Waktu istirahat sama pentingnya dengan waktu bekerja, bahkan untuk menghasilkan tindakan efektif atau kalau dalam dunia kerja disebut sebagai produktivitas. Berikut ini adalah 5 prinsip pengelolaan waktu untuk menghasilkan tindakan efktif.
Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat hari guru sedunia (5 Oktober). Bertepatan dengan hari istimewa ini, maka saya akan menuliskan tentang pengelolaan waktu istirahat yang juga penting diperhatikan oleh guru dalam pengelolaan waktu belajar.
Tulisan ini berawal dari buku berjudul “When” yang ditulis oleh Daniel H. Pink. Buku ini mengupas tentang karakteristik waktu beserta keselarasan dengan ritme waktu kerja, yang kemudian boleh dibilang sebagai karakteristik individu dalam penggunaan waktu. Namun kali ini kita tidak akan membahas tentang keseluruhan isi buku. Untuk ketuntasan dalam memahami seluruh isi buku, silahkan baca bukunya ya.
Kali ini hanya akan dibahas tentang pengelolaan waktu istirahat. Kenapa waktu istirahat perlu dikelola?
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa istirahat sama pentingnya dengan bekerja (termasuk belajar). Produktivitas kerja atau belajar tidak hanya ditentukan oleh seberapa panjang waktu yang kita habiskan di depan laptop, duduk di meja kerja, membaca buku dan semacamnya. Produktivitas juga ditentukan oleh waktu saat kita memejamkan mata, bermain dengan anak, berbicara dengan rekan kerja, atau hanya sekadar jalan-jalan di lingkungan luar tempat kita belajar atau bekerja. Penelitian telah menunjukkan bahwa produktivitas kembali naik seperti saat kita menggunakan energi baru kita, setelah kita beristirahat. Seperti penelitian sekaligus praktik yang diterapkan di University of Michigan Medical Center. Kesalahan medis yang berdampak pada malapetaka dapat diturunkan setelah memberlakukan jeda kesiagaan. Begitu juga penelitian yang dilakukan di sekolah-sekolah Denmark yang menunjukkan bahwa nilai ujian lebih baik di pagi hari atau di siang hari setelah jeda waktu istirahat. Begitu juga dengan keputusan dewan judisial di Israel yang menghasilkan keputusan yang lebih manusiawi di pagi hari atau di jam setelah istirahat.
Sebenarnya pembahasan tentang waktu istirahat ini diawali dengan karakteristik waktu yang berkaitan dengan produktivitas belajar atau kerja. Produktivitas akan tinggi saat pagi hari, di awal kerja (meskipun tetap dibesakan antara karakteritik orang yang lebih produktif di siang hari seperti burung lark dan orang yang produktif di malam hari seperti burung hantu), kemudian menurun saat siang. Jika hal ini diteruskan tanpa jeda, maka produktivitas akan menjadi semakin memburuk, yang puncaknya ada di sekitar jam 14.55. Nah, untuk mengurangi dampak penurunan ini, maka pengelolaan waktu istirahat sangat penting.
Jika masa penurunana dalah racun dan waktu istirahat adalah penawarnya, seperti apa seharunsya pengelolaan waktu istirahat tersebut? Tidak ada jawaban pasti, tapi berdasarkan sains, Daniel Pink memberikan 5 prinsip pengelolaan waktu istirahat sebagai pedoman.
1. Lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali
Beristirahat dalam jumlah yang sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Bahkan produktivitas lebih tinggi ketika melakukan istirahat sedikit beberapa kali dibandingkan dengan sekali beristirahat lebih panjang.
2. Bergerak lebih baik daripada diam
Beristirahat dengan gerak lebih baik daripada sekadar duduk atau berdiam diri. Duduk atau diam tidak sepenuhnya melepaskan diri dari kepenatan. Namun gerakan lebih ekspresif untuk melepaskan kejenuhan. Perlu digarisbawahi bahwa diamnya saat tidur pasti lebih baik. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah istirahat dengan berdiam diri, bukan tidur.
3. Bersama lebih baik daripada sendirian
Ada istilah istirahat sosial, yaitu mengisi waktu istirahat dengan bercengkerama bersama orang lain, membicarakan sesuatu yang santai di luar pekerjaan. Ketika sendirian, pengekspresian kepenatan tidak seekpresif saat perjumpaan. Memang akan sedikit berbeda dengan orang-orang introvert yang lebih memilih sendirian. Bagi orang introvert dapat melakukan kegiatan sebagai representasi aktivitas sosial, seperti berkomunikasi virtual, game online dan semacamnya yang tentunya dengan sadar dianggap sebagai aktivitas penyela dan dengan mudah lepas kembali darinya.
4. Di luar lebih baik daripada di dalam
Melepaskan penat dengan pergi ke luar atau sekadar melihat ke luar jendela lebih baik daripada istirahat di dalam ruangan. Menghirup udara segar dan melihat hijau pepohonan menjadi pelepas penat (emotional release) yang baik. Jika memang tidak memungkinkan, misalnya karena ketersediaan waktu atau cuaca yang kurang baik, dapat menggantinya dengan melihat akuarium atau sejenisnya.
5. Terlepas sepenuhnya lebih baik daripada setengah terlepas
Ada banyak orang yang istirahat namun di tangannya tetap terkoneksi dengan pekerjaan, misalnya membuka grup chat kantor, mengecek email, atau semacamnya. Pelepasan rasa lelah akan lebih maksimal jika kita terlepas secara total dengan kesibukan kita.
Demikian 5 prinsip pengelolaan wakut istirahat untuk menghasilkan tindakan efektif. Semoga bermanfaat, baik untuk diri kita dalam mengelola waktu belajar dan bekerja, maupun untuk para profesional seperti pekerja, manajer, atau para guru dan pendidik lainnya.