Hidayah Tak Datang dengan Mudah


Hidayah datang tidak mudah. Namun jika Tuhan berkenan, maka semua jadi semudah membalik telapak tangan. Sebenarnya, mudah sulitnya menerima hidayah juga ditentukan oleh diri kita.

Beberapa hari yang lalu, dapat cerita dari seorang teman. Dia adalah guru di sebuah sekolah menengah negeri di kota kecamatan kecil. Temanku ini selalu resah dengan kondisi sekolahnya, terutama tentang perbedaan idealismenya dengan ‘perilaku’ sekolah.

Setiap penerimaan siswa baru, sekolah tersebut menyisakan kursi sekitar 30% untuk ‘ditwarkan’ kepada warga lokal. Arti dari warga lokal di sini dapat dicontohkan dengan kepala desa atau yang semacamnya. Tahu maksudnya?

Karena kepala desa mendapatkan akes yang luar biasa besar untuk mendapatkan kursi di sekolah, maka ia menawarkan kepada para ‘pelanggan’ yang mampu membayarnya. Inilah yang kerap bikin temanku tersebut gusar tiada pernah ada jeda.

Suatu ketika ada yang tidak puas dari pelayanan sekolah, pasca ‘membeli’ kursi yang diinginkannya. Bahkan perbedaan harga mencuat menjadi masalah. Sampailah berita ini ke telinga wartawan. Yang namanya ikan asin, dibumbui apapun, lidah tak bisa ditipu atas keasinannya. Untunglah si wartawan belum menuliskan berita tersebut. Ya biasalah, ‘bisnisman’ ketemu ‘bisnisman’, wartawanpun menjadikan bahan berita ini sebagai senjata. Untuk apa? boleh dipikir sendiri lah.

Terdengarlah berita ini sampai kepala dinas. Kepala sekolah dipanggil dan diinterogasi atas kebenaran kabar tersebut. Kepala sekolah kalang kabut, mengumpulkan sisa-sisa uang yang sudah terlanjur dibagi-bagi. FYI-nya, guru-guru yang berhasil ‘menjajakan’ kursi, juga mendapat ‘upeti’.

Akibatnya, tiap hari guru-guru di situ harus mengolah ‘telo’ (meminjam istilah yang digunakan temanku tersebut). Bayangkan saja, murid-murid di sebuah kelas di sekolah menengah, menjawab dasi, topi, sepatu, ketika ditanya macam-macam alat indera.

Apa reaksi dari mereka yang terlibat ‘jual-beli’ kursi? Ada guru segera menemui para orangtua yang ‘membeli’ lewat jalur ‘distibusi’nya. Yang penting kali ini lolos dari persoalan. Kepala ini bisa digetok kepala dinas kalau begini, begitulah dalam benak mereka. Sebagian yang lain ada yang mengembalikan uang yang belum terpakai kepada orangtua yang ‘membeli’ kepadanya. Sementara yang uangnya sudah ludes terpakai untuk kepentingan pribadi, segera mencari sumber sana-sini untuk menutupi. Pasca mengembalikan hak-hak para orangtua, ada yang cemas dan sedikit lega, karena sudah merasa lolos dari masalah. Ada juga yang diikuti dengan rasa kapok dan berjanji dalam diri untuk tidak mengulangi. Yang terakhir ini boleh dibilang memaknai kejadian yang menimpanya sebagai pelajaran.

Namun ada yang bereaksi ‘unik’ diantara mereka. Tiba-tiba ada yang datang di gerumbulan para guru yang masih dalam atmosfir panik, “Aku sudah tahu orang yang menyebarkan berita ini. Orang sini (desa ini) juga kok. Namanya sudah aku pegang”, demikian katanya sambil berapi-api. Ternyata guru tersebut diam-diam menyelidiki, siapa yang mengadukan hal tersebut.

Menurut temanku, cerocosan guru itu menjurus kepada satu arti tunggal, pembedaan. Apa maksudnya? Orangtua yang dibilang menyebarkan rahasia mereka pasti akan dibedakan. Anaknya akan mendapatkan layanan berbeda. Dalam bahasa simple-nya, dicing (diancam).

Dari berbagai reaksi atas kejadian tersebut, ada dua reaksi yang ekstrim saling berlawanan, yaitu yang kapok dan berusaha memperbaiki diri di masa yang akan datang, dan yang justru berusaha mencari sumber berita dan berniat membalas ‘serangan’nya. Siapa yang mendapatkan hidayah dari kejadian tersebut? Apakah orang yang memperbaiki diri atau yang justru membalas dendam?

Semua pengalaman punya kemungkinan menjadi hidayah. Tapi tidak semua orang dapat memperolehnya (foto: tebarnasi.com)
Semua pengalaman punya kemungkinan menjadi hidayah. Tapi tidak semua orang dapat memperolehnya (foto: tebarnasi.com)

Cerita ini bukan fiktif belaka. Ada yang seperti ini. Tapi tulisan ini tidak sedang membahas tentang pendidikan, namun membahas efek kejadian, apakah punya makna (hidayah) atau tidak. Apakah Kamu pernah mengalami atau menyaksikan kejadian yang seperti ini? Apakah mereka (yang mengalami) mendapatkan hidayah dari pengalamannya?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *