Salah satu ibadah yang identik dengan Bulan Ramadhan adalah shalat tarawih, selain berpuasa. Sholat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak, sebenarnya adalah perjuangan untuk membangung karakter. Sebagaimana perjuangan, usaha kita dapat mengalami keberhasilan atau kegagalan.
Kembali lagi dengan tulisan edisi Ramadhan. Sebelumnya saya menulis tentang “Mengajari Anak Berpuasa dengan Lebih Bermakna” di kategori parenting. Kali ini saya akan menulis di kategori inspirasi sehubungan dengan ibadah di Bulan Ramadhan. Kali ini saya akan membahas tentang sholat tarawih. Tentu saja masih dalam kerangka keilmuan psikologi.
Sudah menjadi rahasia bersama jika jumlah jamaah sholat taraih di hampir sebagian masjid atau mushola, akan berubah seiring berjalannya waktu di Bulan Ramadhan. Biasanya, di hari-hari pertama, jumlah jamaah sangat banyak. Bahkan kadang kita sampai susah mencari cela jika sedikit saja terlambat datangnya. Coba tengok di pertengahan bulan atau seminggu menjelang akhir Ramadhan, pemandangan apakah yang kita saksikan di barisan jamaah sholat tarawih? Memang tidak di semua mushola atau masjid, tapi sebagian besar memang mengalami penyusutan.
Kalau memperhitungkan betapa berharganya Bulan Ramadhan, seharunya semakin menjelang akhir, jamaah menjadi semakin banyak, atau minimal konsisten jumlahnya. Apalagi Malam lailatul qodar hadir di sepuluh hari terakhir. Ok lah, mari kita lepaskan dari pembahasan yang menggunakan sudut pandang agama. Kita beranjak kepada dampak sholat tarawih untuk pembentukan karakter.
Sebenarnya, sholat secara umum juga merupakan salah satu cara untuk membangun karakter kita. Semakin khusyu sholat yang kita lakukan, maka karakter kita akan semakin terbentuk. Ketika kita bisa melepaskan diri dari urusan dunia dan seutuhnya berpasrah diri, menghadap kepada Yang Maha Kuasa, maka pada saat itu kita hadir dengan diri kita di waktu kini dan di sini. Saat itu, kita merasakan setiap detil sensasi yang hadir di setiap inci tubuh, tanpa harus memikirkannya. Kita hanya merasakan sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan. Maka pada saat itu kita semakin dekat denganNya.
Kondisi sholat ini sama dengan proses kita menguatkan kepribadian kita sehingga kita memiliki determinasi diri yang kuat. Ketika dalam benak kita hadir berbagai urusan dunia, maka pada saat itu kita berupaya tetap membesarkan Tuhan diantara kehadiran gangguan pikiran. Kita mengecilkan berbagai urusan sebagai bentuk usaha untuk tetap membesarkan peran Tuhan.
Bukan perjuangan mudah, karena kita mengharuskan diri kita lebih fokus, lebih tertarik, lebih dekat, dengan sesuatu yang lebih abstrak daripada urusan dunia. Coba bayangkan saja, lebih mudah hal konkrit atau hal abstrak yang menghiasi pikiran kita? Segala informasi dibendakan dalam pikiran kita untuk memudahkan dalam memikirkannya. Apalagi yang wujud informasi tersebut memang berupa benda, maka akan lebih mudah masuk dan menguasai pikiran kita.
Baca juga:
- Apa yang Membangun Keyakinan Diri (Self Determination) Kita?
- Apa yang Melemahkan Determinasi Diri dalam Membuat Keputusan?
Berbagai hal yang bersifat dunia dan kebendaan tersebut dengan kuat menyetir kita, mempengaruhi kita. Pada saat itu kita berusaha menjadikan diri kita sebagai penentu, bukan ditentukan oleh benda-benda itu. Upaya ini sama dengan perjuangan menguatkan determinasi diri. Sementara itu, determinasi diri yang kuat adalah modal dasar bagi pembentukan karakter.
Bagaimana dengan sholat tarawih?
Seperti yang kita ketahui, bahwa sholat tarawih terdiri dari jumlah rakaat yang banyak. Ada yang melakukannya 20 rakaat, ada yang 8 rakaat. Dan hal itu dilakukan tiap malam selama Bulan Ramadhan. Tentu saja hal ini menguji konsistensi kita dalam melakukannya. Apalagi ibadah ini hukumnya sunnat (tepatnya sunnat muakkad), yang berarti bisa juga tidak dilakukan. Dalam satu kali sholat saja, dari rakaat ke rokaat berikutnya, konsistensi semangat kita bisa berubah. Begitu juga perubahan semangat dari hari ke hari selama Bulan Ramadhan. Karena itulah, fungsi sholat sebagai pembentuk karakter dapat menuai keberhasilan dengan konsistensi kita beribadah, atau justru gagal dengan protolnya kita dalam melakukannya.
Jumlah rakaat yang banyak, salah satunya berkenaan dengan gerak tubuh. Bisa jadi menurunnya semangat dalam melakukannya dikarenakan kelelahan atau kejenuhan dalam melakukannya. Jika memang dianggap gerakan fisik semata, perasaan seperti ini memang sangat rentan terjadi. Okm tidak masalah, karena aktivitas di level yang paling dasar memang bersifat ritual, yaitu bertumpu pada gerakan fisik semata. Namun jika kita memenangkan gerakan fisik ini, maka sangat terbuka peluang kita untuk menuju level berikutnya yang lebih tinggi, yaitu pemaknaan dan spiritualitas. Paling tidak, kita dapat mengawali dengan level prakmatis, misalnya memaknai gerakan sholat sebagai olahraga. Lama-lama gerakan fisik yang dilakukan dengan tulus akan menyatukan pikiran dan perasaan kita. Bukankah tubuh yang ditempa juga berdampak kepada kondisi jiwa, sebagaimana semboyan di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Nah, dalam hal konsistensi inilah kita dapat mengalami keberhasilan atau kegagalan dalam membentuk karakter melalui sholat tarawih. Mumpung Bulan Ramadhan masih ada beberapa hari lagi, yuk kita perbanyak ibadah dan semangatkan diri untuk sholat tarawih.