoleh oleh orang lain ya tidak terlalu berpengaruh. Urusan kita hanya dengan usaha yang kita lakukan dan capaian yang sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

3. Kategori Kompensasi

Kategori kompensasi adalah rasa syukur yang dimunculkan dengan melakukan kompensasi ketika orang lain mendapatkan kenikmatan. Kompensasi ini adalah cara kita untuk melindungi ego kita dari ketidaknyamanan yang pada akhirnya bisa memunculkan gangguan secara psikologis. Ini hampir mirip dengan kategori bersyukur dengan membandingkan. Hanya saja jika di kateogir membandingkan kita berorientasi pada orang lain. Pada kategori ini, kita langsung kembali kepada diri kita, melindungi diri kita untuk tetap dalam rasa yangn yaman.

Pada level yang paling rendah, kita melakukan kompensasi dengan berusaha mengalihkan kepada aktivitas lain. Kita bisa berupaya melupakan segala capaian atau kenikmatan yang diperoleh orang lain. Kita bisa melakukan berbagai aktivitas atau menyibukkan diri kita agar terhindar dari perasaan iri.

Level yang lebih tinggi adalah dengan cara memberi. Kompensasi dengan memberi kepada orang lain adalah untuk merasa bahwa kita masih memiliki sesuatu. Ketika kita menyaksikan orang lain mendapatkan sesuatu, maka pada saat yang sama kita bisa memberi sebanyak-banyaknya. Dengan memberi, kita merasa bahwa diri kita berarti memiliki. Berarti Tuhan itu sudah mengisi kehidupan kita dengan karunia.

Demikian pembahasan tentang kategori dan level bersyukur. Kita bisa mengamalkan ketiga kategori tersebut. Masalah apakah kita akan memilih level yang rendah atau tinggi, itu kembali kepada kita. Paling tidak, untuk awal belajar menjadi ahli syukur, kita bisa memilih level sesuai dengan kapasitas kita.

Semoga kita selalu menjadi pribadi yang bersyukur. Aamiin… Jika ada kategori atau level bersyukur yang lain, silahkan dibagikan di sini, agar kita bisa belajar bersama. Tuliskan di kolom komentar ya..

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *