Riya’ Meter, Sebuah Alat Penakar untuk Menyelamatkan Diri dari Pamer


Ketika kita merasa bangga dengan apa yang kita capai, kita miliki, atau kita lakukan, maka sangat mungkin ada keinginan untuk dilihat dan diakui oleh orang lain. Keinginan ini tidak jarang menjerumuskan kita kepada sifat pamer atau riya’. Bagaimana konsep riya’ dan cara menyelematkan diri darinya?

Salah seorang teman memposting status di wall facebook-nya tentang aktivitasnya di suatu pagi. Berhubungan dengan kondisi siatuasi pandemic yang menghendaki sebagian besar orang bekerja dari rumah, temanku ini memanfaatkan waktu luangnya untuk berolahraga. Dia menceritakan tentang aktivitas bersepeda dengan memutari sebuah jarak perjalanan yang ia sebut sebagai olahraga ringan. Untuk sebagian orang yang melihat dari sudut pandang usia teman saya ini (lebih kurang 50-an tahun), rute ‘gowes’ yang ia lakukan bukan jarak yang pendek. Temanku ini bisa sadar atau tidak sadar atas persepsi orang-orang ketika membaca statusnya ini. Di akhir ceritanya tentang olahraga bersepeda tersebut, ia mangatakan bahwa ia sedang …… (tulisannya tidak diteruskan, hanya ditulis titik-titik), kemudian diikuti dengan tanda kurung bertuliskan ‘takut riya” di dalamnya.

Sebelum terlalu jauh, mari kita kenal konsep riya’ atau pamer terlebih dahulu. Pengertian Riya menurut Bahasa: riya’ (??????) berasal dari kata ?????? /ru’yah, yang artinya menampakkan. Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia. Sedangkan pengertian riya’ menurut Istilah yaitu melakukan ibadah dengan niat supaya ingin dipuji manusia, dan tidak diniatkan beribadah kepada Alloh SWT. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata dalam kitabnya Fathul Baari, “Riya’ adalah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali mengartikan riya’ sebagai mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah Haddad berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati oleh orang banyak dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.

Dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Alloh, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain agar mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan kepadanya. Ada pergeseran niat dari yang bersifat ukhrowi (akhirat) menjadi niat untuk duniawi.

Berbicara tentang niat, tentunya kita familiar dengan kalimat innamal a’malu binniyat atau segala amal perbuatan tergantung dari niatnya. Sayangnya, niat ini tidak bisa dilihat atau tidak kasat mata. Niat ada di dalam hati setiap pelakunya. Karena itu, kali ini kita tidak akan membahas tentang niat dalam konteks intesi atau pelatar belakar perilaku. Kita akan membahas niat dari indikator-indikator reflektif yang hanya dapat dilihat atau direnungkan oleh pelakunya. Dalam hal ini, kiatnya kita letakkan pada konteks perbuatan riya’.

Kembali kepada status yang diunggah oleh temanku di facebook tadi. Olah raga bersepeda yang ia lakukan dengan rute yang bisa dipersepsi panjang atau pendek dan dilekatkan kepada usianya yang ada di kepala lima, hal itu bisa multi intepretasi. Temanku bisa merenungkan setiap indikator sebagai riya’ meter hehehe. Misalnya saja, pada saat menuliskan atau menceritakan tentang panjangnya rute (waktu itu disertai dengan screenshot peta perjalanan lengkap dengan jarak kilometernya), apakah yang timbul dalam hatinya. Penulis bisa merasakan timbulnya rasa bangga (atau tidak) dan bayangan akan pujian orang/pembaca (atau tidak) saat kata-kata atau kalimat meluncur dari ujung-ujung jarinya ketika menari di atas papan ketik. Jika memang pada saat menuliskan panjangnya rute disertai jarak timbul perasaan bangga dan mengharap orang lain akan berdecak kagum, pada saat itu perasaan riya’ mulai ‘menghantui’. Kita tidak sedang berbicara langsung menukik pada penilaian baik dan buruk. Kita mencoba berbicara dalam frame yang lebih objektif, yaitu adanya perasaan bangga dan bayangan decak kagum yang mengikuti kalimat saat penulis mengetikkannya.

Begitu juga saat temanku ini tidak menyelesaikan kalimatnya saat menjelaskan bahwa dirinya sedang…..(takut riya’). Untuk konteks waktu bahwa saat itu sedang bulan syawal (pasca Ramadhan), sebagian besar orang mungkin akan menduga bahwa temanku ini sedang puasa syawal. Setiaknya orang-orang dalam lingkaran pertama (orang dekat) atau lingkaran berikutnya yang bersinggungan akan berpikir demikian. Namun yang menarik di sini adalah ketika dalam tanda kurung ada kata ‘takut riya”. Saat kata-kata ini disebutkan, berarti sudah mulai ada sebuah batas apakah seseorang akan terjebak pada rasa riya’ atau tidak. Ada beberapa indikator yang perlu dikenali saat menuliskan kalimat “….sedang…. (takut riya’)”. Jika pada saat menuliskan itu ia sudah memastikan bahwa orang akan menebak isi dari titik-titik tersebut sesuai dengan yang ia perkirakan, yaitu puasa syawal, maka ia sudah mulai mengarah kepada perbuatan riya’. Namun batas antara riya’ dan tidak ini bisa sangat tipis ketika kita mengacu pada simpulan pengertian riya’ sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu pergeseran niat dari urusan ukhrowi (akhirat) menjadi bersifat keduniawian. Ketika ia mengatakan ‘takut riya” sebagai bentuk pergeseran bahwa dalam ibadah sudah memperhitungkan unsur manusia sebagai penilai, maka ia perlu hati-hati agar tidak terjebak pada rasa riya’. Dengan mengatakan bahwa ia takut riya’ karena alasan bahwa manusia akan menilai amal ibadahnya, pada saat itu perlu berhati-hati akan jebakan syaitan atas perilaku riya’ tersebut.

Hati-hati dengan jebakan sikap riya’ (foto: pengertianahli.id)

Mari kita bandingkan dengan teman yang lain, yang dalam sebuah grup whatsapp mengatakan bahwa ia melakukan puasa syawal secara terbuka. Ia bercerita bahwa ia memanfaatkan moment WFH atau work from home. Mumpung sedang diharuskan bekerja dari rumah (akibat pandemic), ia memanfaatkannya berpuasa syawal bareng keluarganya. Apakah orang yang mengatakan secara terbuka ini sudah terjebak pada perbuatan riya’? Tunggu dulu, bisa ya, bisa juga tidak. Pada saat inilah tantangan mulai muncul, apakah seseorang akan terjebak pada rasa riya’ atau tidak.

Mengatakan sebuah amal perbuatan kepada orang lain belum tentu orang tersebut sedang melakukan riya’. Sekali lagi, niat itu tidak dapat dilihat. Hanya pelakulah (dan Alloh tentunya) yang mengetahuinya dan dapat menilainya. Jika temanku yang kedua menyampaikan bahwa ia sedsang puasa syawal sebagai sebuah story atau cerita, dan tidak ada perasaan apapun yang timbul saat menuliskannya, maka hal itu bisa menyelamatkannya dari riya’. Ya memang bukan berarti ia datar saja dalam melakukannya, tanpa perasaan apapun. Kalau kita melihat dari kalimatnya, bisa jadi kata ‘mumpung sedang WFH’ atau saat mengatakan ‘mumpung anak-anak di rumah, jadi bisa puasa rame-rame’, menunjukkan bahwa ia melakukannya karena ditunjang oleh orang atau situasi di luar dirinya. Jika hal ini sebuah bentuk kerendahan hati bahwa ia bisa berpuasa bukan semata-mata karena dirinya tetapi lebih ditunjang oleh situasi yang disediakan Alloh untuk dirinya, bisa jadi ia selamat dari perasaan riya’. Namun kembali lagi, hanya orang tersebut yang bisa menakar, saat menuliskan (menceritakan)nya di grup whatsapp, perasaan apa yang terbersit mengiringinya.

Jadi, riya’ itu bukan soal mengucapkan atau menyembunyikan, tetapi lebih kepada perasaan yang muncul saat mengatakan atau (bahkan) menyembunyikannya. Jika pada saat berusaha menyembunyikan disertai dengan harapan bahwa orang bisa menebak apa yang disembunyikan, sudah pasti ia terjebak kepada riya’. Lebih tipis lagi, jika seseorang berusaha menyembunyikannya karena takut dikira riya’ oleh orang lain, maka ia harus hati-hati, jangan-jangan amal perbuatannya sudah bergeser dari orientasi karena Alloh menjadi disibukkan oleh perhatian orang lain. Dalam konteks yang kedua ini, kehati-hatianlah yang harus dititikberatkan.

Mari kita coba berikan contoh yang berbeda untuk memudahkan memahami perilaku riya’, yang kemudian juga akan memudahkan kita untuk menakar perasaan atau perbuatan kita. Misalnya saja seseorang yang mengaji atau memabaca Al Qur’an di rumahnya. Orang tersebut mempunyai karakter suara yang keras. Dengan suaranya tersebut, sudah pasti tetangganya bisa mendengar. Ketika ia berusaha melirihkan suaranya hanya karena tidak ingin dinilai tetangga, maka ia harus hati-hati. Memang, bisa jadi ketidakinginan didengar tetangga ini karena biar tidak riya’ atau karena takut dinilai kurang bagus bacaan Qur’an-nya. Kalau alasan yang kedua sudah pasti ada pergeseran dari niat untuk akhirat menjadi orientasi duniawi. Tapi untuk alasan pertama, hal itu perlu lebih hati-hati. Jika ia merasa dengan melirihkan suaranya itu adalah cara agar ia tetap terputus dari niat duniawi (misalnya pujian tetangga), maka hal itu bisa menyelamatkan dari riya’.

Lalu apakah jika orang yang membaca Al Qur’an tersebut tetap membaca dengan suara aslinya (keras) bisa dibilang bahwa ia riya’? Tdak selalu demikian. Jika memang saat membacanya ia tidak terpengaruh atas keberadaan tetangga, apapun pendapat mereka, bagaimanapun penilaian mereka, maka ia tidak perlu khawatir dengan sikap riya’. Ia cukup melakukan sesuatu sesuai dengan kebiasaan atau kepribadiannya. Ia tetap membaca Al Qur’an dengan suara keras, karena memang karakter suaranya demikian.

Dengan demikian, sikap atau perbuatan riya’ tidak hanya melulu diukur dari tersembunyi atau tampaknya amal perbuatan. Yang disembunyikan belum tentu aman dari sikap riya’, sebaliknya yang takmpak bukan berarti selalu disertai rasa riya’. Hati-hati dengan jebakan-jebakan syaitan semacam ini. Riya’ meter sebenarnya adalah cara kita berefleksi dari indikator-indikator perasaan, sikap dan perbuatan yang mengarah kepada riya’, seperti yang sudah dijelaskan dan dicontohkan di atas. Semoga kita semua tergolong orang-orang yang selalu bisa mawas diri (baca: berefleksi). Aamiin..


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *