Bangga boleh. Tapi membanggakan diri juga perlu kendali. Karena jika tidak, dampaknya akan kembali menikam diri sendiri. Ini seperti cerita lebaran berikut ini, “Polisi Balik Kucing”.
Lebaran identik dengan apa hayo? Mungkin yang terlintas adalah ketupat ayam, baju baru, silaturahmi dan bersalam-salaman. Nah, salah satu hal yang paling fenomenal adalah mudik. Apakah saat hari raya Idul Fitri Kamu mudik? Ada cerita tentang mudik nih.
Ceritanya, seorang anak manusia yang bernama Hamid. Dia adalah seorang polisi. Sejak namanya muncul di pengumuman penerimaan anggota kepolisian, hidupnya berubah. Ini memang profesi yang diimpi-impikannya. Salah satu hal yang sangat dibanggakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan atribut polisi, terutama seragam.
Saat libur lebaran tiba, maka banyak yang mudik ke rumah. Alangkah senang dan bangganya kalau pulang membawa hasil jerih payah, demikian juga dengan Hamid. Dia suka sekali mengenakan seragam polisinya ketika berada di kampung halaman. Sepertinya seragam itu serupa kulit yang selalu menempel di tubuhnya. Silaturahmi ke ruma sanak saudara serta tetangga, seragam itu tak pernah lepas dari tubuhnya. Jangan-jangan kalau mandi, dia tidak melepasnya juga.
Setiap bertandang ke sanak saudara dan tetangga, Hamid selalu bercerita bangga tentang profesinya sebagai polisi. Segala hal yang berhubungan denan kepolisian dia ceritakan sebagai sesuatu yang sangat mulia. Dia membanggakan atribut kepolisiannya. Mulai dari baju regam, sepatu, rompi, pistol, dompet, bahkan celana dalam polisi (yang terakhir ini lebay hehe). Setiap berkunjung ke saudara dan tetangga, dia selalu menceritakan hal yang sama. Bahkan dia memiliki daftar saudara yang akan dan sudah dikunjungi. Dia membuat sebuah check list. Sampai suatu ketika,
“Oh iya, aku belum mengunjungi Pakde Parto”, gumamnya dengan antusias.
Bergegas ia periksa kelengkapan seragamnya. Dia kenakan semua, sampai menyelipkan pistol di pinggang kanannya. Dengan motor bertuliskan polisi, dia melaju menuju rumah Pakde Parto.
“Assalamualaikum!”, kata Hamid sambil memarkir motornya di halaman.
“Walaikumsalam”, jawab Pakde Parto menyambut dengan antusias.
Pakde Parto keluar bersama Otong, anak paling kecil Pakde.
“Ini adalah sasaran tembak yang empuk”, dalam batin Hamid.
Maksudnya, selain cerita kepada Pakde Parto, dia pastinya akan bercerita tentang profesinya kepada Otong. Cerita kepada Pakde Parto, itu sudah pasti. Tapi cerita kepada Otong, pasti lebih menarik. Anak-anak pasti suka diceritakan tentang polisi. Otong pasti sangat bangga dengan dirinya. Selain itu, sambil menyelam minum air, sambil cerita kepada Otong, pasti Pakde dan seluruh keluarganya turut mendengarkan cerita itu. Pasti mereka terkagum-kagum, demikian dalam hati Hamid.
“Halo Om Hamid. Ini seragam polisi ya?”, tanya Otong
Wah, ini pembuka yang sangat baik, pancingan yang menandai dimulainya celoteh Hamid. Maka bersiaplah Hamid untuk menjadi ‘dalang’.
“Iya…”, jawab Hamid.
Belum sempat berkata-kata banyak,
“Kalau ini helm polisi ya?”, Otong sudah kembali bertanya.
“Ini motor polisi juga?”, tanya Otong lagi. “Yang ini pistol polisi? Yang ini…”, demikian Otong membombardir Hamid dengan berondongan pertanyaan.
Hamid hanya mengangguk-angguk, menunggu waktu yang tepat untuk bercerita. Semakin banyak Otong bertanya, semakin banggalah Hamid.
“Ini dompet polisi juga?”, lanjut Otong. “Dan ini celana dalam polisi?” (pertanyaan yang ini abaikan).
Kembali Hamid mengangguk hikmat dengan senyumnya yang merekah.
Suasana hening sejenak.
“Nah, ini saatnya aku bercerita”, gumam Hamid.
Belum sampai Hamid meluncurkan kata pertama dari ceritanya, Otong kembali angkat bicara,
“Sudah berapa lama Om Hamid jadi polisi?”, tanya Otong
“Empat tahun tujuh bulan”, jawab Hamid.
Sebenarnya Hamid ingin langsung melajutkan bercerita pengalamannya menjadi polisi selama 4 tahun 7 bulan itu. Tapi kembali Otong mendahului bicara,
“Sudah hampir lima tahun jadi polisi, kok baju, motor, helm, bahkan sampia dompet masih minjem aja, Om?”
Seperti disambar petir di siang bolong. Hamid mengurungkan niat bercerita. Ia segera ngacir pulang.
Mari sebarkan senyum!