Persepsi Tanpa Komunikasi Bisa Menjadi Prasangka


Persepsi adalah proses memberikan arti bagi informasi yang masuk melalui indera. Setiap orang melakukan persepsi. Entah persepsi baik atau buruk, jika tidak dikomunikasikan akan menjadi prasangka.

Paiman adalah seorang warga di sebuah RT di Desa Kedung Boto. Dia adalah seorang warga yang jarang ketemu dengan warga yang lain, kecuali untuk acara yang sudah diagendakan di lingkungan RT, misalnya kerja bakti, rapat, doa bersama, dan semacamnya. Artinya, untuk kegiatan-kegiatan tersebut, Paiman tergolong warga yang rajin. Bahkan ketika ada warga yang butuh pertolongan dan sakit, Paiman juga menjenguknya di rumah sakit. Namun memang tidak selalu bisa berangkat bersama-sama warga yang lain.

Hanya saja, Paiman bukan orang yang suka berkumpul, ngobrol dan plesiran bersama warga yang lain. Dia adalah pekerja yang berangkat pagi dan pulang petang. Selebihnya ia habiskan waktu bersama keluarga, kalau tidak membawa pekerjaan ke rumah.

Karena beberpaa orang, terutama yang vokal dan punya kedudukan di lingkungan RT tersebut memiliki hobi berkumpul dan ngobrol, Paiman menjadi orang yang aneh di mata mereka. Bahkan beberapa tetangga yang cukup vokal malah tidak menyukainya. Berbagai celah dicari-cari dari diri Paiman. Kebiasaan tidak ngumpul dijadikan bahan rumpian. Paiman dilabeli orang yang individualis, tidak peduli, dan semacamnya. Orang tidak lagi memperhatikan bahwa Paiman menolong tetangga yang membutuhkan dan menjenguk yang sakit, karena memang tidak ia lakukan bersama-sama orang lain.

Karena terus dicari-cari celahnya, maka ketika warga lagi kongko-kongko, selalu saja ada bahan pembicaraan tentang Paiman. Nah, yang terakhir adalah soal ayamnya Paiman. Ia memelihara dua ekor ayam pemberian mantan pengasuh anaknya. Ayam ini dirawat oleh Paiman sejak masih kecil, hingga menjadi besar. Rupanya beberapa warga merasa tidak nyaman dengan keberadaan ayam tersebut. Hal ini segera disambut oleh para warga yang tidak menyukai Paiman. Maka jadilah ayam Paiman bahan pembicaraan.

Suatu ketika, ada kerja bakti warga untuk membangun mushola. Kerja bakti dilakukan malam hari. Paiman ikut dan datang agak terlambat, karena ada urusan di rumah pegawai kelurahan. Ketika Paiman datang bergabung dengan warga, ada yang nyeletuk, “Ada yang mau nyembelih ayam?”. Warga lain ada yang menyahut, “Ada yang mau masak kah?”, dan seterusnya.

Paiman yang sebelumnya memang sudah berniat akan mengembalikan ayam-ayam tersebut ke mantan pengasuh anaknya, segera bisa mengerti maksud warga. Jauh sebelum mendengarkan omongan warga, Paiman memang ingin mengembalikan ayam tersebut. Paiman merasa ayam-ayam tersebut berpotensi mengotori jalan, rumah tetangga, atau mushola yang baru akan dibangun.

Keesokan harinya, Paiman mengembalikan ayam tersebut. Dengan berboncengan motor bersama istri dan anaknya, dia menenteng kedua ayam di tangan kanan dan kirinya. Sementara istrinya memilih menyetir motornya, karena dia merasa kewalahan kalau memegang ayam. Anaknya yang berusia sekitar 2 tahun berdiri di depan motor. Resmilah keluarga Paiman berpisah dengan kedua ayam kesayangannya. Namun, tak seorang wargapun, termasuk yang tidak menyukai Paiman, yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Agak siang, ada dua ekor ayam yang berkeliaran di komplek perumahan. Salah seorang warga yang tidak suka kepada Paiman berkata, “Nah, ini dia ayam yang suka bikin kotor lingkungan kita”. Warga lain yang juga tidak suka kepada Paiman menanggapi, “Kita eksekusi saja. Ndik!”, dia memanggil temannya yang pada waktu itu memang sedang mencuci mobilnya. Apa yang akan mereka lakukan?

Ternyata, dua orang warga yang tidak suka kepada Paiman menggiring ayam itu ke tengah jalan perumahan. Sementara seorang warga lain menyetir mobilnya sekencang-kencangnya. Jadilah ayam itu dilindas mobil mereka. Satu ayam bisa lolos. Ayam itu berhenti di pinggir jalan sambil menatap temannya yang bersimbah darah selepas dilalui ban mobil di lehernya.

Tidak puas hanya di situ, warga yang tidak menyukai Paiman ingin melihat reaksi Paiman atas kejadian yang menimpa ayamnya. Seorang warga membawa ayam tersebut ke rumah Paiman. “Pak Paiman, ayamnya tadi terlindas mobil”.

Paiman menatap wajah orang itu, kemudian memperhatikan jasad ayam yang ditenteng oleh warga. “Maaf Pak, ayam saya sudah saya kembalikan kepada yang punya. Yang itu ayam Pak RT. Lagian ayam saya sebenarnya tidak pernah main ke luar pagar Pak. Itu ada tempatnya.”, jelas Paiman sambil menunjuk sebuah pekarangan kecil di pojok halaman.

Warga yang membawa ayam tersebut, dan beberapa warga yang sudah menunggu di depan pintu pagar rumah Paiman, langsung pergi dengan wajah kecut. Sekarang mereka kebingungan mencari cara untuk menghadapi Pak RT.

Warga yang tidak menyukai Paiman berkumpul. Mereka membicarakan tentang ayam yang mereka ‘eksekusi’ barusan.

“Bagaimana kita akan melaporkan ke Pak RT?”, tanya seorang warga.

“Kalau itu mudah saja. Kita bisa saja melakukan skenario yang sama seperti yang kita berlakukan kepada Paiman.”, kata seorang warga. “Tapi persoalannya bukan itu.”, lanjutnya. “Coba kalian perhatikan, yang selama ini kita kira bikin kotor lingkungan ini ternyata bukan ayam Paiman. Dua ayam itu adalah punya Pak RT”

Apa hikmah yang bisa diambil dari cerita ini?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *