Anak memiliki bakat? Ya, sudah tentu. Apakah bakat anak perlu dikembangkan? Ya, pasti. Tapi yang perlu disadari para orangtua, pengembangan diri anak lebih dari sekadar bakat. Mari kita bahas pengembangan bakat dan dilema pilihan.
Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan teman yang mulai melangkahkan kaki sebagai praktisi di dunia pengembangan bakat anak. Diskusi hangat, seraya melepas kangen karena sangat lama tak bersua secara langsung. Obrolan seputar pengembangan bakat, ku akhiri (atau mungkin sisipi) dengan pesan, bahwa pengembangan bakat adalah bagian dari pengembangan diri. Bakat adalah bagian dari diri anak secara menyeluruh. Lalu apa implikasinya?
Menyadari anak adalah pribadi yang menyeluruh (holistik), sangat penting dalam pengasuhan atau pendidikan. Bakat adalah bagian dari diri anak. Maka, pengembangan bakat seharusnya menjadi bagian dari pengembangan diri anak. Karena itu, mengembangkan bakat anak sudah pasti merupakan langkah yang sangat bagus. Namun jadi berpotensi melenceng kalau menganggap bahwa bakat adalah segala-galanya, yang selanjutnya dapat membuat kita berpikir bahwa pengembangan diri anak sama dengan pengembangan bakat.
Karena itulah, berbicara tentang bakat, selalu beriringan dengan minat. Bakat itu sesuatu (objek) pada diri anak. Sedangkan minat mengakomodir ke-aku-an dari diri anak. Ketika anak diperhatikan dan diakomodasi minatnya, maka ke-aku-annya menjadi diperhatikan. Keselarasan antara minat dan bakat, membuat pengembangan anak ‘sedikit lebih’ komprehensif. Setidaknya dalam kesuksesan menjawab tantangan hidup.
Berbicara tentang bakat, lebih jauh lagi kita bisa membahasnya dengan ‘dilema pilihan’. Ketika seorang anak ‘diasumsikan’ berbakat A oleh orangtuanya, maka orangtua akan berupaya mendukung bakat A tersebut. Jika A adalah benar-benar bakat dari si anak, maka kapasitas diri anak akan melejit dengan baik. Namun, bagaimana jika A hanya bakat yang diasumsikan, bahkan sebagai hasil dari sebuah asesmen (identifikasi melalui tes atau semacamnya) sekalipun? Mari kita kembali kepada dilema pilihan.
Sebelum membahas tentang dilema pilihan, mari kita lihat pengembangan bakat sebagai sebuah langkah yang menggunakan prinsip positif. Artinya, pengembangan bakat adalah cara untuk mengoptimalkan kemampuan atau keunggulan anak, alih-alih berusaha ‘menyembuhkan’ kelemahannya. Jika dianalogikan dengan meraih selimut pasca tidur semalam, maka bagian yang paling mudah untuk diraih adalah puncak dari selimut. Dengan menarik puncak selimut, seluruh bagian selimut akan ikut terangkat. Dengan demikian, pengembangan keunggulan akan dapat menutup kekurangan si anak, sebagaimana seluruh bagian selimut yang ikut terangkat. Itulah yang membuat pengembangan bakat sangat bagus bagi anak.
Namun kita bisa melihat dengan frame yang berbeda, jika kita kembali kepada dilema pilihan. Ketika seorang anak ‘diasumsikan’ berbakat A, maka orangtua akan mendukung alias fokus kepada pengembangan A. Dengan demikian B sampai Z akan cenderung menjadi bagian sekunder bahkan mungkin diabaikan. Memang, ketika kita memilih A, maka kita sebenarnya tidak relevan menyesali B sampai Z yang tidak kita pilih. Karena memang tidak mungkin membandingkan A yang sudah dipilih secara aktual dengan B sampai Z yang belum dijalani. Nah, jika bakat A adalah sebuah asumsi, maka B sampai Z juga memiliki peluang sebagai bakat si anak.
Karena membandingkan dengan sesuatu yang tidak dipilih memang tidak dimungkinkan, maka bisa jadi bakat A adalah sebuah kebenaran. Ya, paling tidak kebenaran aktual. Maka tidak bisa dijustifikasi salah, jika ada orangtua mengembangkan bakat A pada diri anak.
Terlepas dari masalah benar salah, melihat pengembangan bakat dalam frame dilema pilihan, sebenarnya adalah sedang berbicara tentang kesadaran. Artinya, kesadaran akan bakat lain (B sampai Z) atau hal lain pada diri anak, merupakan hal yang penting, meskipun bisa saja kita tetap mengembangkan bakat A. Kesadaran akan berbagai (boleh lah beberapa) bakat anak, atau hal-hal lain pada diri anak, sangat penting bagi pengembangan diri anak. Termasuk hal tersebut penting bagi pengembangan bakat anak. Kesadaran ini juga dapat membuat kita tidak gegabah dalam pengembangan bakat (atau diri) anak.
Karena temanku punya dasar keilmuan Psikologi Perkembangan, maka ia dapat menerima aksiomaku tersebut. Saat itu ia berbicara pengembangan bakat pada konteks usia dan karakteristiknya. Artinya, pengembangan bakat juga memperhatikan karakteristik dan preferensinya, termasuk minat anak.
Bagaimana Ayah/Bunda/Kakak dalam melihat dan mengembangkan bakat anak?