Agar Nikmat Melimpah, Kita Membutuhkan Rasa Syukur yang Sesungguhnya


Rasa syukur membuat kita bisa menikmati apa yang sedang kita miliki. Saat itu, kita sedang terbuka pada nikmat yang baru. Namun, agar nikmat melimpah, kita membutuhkan rasa syukur yang sesungguhnya. Seperti apa itu?

Karena hujan adalah karunia, maka tetap peliharalah rasa syukur kita (foto: designstutorial.com)

Hari ini kendaraanku berada di kampus. Karena itu, aku berangkat bersama seorang teman. Di tengah perjalanan, hujan turun rintik-rintik. Terjadilah obrolan yang menghangatkan dinginnya guyuran hujan.

Aku bercerita kepada temanku bahwa aku kadang sengaja tidak mengenakan jas hujan ketika mengendarai motor. Aku menikmati sensasi dingin dan basah yang menerpa ketika berkendara. Memang bukan hujan yang lebat, hanya rintik-rintik. Namun demikian, kebanyakan orang segera merapat ke tepi jalan dan buru-buru mengenakan jas hujan. Iya, setiap orang punya pilihan, masing-masing orang punya cara yang berbeda dalam menanggapi hujan.

Aku sengaja menikmati hujan, karena selama ini Surabaya dan Sidoarjo panasnya tak terkira. Dan demikianlah biasanya. Aku membiasakan diri untuk membuka banyak cara menanggapi karunia yang diberikan Tuhan. Karena dengan menikmati pemberian, kita seperti sedang menghentikan waktu dan berlama-lama dengan rasa nikmat itu.

Lalu bagaimana dengan panas? Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berbicara hujan tak akan luput dari membicarakan lawannya, panas. Surabaya dan Sidoarjo memang terkenal sebagai kota yang panas. Bagaimana aku menanggapi panas.

Biasanya kalau berangkat kerja, aku mengenakan jaket dan sarung tangan, untuk meredam sengatan panas. Namun yang namanya panas, dibungkus bagaimanapun tetap kepanasan. Badan yang dibungkus jaket dan sarung tangan pastilah merasa gerah di bawah terik yang menyala-nyala.

Suatu ketika, saat lampu merah menghentikan perjalananku, aku coba tak menahan panas yang menyengat. Aku biarkan panas itu masuk ke tubuh. Aku rasakan aliran dan setiap sentuhannya di pori-pori dan di jaringan epitel bawah kulit. Panas itu menyentuh dengan lembut dan aku merasakan bahwa dia sebenarnya ramah. Bahkan saking detilnya aku merasakan panas di setiap bagian tubuh, sampai aku menggigil. Aku tidak merasakan panas lagi, tapi hangat. Malah saat menggigil, aku merasakan sensasi yang sama ketika kedinginan. Kulitku juga merinding. Entah kenapa, ini seperti paradoks. Aku juga merasakan sensasi yang sama ketika membiarkan hujan mengguyur tubuh.

Meskipun demikian, ada satu yang tak aku ingkari, yaitu polusi. Ketika hujan, meskipun aku berlindung di balik jas hujan, aku tetap bisa santai berkendara sambil menikmati guyurannya. Namun aku tidak suka ketika macet dan banyak asap mengepul, menelusup masuk hidung dan memenuhi rongga paru-paru. Untuk satu hal ini aku tidak bisa menikmati. Lalu bagaimana?

Aku bilang kepada temanku, aku tak perlu mengingkari kalau aku tidak suka asap kendaraan. Aku cukup menyatakan tidak suka kepada asap itu. Selebihnya, aku lanjutkan perjalanan dengan apapun keadaannya. Aku tak perlu bermusuhan dengan asapnya, karena bagaimanapun juga, dia tetap ada di sekelilingku, setiap hari, setiap perjalanan. Aku cukup tidak suka, tak perlu membenci. Begitulah caraku mensyukuri apa yang sedang terjadi.

Rasa syukur tak cukup hanya dengan perkataan, tapi perlu diikuti dengan keyakinan dan reaksi tubuh yang selaras. Ketika rasa syukur hanya ada dalam ucapan, sebenarnya saat itu diri kita sedang tidak ikhlas dengan rasa terimakasih yang kita nyatakan. Meskipun sudah mengucapkan, jika keyakinan dan tubuh tak sejalan, maka nikmat itu tak bisa dirasakan.

Hanya rasa syukur yang sesungguhnya, yang bisa melipatgandakan nikmat (foto: expatspost.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *